Puisi: Hujan Pukul 12.30
Puis-Puisi M.Z. Billal
Hujan
Pukul 12.30
hujan
jatuh deras sekali tepat pukul 12.30.
aku
menunggu di luar. di teras sebuah toko pakaian.
sementara
sebagian besar orang berebut masuk ke dalam
rumah
minum. tidak untuk mencari sesuatu.
mereka
tidak menginginkan apa-apa selain sampai
tujuan.
bahkan kehangatan sekalipun.
dan
kini jalanan dan halaman batu seperti cermin lentur.
memantulkan
segala yang diam terlihat bergerak.
termasuk
wajahku yang sembunyi di antara sepasang
sepatuku
yang mulai basah oleh genangan. tapi aku tidak suka
menatap
kedua mataku di sana. seluruh kenangan
menjelma
kubangan berlumpur. menarikku paksa hingga
ke
dasar ingatan yang sudah lama kulupakan.
mengapa
hujan yang turun pada tengah hari
kadang
bersikap kurang sopan terhadap perasaan
yang
terjebak kenangan dan membuat rasa rindu
terapung
secara tiba-tiba? aku hanya ingin sampai
di
rumah. menyeduh teh dan menatap ketiadaan
yang
semakin kuyup dari jendela ruang tamu.
hujan
makin deras setelah pukul 12.30.
orang-orang
mulai resah tapi tubuh mereka
kaku
seperti manekin. mereka semua kini
terperangkap
dalam perasaan yang sama.
antara
lekas ingin pulang atau menjatuhkan diri sendiri
kepada
jalanan dan halaman batu yang telah berubah
seutuhnya
jadi cermin dimensi. yang melepaskan
seluruh
kenangan tanpa terkecuali.
Kamar
Alegori, 2020
Menunggumu Pulang
aku tidak akan pernah merasa bosan
menunggumu di sini, meski letih kerap
mampir
seperti tamu tidak diinginkan.
aku senang menjadi selembar daun pintu
yang menghadap ke barat, barangkali
tempat wajahmu
berada sangat jauh dan entah di mana.
tidak peduli angin musim selatan akan
menderaku
dalam hujan dan guruh yang membuat
dadaku
berdegup tidak biasa. yang penting aku
bisa menatap
senja. sepotong langit berwarna jingga
yang dicintai banyak orang.
juga aku. senja yang selalu
mengingatkanku padamu.
menunggumu pulang adalah kebiasaan baik
bagiku.
aku jadi rajin bergerak dan melatih
kesabaran.
meski kemungkinan besarnya kau tidak
akan pernah
muncul di ujung jalan setapak, tepat di
pintu masuk
pagar halaman rumah. aku cuma sering
berandai-andai
dengan diri sendiri, saat kau pulang,
aku akan menyambutmu
dengan perayaan. atau kita akan
berbincang hingga petang
di bawah mahoni yang rindang.
menyenangkan sekali, bukan?
walau aku sadar betul, ujung muara
keinginan ini selalu berakhir
pada hatiku yang patah dan makin menua.
aku akan tetap di sini, merayakan rasa
sepi
setia menunggumu pulang. sebagai
catatan rindu
yang belum tuntas. dan membiarkan waktu
mengurungku dalam perasaan-perasaan
yang makin asing.
aku tidak apa-apa, meski aku tidak
baik-baik saja.
Kamar Alegori, 2020
Bunga
Puisi
dan
seluruh kisah yang pernah kaututurkan
kepadaku
menjelma bunga-bunga yang memenuhi
taman
dan sepanjang tepi jalan kota. tiap kuntum
yang
siap mekar esok hari menyiapkan diri
untuk
melepaskan serbuk puisi dan bau harum.
menenangkan
perasaan orang-orang yang terperap
oleh
hal-hal ganjil sekian waktu.
kau
benar tentang kenapa kita sebaiknya
menutup
seluruh pintu rahasia. dan membiakan
ia
terkunci gembok baja yang sulit dihancurkan.
tidak
peduli kedatangan sebagian orang untuk ingin
tahu
dan mereka pada akhirnya bersikap menyebalkan.
sebab
tidak ada tempat yang betul-betul baik,
kecuali
pelukan ibu dan taman jiwa tempat kita bersujud.
kau
bilang, pada suatu hari yang tidak pernah
dapat
ditebak. tiap orang akan menumbuhkan
banyak
jenis bunga dari kata-kata mereka.
seperti
bunga-bungamu yang menghias sekotak taman
kering
yang kehilangan diri untuk memercayai harapan.
semua
benar-benar memiliki waktu untuk menumbuhkan
hanya
tidak pernah ada yang tahu pada saat kapan itu terjadi.
