Resepsi Sastra: Membandingkan Mundinglaya Di Kusumah dari Ajip Rosidi dan Abah Yoyok
dongengnya.blogspot.com/ |
Oleh:
Yogi Dwi Pradana
Jika berbicara tentang cerita rakyat, pasti ada beberapa perbedaan versi penceritaan menurut para ahli. Saya juga menemukan sedikit perbedaan pada kisah Mundinglaya Di Kusumah dalam esai Ajip Rosidi dan penceritaan kembali oleh Abah Yoyok. Namun, sebenarnya setelah saya baca teliti lagi—ternyata inti dari penceritaan tersebut alurnya adalah sama. Penceritaan cerita rakyat seperti: Sangkuriang, Si Kabayan dan Purba Sari Ayu Wangi merupakan penceritaan yang lebih berfokus pada tokoh utama. Saya sebenarnya tertarik dengan penceritaan yang dibawakan Sujiwo Tejo dalam Ramayana gubahannya—beliau berani menunjukkan sosok Rahwana yang berhati tulus dan tidak memandang tapi dalam hal mencintai—tentu saja hal tersebut berlawanan dengan pakem penceritaan Ramayana yang ada.
Dalam
esai Ajip Rosidi yang berjudul Mundinglaya Di Kusumah yang terangkum
dalam buku Manusia Sunda (2009), dikisahkan seorang Raden Sunten
Jaya—saudara seayah Mundinglaya yang selalu iri terhadap Mundinglaya. Ternyata
setelah saya telusuri dalam penceritaan kembali yang dibawakan Abah Yoyok di
media daring mbludus.com—bahwasanya Raden Sunten Jaya melakukan hal tersebut
karena perlakuan ayahnya (Pangeran Guru Gantangan) dan ibunya lebih menyayangi
Mundinglaya dibanding dirinya.
Memang
Raden Sunten Jaya digambarkan memiliki sifat yang manja dan angkuh—tapi apakah
dibenarkan jika dalam mengasuh anak menerapkan sistem pilih kasih tersebut?
Tentu saja hal tersebut kurang dianjurkan, karena dapat menjadi pembentuk
karakter anak yang merasa tersisihkan menjadi kurang baik untuk
perkembangannya. Karena perlakuan ayah dan ibunya yang lebih menyayangi
Mundinglaya—maka ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang selalu berusaha menjegal
setiap langkah yang dilakukan oleh Mundinglaya—kedengkian muncul dalam diri
Raden Sunten Jaya.
Menurut
saya yang menerapkan teori resepsi sastra—saya dapat memulai pengisahan
Mundinglaya Di Kusumah setelah membaca esai Ajip Rosidi dan penceritaan kembali
oleh Abah Yoyok akan saya paparkan dari awal mula mengapa Padmawati dan
Mundinglaya Di Kusumah sampai dipenjara. Pada sebuah esai Ajip Rosidi yang
berjudul Mundinglaya di Kusumah—tidak dijelaskan bahwasanya Padmawati dan
Mundinglaya Di Kusumah dipenjara, tetapi Mundinglaya langsung diceritakan
mencari Langlayangan Saloka Domas (layangan selaka emas) untuk menuruti
perintah dari ayahnya (Prabu Siliwangi). Akan tetapi, dalam penceritaan Abah
Yoyok diceritakan lebih rinci dengan dijelaskan mengapa Padmawati dan
Mundinglaya Di Kusumah dipenjara karena: pertama, karena Padmawati memimpikan Langlayangan
Saloka Domas—tapi tidak bisa menunjukkan keberadaan atau keaslian dari mimpinya
tersebut—sehingga dikatakan Padmawati berbohong dan dihukum masuk penjara,
kedua, karena ada hasutan dari Raden Sunten Jaya yang memang ingin menjebloskan
Mundinglaya dan Padmawati ke dalam kesengsaraan.
