Jangan Dilupakan, Folklor Sebagai Media Membentuk Karakter Bangsa
freepik |
Oleh : Fendy Sa’is
Nayogi*
Sejak
dahulu, yang di informasikan bahwa Indonesia terkenal dengan keramahannya.
Banyak negara yang mengakui bahkan wisatawan-wisatawan yang datang ke Indonesia
lalu pulang ke negaranya mengaku senang berkunjung ke Indonesia karena
keramahan masyarakatnya.
Dan
itu dulu, sepertinya pada saat ini kita tidak menemui itu, bahkan saya sendiri
tidak sepakat bahwa Indonesia terkenal dengan keramahannya.
Ketika
dulu mungkin untuk membuktikan bahwa Indonesia memiliki keramahan yang luar
biasa dapat digambarkan pada situasi sejarah VOC yang dapat diterima di
Nusantara sebagai pedagang dan berlangsung selama ratusan tahun, bahkan
seandainya tidak terjadi penindasan mungkin masyarakat Nusantara pada saat itu
tidak akan melakukan perlawanan.
Saat
sekarang, hal tersebut tidak ditemukan bahkan kasus terakhir di Bali wisatawan
yang di tilang 1 juta oleh oknum penindak hukum Indonesia dengan alasan tidak
memiliki surat-surat lengkap pada kendaraannya. Bagi saya, contoh tersebut
sudah cukup mengindikasikan bahwa karakter bangsa kita mulai terkikis. Meskipun
banyak contoh lain sebenarnya.
Tentunya,
ada penyebabnya dari pengikisan karakter bangsa ini, salah satu yang sarat adalah
kemajuan teknologi di era globalisasi ini. Mengapa? Karena mau tidak mau dan
bisa tidak bisa nilai-nilai sosial dan agama perlu usaha besar untuk masuk
menjadi prinsip pribadi bangsa yang bersaing dengan mudahnya informasi digital
di Internet.
Selain
tidak melupakan sejarah, bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki
karakter. Lalu, bagaiamana karakter bangsa Indonesia? Untuk melihat ini, perlu
kita melihat kebelakang melihat artefak-artefak yang usang menjadi cerita,
dongeng atau hanya tampak di film-film yang mengangkat nilai bangsa Indonesia.
Bukan
menjadi informasi tertutup lagi bahwa gotong royong, berkebudayaan tinggi,
nasionalisme, patriotisme dan tata krama serta sopan santun melekat pada bangsa
Indonesia.
Tentunya
kita pernah melihat atau bahkan melakukan ini pada dahulu, di desa-desa ketika
ingin membangun kandang, mushollah atau memperbaiki jalan tidak lah perlu waktu
lama hanya mengandalkan masyarakat sekitar pekerjaan itupun cepat diselesaikan
penuh kebahagiaan dan kekompakan.
Ketika
17 Agustus perayaan hari kemerdekaan pun disambut dengan meriah tidak melupakan
esensi perjuangan tentunya, namun masyarakat cukup andil dalam meramaikan itu.
Bukan
juga Corona menjadi penghalang, melihat kasus tahun kemarin tentang ibu-ibu
menggunting bahkan membakar bendera merah putih, bendera sebagai wujud juang
dan kesucian mengambarkan bagaiamana keikhlasan pahlawan kita berjuang pun
dilecehkan.
Harus
bagaimana kah sekarang, tentunya bukan hanya urusan pemerintah Indonesia, kita
sebagai anak bangsa pun tentunya perlu ambil andil dan menyadari pengikisan
karakter bangsa, mengembangkan dan tidak meninggalkan tradisi berbentuk foklor
misalnya.
Penanaman
karakter suku, budaya dan Nusantara melalui foklor terbentuk sejak dulu, pada
suku Jawa yang pendidikan karakter melalui pitutur atau lisan teraplikasikan
dengan wujud puisi, pantun, pribahasa, mitos, dongeng dll.
