Cerpen: Bidadari Berhati Baja
Ketika dua
insan telah dipersatukan maka akan ada ribuan cinta dan kasih sayang yang
secara tiba-tiba meyakinkan untuk bisa hidup bersama hingga akhir hayat. Aku
Mira, malaikat kecil yang diciptakan Tuhan untuk Ayah dan Mama. Di masa balita aku
hidup dengan kasih sayang orang tua. Di mana kala itu setelah mama melahirkanku
dan Ayah membawa kami pergi untuk menempati satu gubuk kecil di sebuah desa. Tiga tahun berlalu,
aku berada di lingkungan yang jauh dari tempat kelahiranku, ternyata masyarakat
begitu senang atas kedatangan dan menghargai keluargaku. Keluarga kecil yang
dibangun dengan cinta dan sayang hingga akhirnya lahirlah sebuah malaikat kecil
nan mungil yaitu aku. Malaikat kecil yang selalu dimanja, diperhatikan, dan disayang. Aku bangga akan
kehadiranku ke dunia memberikan warna untuk orang-orang yang kusayangi. Masa
balita telah dilalui hingga akhirnya beranjak menjadi kanak-kanak dan pergi
meninggalkan satu gubuk yang pernah kami tempati. Mungkin banyak sekali
kenangan di masa
balita yang pada dasarnya aku lupa dan tak tahu bahwa ada memori indah di sana.
Setelah itu
keluargaku meninggalkan gubuk yang memberikan kenangan. Hingga akhirnya aku
tinggal dan hidup dengan keluarga kecil di sebuah istana yang sampai saat ini
kami tempati yaitu rumah. Demi menghidupi keluarga kecil ini, ayah bekerja apa
saja asalkan halal. Betapa bangganya memiliki cinta pertama yang berjuang demi
keluarganya, kuli bangunan, angkut batu, supir truk dan pernah suatu ketika ayah
merantau demi kami.
Jasa beliau rasanya tak akan bisa terbayar dengan uang yang kumiliki jika aku
telah bekerja. Sedangkan mama yang mengandungku 9 bulan lamanya dengan
kesabaran merawatku hingga akhirnya aku dewasa saat ini.
Pernah
suatu ketika ada perbedaan dan kesalahpahaman akan orang tua ayah dengan mama.
Pada saat itu,
masa di mana mama dapur rumah menyatu dengan orang tua ayah. Kejadian itu
terjadi ketika aku masih kanak-kanak dan mama hanya bisa bersabar akan tuduhan
itu. Kebetulan adik dari ayah masih serumah dengan orang tuanya.
“Ibu, aku
mau makan, lapar.” Tanteku
merengek.
“Sana
makan, Nak. Itu sudah ada lauknya tempe, ikan asin, sayuran sama sambalnya.”
“Iya, Bu.”
Ketika
tante makan, mamaku juga lapar pada saat itu dan apa yang terjadi. Mamaku tak
dihargai, disepelekan, padahal menantu dari nenekku. Sungguh kejam dan tak
berlaku adil kepada anak-anaknya. Bagiku berasa tak punya hati, tapi aku tak
mungkin menaruh dendam kepada nenek dan kakekku karena aku masih anak-anak yang
tak mengerti apa itu suatu masalah. Ketika aku beranjak remaja di usiaku yang
masih belia dan duduk di kelas 8 SMP, harus memiliki beban yang tak seharusnya
kuketahui tetapi, karena perasaan yang mamaku pendam sejak 17 tahun diluapkaan
kepada anak bungsunya yaitu aku.
Aku memang
memiliki saudara laki-laki yang tidak tinggal dengan orang tuaku, tetapi dia diasuh
oleh nenek dan kakek dari ayah yang rumahnya sebelahan. Bahkan banyak sekali
permasalahan di masa
aku balita hingga saat ini pun kurasakan. Pernah suatu ketika
keluargaku mendapat sebuah guncangan yang begitu dahsyat. Pada malam itu aku
dan mama baru saja
mengunjungi rumah kakek dari mama. Memang hari-hari sebelumnya ada sedikit
masalah dan ditambah lagi perasaan yang terpendam atas perlakuan mertua
terhadapnya.
“Assalamu’alaikum
,” ucapku ketika sampai di rumah.
“Wa’alaikumsalam,
Dik.”
“Siapa itu
yang menyewa orang? Katanya tak mau menyewa?” Mamaku sedikit ngoceh, karena
pada waktu itu musim kemarau dan ketika ayah disuruh untuk menyewa orang buat alirin
air tak mau.