Lalu,
dalam penceritaan Abah Yoyok, diceritakan bahwa saat Mundinglaya sudah mencapai
usia remaja—ia bertanya pada ibunya (Padmawati) mengapa dirinya dan ibunya
dipenjara. Padmawati menjelaskan mengapa mereka bisa masuk penjara—ternyata
yang menyebabkan masuk penjara adalah seperti yang diceritakan oleh Abah Yoyok
yang sudah saya paparkan di atas. Lalu, ada seorang patih bernama Patih Lengser
menyarankan bahwa dari semua warga kerajaan yang mencari Langlayangan Saloka
Domas tidak ada yang sanggup—hanya ada satu yang belum Prabu Siliwangi tanyai
mengenai kesanggupan untuk mencari Langlayangan Saloka Domas tersebut—dia
adalah Mundinglaya. Prabu Siliwangi kini mendatangi penjara yang mengurung
Padmawati dan Mundinglaya—Prabu Siliwangi menanyai apakah Mundinglaya sanggup
mencari Langlayanan Saloka Domas? Nah, di sini juga berbeda tujuan antara
pencarian Langlayangan Saloka Domas menurut esai Ajip Rosidi dan penceritaan
kembali oleh Abah Yoyok. Menurut esai Ajip Rosidi, bahwasanya pencarian
layangan selaka emas tersebut untuk menuruti perintah ayahnya (Prabu
Siliwangi), sedangkan menurut Abah Yoyok pencarian layangan selaka emas
tersebut guna menyelamatkan Kerajaan Pajajaran dari petaka dan membuktikan
mimpi Padmawati.
Saat
melakukan perjalan pertama untuk menuju Sajabaning Langit (ke luar langit),
juga ada perbedaan nama tokoh antara versi esai Ajip Rosidi dan penceritaan
kembali Abah Yoyok. Dalam esai Ajip Rosidi diceritakan tokoh yang mengetahui
jalan menuju Sajabaning Langit tersebut bernama Yaksa Mayuta, sedangkan dalam
penceritaan kembali oleh Abah Yoyok bernama Jonggrang Kalapitung. Nah, manakah
yang benar sebenarnya? Sebenarnya semua benar, hanya saja kita melihat
penceritaan tersebut dari versi mana. Pasalnya, tempat raksasa yang dalam esai
Ajip Rosidi dan Abah Yoyok tersebut sama—yaitu di Pulo Putri—yang saat ini
adalah Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta.
Perjalanan
Mundinglaya menuju Sajabaning Langit pun bukan sebuah perjalanan yang biasa.
Perjalanan tersebut adalah perjalanan rohani—hampir mirip dengan perjalanan
yang ditempuh Rasullullah SAW saat melakukan perjalanan ke langit ke tujuh.
Saat sampai Sajabing Langit, di sana Mundinglaya sudah ditunggu oleh Guriang
Tujuh—penjaga Langlayangan Saloka Domas. Dalam esai Ajip Rosidi dituliskan
bahwa Langlayangan Saloka Domas merupakan perlambang kebenaran dan kebahagiaan,
sedangkan Guriang Tujuh merupakan perlambang hawa nafsu yang harus ditaklukkan.
Mundinglaya
jika ingin membawa Langlayangan Saloka Domas ke Pajajaran tentu saja harus
mengalahkan Guriang Tujuh terlebih dahulu. Karena Guriang Tujuh yang terlalu
hebat—membuat Mundinglaya harus tewas. Untung saja ada leluhur Padmawati—Pohaci
Wiru Mananggay—yang menghidupkan kembali Mundinglaya dan memberi petunjuk
bagaimana cara mengalahkan Guriang Tujuh. Hal ini juga berbeda saat saya
membaca penceritaan kembali oleh Abah Yoyok, karena Abah Yoyok menceritakan
bahwa setelah Mundinglaya dihidupkan kembali oleh Pohaci—pertarungan tidak
dilanjutkan karena Guriang Tujuh sudah dapat mengetahui sifat ksatria dari
Mundinglaya—maka Guriang Tujuh akan menyerahkan Langlayangan Saloka Domas
padanya.
