Dari Secagkir Kopi ke Minuman Instan
è dimma kalambhina, arèya’ songko’na. è dimma kopina, arèya’ roko’na.
Oleh:
Khossinah
Filosofi
kopi sudah sangat banyak dibahas dan menjadi topik menarik di berbagai tulisan
ilmiah atau kesusastraan yang tersebar
di berbagai macam media cetak atau daring. Para penulis yang sebagian besar
dari mereka adalah pecinta berat kopi mengusung tema “kopi” dengan sangat
antusias seperti mereka menceritakan kisah hidup mereka yang tersimpan dalam
secangkir kopi. Bagaimana secangkir kopi dapat mengisahkan kesedihan karena
sendiri atau kebahagiaan bersama orang-orang terkasih baik keluarga, teman,
guru dan lain-lain. Kopi tidak hanya terkenal di kalangan para orang tua tetapi
baru-baru ini bahkan menjadi tren di kalangan remaja. Akan tetapi jika
dipandang secara lebih seksama, konsep ngopi terus mengalami degradasi dari
waktu ke waktu entah itu karena faktor lingkungan, budaya atau lainnya. Mari
kita bahas perubahan-perubahan ini setelah mengkaji hakikat kopi terlebih
dahulu.
Kopi
berkontribusi besar dalam korelasi sosial antar individu dan semakin menambah
keakraban diantara keduanya. Di Madura, minum kopi tidak hanya menjadi
kesenangan tetapi bahkan menjadi kebudayaan luhur yang mencerminkan sifat dan
sikap seseorang. Kepribadian seseorang dapat diketahui dari cara ia minum atau
menghidangkan kopi, sehingga menurut masyarakat Madura berbeda tingkatan moral
seseorang yang ketika mengidangkan kopi menggunakan nampan dengan yang tidak
menggunakan nampan atau seseorang yang minum kopi dari cangkirnya langsung
dengan orang yang minum kopi masih dituang ke lèpè’ (piring kecil yang menjadi alas cangkir). Banyak filosofi
terkandung di dalamnya. Bagi masyarakat Madura, belum afdal rasanya ketika
silaturrahmi tanpa hidangan secangkir kopi. Menghidangkan secangkir kopi adalah
bentuk penerimaan tuan rumah dengan senang hati, dengan segala hormat dan
penuh kebahagiaan. Maka tak salah
ungkapan humor orang Madura “è dimma
kalambhina, arèya’ songko’na. è dimma kopina, arèya’ roko’na” yang kalau
diterjemahkan ke dalam bahasa nasional adalah “di mana bajunya, ini songkoknya.
Dimana kopinya, ini rokoknya”. Maka berarti, kopi menjadi sesuatu yang paling
penting dan harus terpenuhi dalam asosiasi masyarakat baik dalam rangka
silaturrahmi, gotong royong dan perkumpulan-perkumpulan lainnya. Tidak hanya
cukup menjadi minuman lokal, kopi juga diikut sertakan dalam sesajen ritual
masyarakat Madura. Seperti “nyonyondeng”
yakni sesajen yang berisikan kopi diantaranya kemudian diletakkan di suatu
tempat yang diyakini keramat, bertujuan untuk diselamatkan dari segala yang
mencelakakan.
Namun
seiring kencangnya waktu berlari, tradisi lokal mulai mengalami deklinasi yang
kian parah dari masa ke masa. Budaya menghidangkan secangkir kopi jarang
ditemukan di rumah-rumah, perbincangan yang gaduh di ruang tamu kini langka
terdengar jua. Dimana manusia-manusia sekarang tidak hanya kehilangan warisan
adat mereka tetapi sikap menghargai dan menghormat itulah yang tambah hari
tambah memprihatinkan. Kita dapat melihat bukti aktualnya di alam luas, adab
timbal balik seorang tamu kepada tuan rumah misalnya. Dikatakan bahwa “tamu
adalah raja”, maka sudah sepantasnya tuan rumah menerimanya dengan baik dan
tamu juga harus memperhatikan tata krama bertamu dengan seksama. Dimana manusia
sekarang lahir dengan segala kemudahan hidup, serba modern dan instan. Menghidangkan
secangkir kopi dianggap rumit dan memakan waktu banyak, dari mengolah biji kopi,
menumbuk, memasak air, mencampurkan gula dan mengaduk. Pada akhirnya mereka
lebih tertarik dengan gelasan minuman instan yang praktis, dengan kata kutip
“kalau ada yang mudah kenapa harus yang susah?” Dan tidak hanya berhenti sampai
di situ, yang dulunya orang bersilaturrahmi dari hati ke hati sekarang hanya
dari mulut ke mulut. Kebanyakan ketika berkumpul, cukup jasadnya saja yang
berdampingan namun jiwanya tidak di situ. Maka hal demikian dapat ditilik dari
sudut pandang sosiologi, mengapakah interaksi sosial tersebut terganggaggu?
Pertama, suguhan segelas teh instan menandakan bagaimana manusia masa kini
tidak seagresif manusia masa lampau dalam menjamu tamu sehingga dalam
komunikasinya pun tak jarang terganggu oleh hal-hal lain misalnya sama-sama
main gawai. Kedua, dulu ketika banyak orang berkumpul maka fokusnya hanya akan
kepada satu titik yaitu pembahasan dalam perkumpulan mereka. Tidak peduli
apapun yang terjadi di sekitar dari saking asyiknya berbagi cerita atau
mendengarkan cerita, keakrabanlah yang nampak. Berbeda dengan sekarang yang
fokusnya terbagi, seakan kebersamaan dalam artian ikatan batin diantara mereka
memudar tanpa mereka sadari. Sehingga terlihat meskipun mereka bersama namun
sibuk dengan urusan masing-masing, teralihkan oleh gawai misalnya. Jadi,
alangkah lebih baik menyalakan kembali api kebudayaan yang hampir padam ini.
Dengan tujuan melestarikan juga memupuk akhlakul karimah demi masa depan yang
lebih baik.
Sumber
rujukan :
Hasan,
Nor. Persentuhan Islam dan Budaya Lokal. Duta
Media Publishing, Februari 2018.
Gumulya,
Devvany. Dimensi. Februari 2017. Kajian
Budaya Minum Kopi Indonesia. Vol.13, No.02.
Zubairi,
Dardiri A. Wajah Islam Madura. TareBooks
2020.
*Khossinah lahir
di Sumenep, 20 Maret 2002. Mahasiswa jurusan Sosiologi Agama, Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Belajar menulis
di LENSA dan Sanggar Sareang MU.
Tidak ada komentar