“Tidak
tahu, Ma.” Masku menjawab pertanyaan mama.
“Bicara
apa? Bicara tak ada aturannya?” kata beliau kepada mama.
“Saya tidak
membicarakan anda, untuk apa anda sampai bersikap seperti ini?” ucap mamaku
dengan tegas.
Seketika kakekku
mendobrak pintu dengan kakinya, sontak anggota di rumah kaget tetapi, pada saat
itu ayah ada acara pengajian di dekat rumah. Kata-kata kasar keluar dari mulut
beliau, hingga akhirnya aku dan masku meneteskan air mata lantas ucapan beliau
yang tak wajar di depan cucunya. Siapa sangka beliau akan melakukan hal yang
membuat cucunya meneteskan air mata. Setelah perdebatan itu, kurasa akan
selesai tak memperpanjang tetapi sekitar jam 22.00 WIB terdengar suara dari
luar yang mana ayahku berbicara dengan kakek tentang permasalahan itu.
Setelah kuteliti, semakin malam
suara itu semakin menggetarkan
hatiku dan melangkahkan kakiku ke depan teras rumah. Dan apa yang terjadi,
ternyata ada keributan antara kakek dan orang tuaku. Sampai akhirnya kejadian
inilah yang tak kuinginkan. Apakah berakhir di sini? Apakah menjadi keluarga broken home? Itu bukan dambaan tetapi
merusak mental dan batin sang anak serta keluarga. Keesokan harinya ada
perbincangan antara aku dan mama.
“Nak, besok
kita pergi ke rumah Mama ya.”
“Iya, Ma.”
“Jangan
lupa baju sekolah, baju ganti dan buku pelajaranmu dibawa.”
Hari itu
pagi-pagi sekali kupersiapkan diri boyongan karena merasa sudah tak tahan akan
perbuatan keluarga ayah terhadapku dan mama. Kuikuti kemauan mama, karena kutahu
banyak sekali tetesan air mata, perlakuan dan perkataan mertuanya. Aku mendengar
keluh-kesah dan curahan mama kepadaku. Dan akhirnya kupergi bersama mama ke rumah
kakek tanpa salam pamit kepada ayah. Mungkin bisa dikatakan tak sopan, tapi
demi kenyamanan mama yang sabar dan kuat. Setelah 30 menit perjalanan aku dan mama
sampai, disambut dengan bahagia oleh kakek dan nenek. Awalnya mereka tak tahu
apa yang terjadi dan alasan mengapa sampai boyongan begini.
“Assalamu’alaikum
Kakek, Nenek.”
“Wa’alaikumsalam,
Nduk.”
“Tumben
pagi-pagi sekali datang kemari.”
“Iya, nih
Nek.”
Curahan
mama kepada ibu yang melahirkannya merasa akan kesedihan juga, anaknya yang diserahkan
sepenuh jiwa kepada menantunya untuk dijaga tetapi dikecewakan akan campur
tangan orang tuanya. Satu hari sampai seminggu aku menginap di rumah Nenek agar tak
merasa beban, tapi pada kenyataannya psikologis mental dan bantinku. Selama
seminggu aku bersikap biasa
saja di depan kawan seperjuanganku tanpa ada keluh kesah. Malaikat kecil ini
tetap tersenyum, tertawa, berbaur dengan kawan-kawannya yang dirasa cukup aku
saja yang merasakan retaknya permasalahan ini akan tetapi, ketika pelajaran
dimulai pikiranku tetap kepada masalah keluarga yang tak kunjung padam.
Selama
seminggu aku merenungi dan selalu meteskan air mata akan kejadian ini, tak
ingin menjadi anak broken home dan
bukan cita-citaku. Apalagi
mereka di luar sana yang telah broken
home sebenarnya tak menginginkan dan itu adalah takdir. Pada kejadian itu malaikat
kecil dituntut kuat, sabar dan tangguh layaknya seorang mama yang telah
melahirkan putri bungsunya. Keadaan membuatku
lemah dan hampir saja membuatku mundur dalam ajang perlombaan, tetapi demi
keyakinan dan semangat orang-orang terdekat, aku bisa bangkit dan melangsungkan
perlombaan itu. Ketika malam tiba mama berkata padaku akan alasan mengapa masih
sanggup bertahan.