Semenjak
dalam kandungan, Mundinglaya sudah dijodohkan dengan Dewi Asri. Perjodohan itu
bermula karena ada sebuah utusan dari Pajajaran yang hendak mencari honje (buah
kincung) yang bertemu dengan utusan dari Muaraberes. Awal mulanya, utusan
Muaraberes sudah menemukan honje tersebut untuk dibawa pulang, tapi utusan
Pajajaran hendak meminta honje tersebut—karena tidak diberi—maka pertarungan
tersebut terjadi. Mereka sama-sama kuat, tak ada yang kalah dan tak ada yang
menang dalam pertarungan tersebut. Karena merasa pertarungan tidak akan
merampungkan permasalahan—mereka menggunakan pancakaki. Pancakaki adalah sebuah
istilah untuk hubungan seseorang dengan orang lain menurut silsilah. Orang
Sunda sering menggunakan pancakaki jika baru saja bertemu dengan orang yang
baru dikenal. Karena kecerdikan utusan Pajajaran yang berhasil mengecoh utusan
Muaraberes—maka buah honje pun diberikan separuh kepada utusan Pajajaran.
Semenjak itulah perjodohan antara Mundinglaya dan Dewi Asri dimulai.
Tak
kehabisan akal, Raden Sunten Jaya juga mencoba merebut Dewi Asri dari
Mundinglaya. Raden Sunten Jaya berusaha untuk melamar Dewi Asri dengan dalih menceritakan
bahwa Mundinglaya sudah mati dibunuh raksasa saat mencari Langlayangan Saloka
Domas. Lamaran Raden Sunten Jaya pun ditolak mentah-mentah oleh Dewi
Asri—karena ia yakin Mundinglaya akan selamat dan pulang untuk menikahinya.
Raden Sunten Jaya semakin murka karena lamarannya ditolak oleh Dewi Asri—ia
semakin dengki kepada Mundinglaya karena ia selalu kalah dalam hal apapun.
Alhasil,
Mundinglaya pun pulang dengan membawa Langlayangan Saloka Domas. Mundinglaya
berhasil melewati perjalanan rohani yang sungguh penuh rintangan. Ia berhasil
sampai di Sajabaning Langit dan melewati rintangan-rintangan lain. Semenjak
itulah Mundinglaya mendapat gelar Mundinglaya Di Kusumah. Ia menikah dengan
Dewi Asri dan hidup bahagia.
Sebenarnya
antara esai Ajip Rosidi yang berjudul Mundinglaya Di Kusumah dan penceritaan
kembali oleh Abah Yoyok ini esensinya sama—yaitu berakhir dengan akhir yang
bahagia. Mundinglaya tetap menjadi seorang yang selalu lebih unggul dibanding
Raden Sunten Jaya. Berbeda dengan penceritaan Ramayana antara Sujiwo Tejo dan
Walmiki—Sujiwo Tejo berani menggubah bahwasanya Rahwana itu sebenarnya berhati
baik dan setia—yang berbanding terbalik dengan penceritaan Ramayana Walmiki.
Karena itulah Mundinglaya Di Kusumah sampai saat ini menjadi idam-idaman masyarakat
Sunda karena sifatnya.
Yogyakarta,
2021.
Biodata Penulis
Yogi
Dwi Pradana, seorang mahasiswa Sastra Indonesia di UNY. Aktif di organisasi
Susastra KMSI UNY dan bergiat di komunitas UNYCommunity. Beberapa karyanya
pernah dimuat di media, seperti: metafor.id, mludus.com, terminal mojok,
opini.id, kamianakpantai.com, dan unycommunity.com. Dapat disapa melalui akun
Instagram @yogidwipradana.
Tidak ada komentar