Potret Kemiskinan Di Balik Gemerlap Ibu kota
Oleh
: Setiya Eka Puspitasari *
Kemiskinan merupakan salah satu masalah
kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hal ini masih menjadi persoalan
yang besar di berbagai negara, khususnya di Indonesia yang hingga kini belum
dapat tertanggulangi dengan baik. Kemiskinan di Indonesia menjadi salah satu
faktor yang membuat sebagian penduduk tinggal di kolong jembatan atau gubuk
liar. Kemiskinan di Perkotaan merupakan kenyataan
kelam dari gemerlapnya kota-kota besar. Hal semacam itu, banyak dijumpai
di Kawasan Perkotaan seperti Ibu Kota Jakarta. Ternyata, di balik gemerlapnya
Ibu Kota, masih banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, meskipun
berbagai upaya telah dilakukan untuk mengetaskan garis kemiskinan.
Apabila dilihat dari
sudut kota-kota besar di Indonesia seperti Ibukota Jakarta, di belakang atau di
samping megahnya bangunan bertingkat yang menjulang ke langit, berserak di
sekitarnya perkampungan kumuh yang dihuni kaum pinggiran miskin kota. Di balik gemerlapnya Jakarta sebagai ibukota negara, ternyata
menyimpan sisi kusam, pada tembok atau rumah yang terkadang saling bersanding
dinding antara si kaya dan si miskin. Selama
pemukiman kumuh dan kolong-kolong jembatan masih dihuni kaum miskin kota, itu
pertanda bahwa Ibu Kota Jakarta belum terlepas dari persoalan kemiskinan. Hal
tersebut menjadi persoalan yang sangat mendasar
dan menjadi fokus atau perhatian bagi Pemerintah Indonesia.
Kaum miskin
kota terutama kaum pinggiran, biasanya tak punya pekerjaan tetap. Profesinya
bisa pedagang kaki lima, kuli angkut, buruh pabrik, buruh bangunan, penarik
becak, seniman jalanan, dan pemulung serta bermacam-macam pekerjaan serabutan
yang selalu diupayakan untuk sekadar
bertahan hidup ditengah kerasnya Ibu Kota. Kebanyakan dari mereka tinggal di
gubuk-gubuk liar yang tak layak huni karena angka pengangguran yang ikut serta,
berkontribusi terhadap tingginya jumlah kaum miskin kota. Namun, berkurangnya lapangan
pekerjaan dan melambatnya kondisi perekonomian serta kurangnya pertumbuhan
industri menjadikan kekhawatiran bagi kaum miskin kota, karena beresiko garis
kemiskinan menjadi tinggi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS),
Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2021, dengan persentase
sebesar 480,86 ribu orang, jumlah tersebut setara dengan 4,53% dari total
penduduk DKI Jakarta. Dari data tersebut bahwa tingkat kemiskinan di Ibu Kota
Jakarta karena peningkatan kaum miskin kota yang belum bisa diatasi. Realita di atas menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan
salah satu masalah yang sangat serius, karena hampir separuh penduduknya berpenghasilan
di bawah standar dan hidup tak layak.
Apa yang harus dipersiapkan
menyangkut masalah kaum miskin kota ke depan? Sudahkah program-program
pengentasan kemiskinan dilakukan, seperti Bansos PKH, KIP, KMS, JKN dan
lain-lain guna memberdayakan kaum miskin kota?
Pendekatan Pengentasan
Kemiskinan
Kemiskinan memang menjadi
masalah sosial yang harus dipecahkan bersama, karena persoalan kemiskinan
perkotaan bukan lagi terfokus pada soal akses mendapatkan bahan makanan. Tetapi
juga pada pendekatan kemiskinan kebutuhan manusia, seperti akses terhadap
perawatan kesehatan, tempat tinggal yang layak, air bersih akses terhadap
pendidikan, energi dan kualitas gender.
Pengentasan kemiskinan
perkotaan dengan menggunakan dana bansos, seperti PKH, KIP dan lain sebagainya,
memerlukan adanya sebuah konsep baru dengan mengedepankan keaktifan masyarakat
terutama kaum miskin kota dalam program tersebut secara langsung. Sebenarnya
sudah dikenalkan mengenai perencanaan yang berbasiskan peran serta masyarakat
melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Namun, hasil yang diharapkan
tidak seberapa sukses karena banyak dana PNPM yang tidak kembali, sehingga
hasilnya tidak optimal bahkan gagal. Maka dari itu, konsep baru tersebut harus
dipadukan dengan pendekatan modal sosial dalam pengentasan kemiskinan di
perkotaan.
Dalam pendekatan modal
sosial upaya untuk mengentaskan kemiskinan, masyarakat diharapkan dapat berinteraksi
dalam kegiatan-kegiatan bermasyarakat. Sehingga bisa terbentuk bonding (mendorong dan mendukung masyarakat berpartisipasi dalam
program pemberdayaan), bridging (mengupayakan pendanaa dan
memfasilitasi sosialisasi program), dan linking (membantu menentukan jenis
program dan menentukan strategi pemberdayaan) untuk membuka akses-akses
strategis dan pendekatan untuk memecahkan berbagai masalah kemiskinan, yang
bisa mendorong pendapatan sehingga program tersebut dapat berjalan secara
optimal dan kemiskinan bisa diminimalisir.
Konsep semacam ini bisa diterapkan di
berbagai bidang, termasuk kesehatan dan pendidikan. Konsep BPJS, KIS ataupun
KIP sebenarnya menggunakan pendekatan keaktifan masyarakat, dalam menjalankan
program pengentasan kemiskinan. Namun, tidak memasukkan konsep modal sosial
karena masyarakat dituntut aktif dalam pembayaran premi per bulan. Bagi
karyawan perusahaan mungkin akan lebih mudah karena diurus langsung oleh
perusahaan. Di sini yang menjadi permasalahan ialah individu yang merupakan
pekerja non formal. Realitanya masih banyak praktik-praktik dimana masyarakat
baru akan membayar premi ketika mereka sakit, kemudian sebagian besar
masyarakat setelah mereka sembuh tidak lagi membayar premi. Oleh karena itu
BPJS selalu merasa dirugikan, padahal sudah ditetapkan di Undang-undang Dasar
1945 bahwa kesehatan dan pendidikan merupakan jaminan dari pemerintah.
Begitu pula adanya
program bantuan beras Raskin, Bantuan Uang Tunai untuk masyarakat terutama kaum
miskin kota dan seterusnya. Bahkan, untuk masyarakat produktif ada bantuan
kredit berbunga murah seperti KUR, merupakan bagian dari pendekatan modal
sosial untuk mengentaskan kemiskinan. Artinya, beban kaum miskin kota berkurang
dalam pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan serta dalam pemenuhan
kebutuhan pokok. Dari sini diperlukan adanya
pendekatan modal sosial dalam setiap sistem pendaftaran dan kewajiban membayar
premi BPJS. Program-program
pendekatan pengentasan kemiskinan lainnya juga perlu ditambah lagi guna mengadopsi
pendekatan perencanaan berbasiskan keaktifan masyarakat dan pendekatan modal
sosial. Dengan begitu, ada sebuah terobosan baru program yang bisa
diharapkan dapat menunurunkan angka kemiskinan terutama di perkotaan. Setelah adanya
program pengetasan kemiskinan, diharapkan kaum miskin kota menunjukkan
perbaikan taraf hidup masyarakat. Maka hasilnya, tingkat kemiskinan di
perkotaan akan menurun dan membaik.
*) Mahasiswa
Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dan saat ini aktif di komunitas
Lensa.
Tidak ada komentar