“Nduk, mama merasa tak
dianggap bahkan dulu keluarga ayahmu menyuruh orang untuk memisahkan kita dan
membagi hartanya. Dengan kesabaran dan kekuatan mama akan perilaku mereka tak
membuat mama ingin berpisah dengan ayah, karena mama mempertahankan pernikahan
demi kalian anak-anakku. Mama tak ingin kalian kurang kasih sayang dari orang
tua. Mama pernah berkata dan berdoa agar kalian lekas tumbuh dewasa agar mama
bisa menceritakan hal yang telah mama rasakan sejak 22 tahun lamanya dan mama ingin
dijaga oleh kalian sebagai kekuatan mama.” Air mata bening di pipi Mama
jatuh sembari menceritakan keaadaan dulu.
“Iya, Ma.
Aku akan menjaga mama sampai nanti.”
Hingga
akhirnya pada hari keempat berada di rumah nenek ada tamu ternyata paman dari ayah
mendatangi aku dan Mama. Alasan beliau ke sini untuk membujuk Mama agar kembali
lagi ke rumah. Tetapi, kekecewaan dan sakit hati terlalu dalam hingga akhirnya
mama tak ingin pulang ke rumah. Mama mengistirahatkan diri di sini agar merasa
tenang dan mengurangi beban.
“Nduk, bagaimana
kabarnya?”
“Alhamdulillah
baik, Paman.”
“Bagaimana
ada rasa ingin pulang? Tetangga di rumah ingin kamu pulang.”
“Belum bisa,
Paman. Saya masih ingin di sini menenangkan diri.”
“Oh, ya
sudah kalau memang masih di sini. Kami tunggu kalian pulang
ya.”
Perbincangan
yang singkat namun tetap ditolak oleh mama. Setelah paman membujuk ternyata dua
hari setelahnya pada sore hari ayah datang tanpa menaiki kendaraan. Ayah
berjalan kaki hingga sampai di sini. Kaget, sedih dan senang ayah datang
kemari. Ayah disambut dengan baik oleh keluarga mama karena bagaimanapun ayah
tetap menjadi suami dari Mama. Entahlah, aku tak tahu apa yang dibicarakan
di luar,
aku hanya diam di kamar. Sesaat waktu menandakan untuk menunaikan salat magrib. Ayah dan omku
beranjak sholat di masjid terdekat. Mereka lama sekali salatnya, ternyata
mereka juga menunggu azan isya’ tiba. Setelah mereka menyelesaikan salat di masjid, mereka
kembali ke rumah.
Namun, ada hal aneh yang dikatakan oleh ayah ketika hendak berpamitan. Ayah
berpamitan kepada seluruh keluarga besar mama di sini.
“Nduk, kamu mau di sini atau ikut ayah?”
“Mira di sini,
Yah.”
“Oh, kalau
begitu jangan cari ayah ke rumah. Ayah, tidak ada di rumah.”
Mungkin
hanya perbincangan sekilas dengan ayah, kupikir ya sudah aku tak tahu.
Ternyata setelah ayah pergi menaiki mobil berwarna kuning di malam hari menuju
ke arah barat. Om berkata kepada mama dan aku, lantas ayah bercerita
meninggalkan rumah dan ingin pergi ke suatu tempat yang memang cukup jauh.
Sontak aku kaget dan merasa tak mungkin ayah nekat. Ketika mama mendengar
perkataan om tadi, mama merasa biasa saja namun di dalam hati mama ada rasa
iba.
Ketika jam
menunjukkan pukul 00.00 WIB, mama dan om pergi mencari keberadaan ayah. Tapi,
ternyata ayah berada di sebuah makam
leluhur atau kyai untuk berziarah menenangkan diri di sana. Karena memang pada
dasarnya tempat itu sering dikunjungi oleh ayah dan mama. Pada akhirnya ayah
dan Mama saling memaafkan walaupun masih ada sedikit keganjalan di hati mama.
Kalaupun sudah sama-sama sayang dan cinta bagaimanapun masalahnya tetap saja
akan menyatu kembali.
“Merajut
sebuah pernikahan bukanlah hal yang mudah, dituntut kuat, sabar dan saling
meredam jikalau ada masalah. Jagalah keluarga tanpa ada campur tangan dari
luar, karena keluarga bahagia itu dibangun atas dasar kekuatan iman keduanya.
Kesabaran yang kita lakukan akan membuahkan hasil yang istimewa.” (*)
Almaidah Sela Agustin Istiqomah, lahir di Jember, Jawa Timur. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNEJ. Sejak 2018, beberapa karya esai, dan cerpen di perlombakan.
Tidak ada komentar