Kamar
Alegori, 2020
December
31
05.10
a.m.
“apakah
esok akan baik-baik saja?
aku
mulai tidak yakin.”
kau
bertanya kepada langit-langit kamar. yang mulai
menyerap
sedikit demi sedikit lembar-lembar
sinar
matahari yang tadinya tersesat di awan mendung.
dan
tidak pernah ada jawaban selain lirih suara ibu
bertanya
apakah kau sudah sembahyang atau belum.
08.14
a.m
“hujan
justru semakin deras. semakin
membasahi
dada.”
kau
selalu sempat berpikir bahwa akhir tahun
adalah
sesuatu yang harus ditinggalkan.
padahal
kenyataannya kau justru lebih banyak
meninggalkan
sebelum menyelesaikannya.
semisal
kaca jendela yang kaubiarkan semakin buram.
11.57
a.m.
“menu
makan siang kita adalah sepiring percakapan
yang
terjadi pada masa silam.”
kau
duduk sendirian, menatap ke luar jendela.
jarum
jam menari seperti parade di alun-alun kota
kenapa
dadamu sekarang penuh oleh hal-hal
menyedihkan?
03.23
p.m.
“jalan
yang basah memantulkan semua
pergerakan.
termasuk air mata.”
kau
masih menunggu. padahal sebentar lagi
seharusnya
kau berangkat. apakah pergi
adalah
jalan pulang.
07.17
p.m.
“asap
kopi adalah harapan-harapan
yang
memilih untuk pulang dan tidur.
dan
sinar lampu kota adalah jenis rindu yang lain.”
kau
tidak menginginkan apa-apa
kau
hanya perlu sendiri dan entah sampai
kapan
sendiri.
11.46
p.m.
“apakah
besok baik-baik saja?
ah,
aku semakin yakin.”
kau
menarik selimut. lagu-lagu klasik
terdengar
mengalun di telingamu.
tak
peduli orang-orang membakar malam
dengan
retihan bunga-bunga api
yang
menyala dari perapian.
Kamar
Alegori, Desember 2020
Alien
bagaimana jika alien sebenarnya
adalah diri kita sendiri?
kita yang memilih menjadi asing
untuk banyak hal.
seperti pura-pura tidak mengenal
seorang teman dekat, menjauhi
peradaban,
sepenuhnya tenggelam ke dalam
buku-buku,
masa bodoh pada daun-daun yang jatuh,
membangun ruang lapis baja tanpa
jendela,
dan memutuskan untuk berhenti
memiliki perasaan.
yang pada akhirnya kita nanti lebih
mirip
gelombang radio misterius. hanya bisa
terdeteksi berasal dari suatu tempat.
mengapung di jagat buana. tanpa tahu
itu apa.
ketimbang manusia biasa yang menikmati
akhir pekan dari beranda.
bagaimana jika alien sebenarnya
adalah diri kita sendiri?
Kamar Alegori, 2021
BIODATA
M.Z. Billal, lahir di Lirik, Indragiri
Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam
kumpulan puisi Bandara dan Laba-laba
(2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali), Antologi
Rantau Komunitas Negeri Poci (2020) Membaca
Asap (2019), Antologi Cerpen Pasir
Mencetak Jejak dan Biarlah Ombak Menghapusnya (2019) dan telah tersebar di
media seperti Pikiran Rakyat, Rakyat
Sumbar, Radar Mojokerto, Haluan Padang, Padang Ekspres, Riau Pos, Fajar
Makassar, Banjarmasin Post, Magelang Ekspres, Radar Cirebon, Kedaulatan Rakyat,
Medan Pos, Radar Malang, Radar Tasikmalaya, Bangka Pos, Radar Bekasi, Tanjung
Pinang Pos, Bhirawa, Merapi, Cakra Bangsa, Lampung News, ide.ide.id, biem.co,
magrib.id, dll. Fiasko (2018, AT Press) adalah novel pertamanya. Bergabung
dengan Community Pena Terbang (COMPETER) dan Kelas Puisi Alit.
Masha Allah... Puisinya keren keren pak guru. Sukses selalu
BalasHapus