Begitupun
juga dengan suku yang lain, misalnya pada suku Minangkabau tradisi lisan yang
terkenal dengan ucapan "dimana bumi dipijak disitulah langit
dijunjung" akan mempengaruhi tingkah laku, prinsip dan pemikiran
masyarakat Minangkabau. Sehingga, nilai-nilai kebudayaan, tradisi dan prinsip
terproyeksi dengan adanya foklor tersebut.
Tidak
hanya itu, produk wayang dengan jalan cerita yang memberikan contoh atau timbal
balik kehidupan, atau produk dongeng dan legenda yang memiliki nilai pendidikan
karakter tinggi sangat mempengaruhi tindak laku masyarakat lokal atau secara
umum Nusantara sebagai masyakarat yang berkarakter.
Foklor
dengan produk legenda misalnya, di Nusantara yang terkenal adalah cerita Malin
Kundang yang dikutuk oleh ibunya karena tidak mengakui, dari sisi moral Malin
Kundang tergolong durhaka.
Tentunya,
untuk menjelaskan atau mendidik secara gamblang dengan mudah mengatakan
"tidak boleh durhaka kepada orang tua" akan sulit diterima oleh
individu pribadi, dengan contoh legenda Malin Kundang tersebut cukup komplit
dengan menggandeng situasi, kondisi, sebab dan akibat dengan narasi cerita yang
mengambarkan situasi dapat diterima dan dimengerti oleh individu mengapa dan
harus bagaimana ketika berhubungan dengan orang tua.
Sehingga
yang terjadi terhadap individu memiliki pemahaman tentang pentingnya
menghormati, mencintai, dan memperlakukan orang tua dari sudut pandang budaya
di Nusantara/ Indonesia.
Secara
agama pun, baik agama yang di akui atau keyakinan di Indonesia memiliki
kesepakatan bahwa dalam orang tua adalah sosok yang perlu kita lindungi.
Sehingga, legenda tersebut tidak merusak atau mengganggu nilai-nilai budaya,
agama maupun sosial.
Lalu,
bagaimana yang terjadi sekarang terhadap peran foklor di Nusantara? Yang
terjadi sekarang menurut hemat saya, diskusi tentang foklor semua bentuk
produknya di kritisi dengan sudut pandang logika sedangkan urgensi foklor
sendiri terdapat pada nilai ataupun esensinya. Misal, legenda Malin Kundang
ketika diceritakan yang dicari adalah bukti fisik terjadinya Malin Kundang.
Atau
mitos "himbauan tidak boleh duduk di depan pintu dengan alasan suami atau
istrinya bakalan jelek" secara logika tidak masuk akal memang, tentunya
ada nilai yang ingin disampaikan dari mitos tersebut. Banyak sumber yang
menjelaskan tentang makna dan tujuan mitos tersebut kenapa di gunakan orang
tua-tua kita dijaman dahulu.
Seharusnya,
tidak penting ada atau terjadi dan tidaknya legenda Malin Kundang atau mitos
Tidak boleh duduk di depan pintu bukanlah pada logikanya tapi maknanya.
Perlakuan kritik terhadap produk foklor tersebut saya rasa sebagai wujud atau
manisfesto dari kemajuan jaman atau era globalisasi.
Dampaknya,
saat ini untuk menyampaikan nilai budaya, sosial dan agama perlu orang khusus
karena butuh dalil atau landasan yang dapat dipertanggung jawabkan ketika
ditanya. Sehingga generasi saat ini, mendapat keterbatasan penanaman nilai
budaya, sosial dan agama. Tentunya, hal tersebut mempengaruhi tindak perilaku
individu pada saat ini.
Era
sekarang, cukup sulit mencari tokoh yang memiliki karakter yang menjunjung
nilai sosial, budaya dan agama. Begitu banyak tokoh masyarakat yang melanggar
nilai sosial, budaya dan agama. Belum lagi tokoh atau artis media sosial, artis
media konvensional atau tokoh pimpinan kepemerintahan.
Dengan
alasan apapun perlu memang kesadaran diri terhadap posisi dengan tindak laku
mereka. Tentu kita banyak melihat di media sosial misalnya, banyak tergambarkan
karakter yang jauh sekali dengan gambaran karakter Nusantara.
Tidak
perlu saya ambilkan contohnya, saya rasa keresahan itu perlu kita perhatikan
bersama dan menjaga orang-orang sekitar kita atau minimal diri kita sendiri
sebagai masyakarat yang berkarakter sesuai nilai-nilai sosial, budaya dan agama
masing-masing. Tentunya kita kenal dengan sosok dengan karakter kuat di
Indonesia.
Presiden
pertama kita Soekarno, sebagai orang yang tumbuh di lingkungan Jawa dengan
pemikiran maju dan memiliki peran penting bagi masyarakat Nusantara/Indonesia
pada masa itu cukup menggambarkan karakter bangsa pada dirinya.
Tersorot
dari beberapa kutipan biografi beliau tentang bagaimana saling bertukar rokok
dengan pimpinan negara lain, atau memilih menggunakan tangan ketika makan saat
bersama beberapa pimpinan negara lain, dan ber-orasi di hadapan rakyat
Indonesia pada masa itu tentunya tidak langsung terbentuk secara langsung.
Peran
besar terjadi begitu karena orang tuanya baik orang tua ideologis maupun
biologis ditambah dengan literasi beliau yang bagus, sehingga mampu membentuk
karakter presiden pertama kita sebagai sosok yang memiliki karakter yang kuat.
Pendidikan
karakter di Indonesia kian kini semakin menurun, bukti dari itu kita berkaca
pada diri sendiri, tindak laku kita terhadap sosial kita, budaya kita atau
bahkan agama dan negara kita. Secara spesifik, kasus penganiayaan terhadap
orang tua, pelecehan guru terhadap murit, pelecehan terhadap sesama teman atau
hal lain semakin beragam.
Bukan
masalah sepele dengan kita menganggap hal tersebut dengan kejadian biasa atau
normal. Penanaman nilai-nilai sosial, budaya dan agama melalui foklor perlu
kita galak-kan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya terhadap dunia pendidikan di
Indonesia bahwa pendidikan karakter saat ini dapat dikatakan gagal.
Tantangan
saat ini pun dengan berlangsungnya proses belajar secara online dapat
menghambat berjalanya pendidikan karakter. Perlu dipikir dengan banyak orang
untuk menentukan model pendidikan era modern ini supaya karakter penerus bangsa
terjaga.
Mengandalkan
orang tua dirumah tentunya sama artinya memaksa orang tua untuk banyak belajar,
sedangkan orang tua siswa merupakan konsumen dari produk foklor masa lalu.
Perlu
dukungan segala pihak dari media, praktisi bahkan pemerintah untuk menentukan
sikap, langkah dan aplikasinya, karena disamakan fungsi pemerintah salah
satunya. Sehingga kita tidak kehilangan karakter bangsa yang bermartabat ini.
Aktivis,
pembahasan dan kajian tentang pendidikan karakter di Indonesia sangatlah banyak
dan aktif mengadakan upaya-upaya penekanan terkikisnya karakter bangsa
Indonesia. Baik secara kelompok maupun gerakan sosial individu. Secara langsung
maupun tidak langsung melalui tulisan, novel, cerpen, puisi, film dll.
Sebagai
pembaca tulisan ini, saya pribadi dan pembaca untuk mendiskusikan di kolom
komentar dibawah tentang keresahan karakter bangsa ini. Secara tidak langsung,
kesadaran saya tentang terkikisnya nilai karakter kita sebagai masyarakat
Nusantara dari buku, diskusi dan pengamatan di sekitar saya.
Sebagai
wujudnya selain berfikir lalu mengaplikasikan kepada lingkungan sekitar saya
berharap juga pembaca tulisan saya sadar dan dengan kreatif mencari jalan
keluar, minimal ada usaha membentuk, menanamkan nilai-nilai prinsip sosial,
budaya dan agama pada lingkungan sekitar. Lebih sempit lagi, pada diri sendiri
dan keluarga.
Apakah kita akan kehilangan kekayaan kita lagi? Saya rasa cukup kita
kehilangannya sumber daya alam. Kekayaan budaya, spiritual emosional jangan!
Atribusi
penulis
Tidak ada komentar