Reformasi Birokrasi Perwujudan Birokrasi yang Berbudaya
Indentitas
Buku
Judul Buku :
REFORMASI BIROKRASI : Merumuskan Tata Birokrasi yang Kompatibel
Dewan
Redaksi : Wahyudi Anggoro Hadi, Ryan Sugiarto, Ahmad
Musyaddad, Any Sundari, AB Widyanta, dan Sholahuddin Nurazmy
Penerbit : Yayasan Sanggar Inovasi Desa
Cetakan : Pertama,
Agustus 2020
Ukuran Buku : 13 x 19
cm
Tebal Buku : xxxix + 119 halaman
ISBN:
978-623-94710-1-9
Judul
Resensi : Reformasi Birokrasi Perwujudan Birokrasi
yang Berbudaya
Resensator :
Junaedi, S.E.
Tema
Reformasi Birokrasi menjadi penting untuk dimasukkan ke dalam agenda Kongres Kebudayaan
Desa 2020, oleh sebab bagaimanapun, beberapa tahun terakhir otonomi desa dalam
mengelola sumber daya dan dana opeasional dari pusat adalah suatu semangat
untuk mewujudkan cita-cita kemandirian dan kesejahteraan desa.
Seperti
yang telah disebutkan oleh Presiden Joko Widodo dalam Nawa Cita, diantara
sembilan agenda prioritasnya, nomor tiga, yakni membangun Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara
kesatuan.
Reformasi
Birokrasi : Wujud Birokrasi yang Berbudaya
Menurut
pandangan Jufri Rahman, terdapat tiga hal utama yang menjadi prasyarat dalam melaksanakan
reformasi birokarasi di tingkat pemerintahan desa, yaitu : 1) identifikasi isu
strategis dan permasalahan yang terjadi pada setiap desa; 2) komitmen dalam
melakukan reformasi birokrasi desa; serta 3) dukungan masyarakat desa untuk
menciptakan tatanan desa yang lebih baik.
Selanjutnya,
Eko Prasetyanto Purnomo Putro dalam tulisan berjudul “Reformasi Birokrasi,
Kunci Pemerataan Kemampuan dan Kesejahteraan Desa” menjelaskan tiga fase yang
harus dilalui pemerintah sebelum mencapai kesuksesan dalam agenda reformasi
birokrasi.
Pertama,
fase rural based bureaucracy atau
birokrasi berorientasi aturan, fase
kedua yaitu performance bases bureaucracy
atau birokrasi berdasarkan kinerja, dan fase
ketiga yaitu dynamic bureaucracy
yang memadukan dua komponen penting yakni budaya dan aparatur pemerintahan.
Dalam
tulisan berjudul “Reformasi Birokrasi di Tengah Masa Pandemi, Perkuat Kampung
dan Masyarakat Adat”, Mathius Awotiauw memaparkan gagasan mengenai pentingnya
mengakui sekaligus mendukung masyarakat adat dalam menata dan mengelola
kampungnya sendiri. Bukti nyata dukungan ini yakni pada 2016, pemerintah dearah
setempat menerbitkan Peraturan Dearah Kabupaten Jayapura No 8 tahun 2016
tentang Kampung Adat.
Inti
gagasan mengenai kemandirian desa di dalam masa pandemi sebenarnya juga
diungkapkan oleh Wahyudi Anggoro Hadi, Lurah Panggungharjo. Bagi Wahyudi,
reformasi birokrasi mutlak diperlukan untuk mewujudkan tata kelola desa sesuai
dengan tatanan Indonesia baru. Sebab, reformasi desa erat kaitannya dengan
kemandirian desa. Kemandirian desa dapat dimaknai sebagai kemampuan desa untuk
mengelola kewenangan dan aset.
Dan
kunci kemandirian desa terletak pada kapasiats sosial atau sumber daya yang
dimiliki oleh warga desa. Namun, kapasitas sosial saja belum cukup. Perlu
adanya partisipasi masyarakat yang membuat kapasitas sosial berubah menjadi
modal sosial. Sementara itu, partisipasi mensayaratkan kepercayaan.
Padahal
kondisi yang terjadi saat ini banyak warga negara sudah tidak percaya lagi pada
negara, termasuk di tingkat pemerintahan
desa. Penyebabnya, perangkat desa tidak mampu menyelesaikan masalah menahun
yang terjadi sehingga kepercayaan warga pun terkikis sedikit demi sedikit. Guna
mengembalikan kepercayaan warga desa, pemerintah desa harus memiliki dua
kapasitas lainnya, yaitu kapasitas politik dan kepemimpinan serta kapasitas
proses dan birokrasi.
Masri
Amin sebagai pegiat desa dalam tulisan berjudul “Menghargai Keberagaman Cara
Desa Mereformasi Diri” menyampaikan bahwa desa jangan ‘dibajak’ dan menjadi
‘bancakan’ struktur di atasnya dengan beragam dalih dan modus. Terlebih ketika
adanya dana desa yang besar. Saat desa ingin berbenah untuk mereformasi diri,
pada saat yang sama seringkali desa
‘disandera’ dengan prioritas yang terkesan seragam berasal dari ‘ambisi’ rente
kebijakan.
Kritik
ini berdasarkan pada realitas ketika program dana desa dijalankan, pemerintah
desa banyak yang tidak berdaya
menghadapi skema kebijakan dan mekanisme pengelolaan dana desa yang
rumit, sementara itu dana seharusnya
diperuntukkan untuk kesejahteraan warga desa acapkali bocor sebelum turun ke
kas desa.
Kelebihan
dan Kelemahan Buku
Penggunaan
kosa kata asing atau kosa kata dari daerah tertentu, semisal Jawa merupakan
sisi kelebihan dan juga sisi kelemahan buku ini. Di satu sisi kosa kata asing
atau diksi daerah bahasa tertentu, dapat
memperkaya kosa kata bagi pembaca. Di sisi lainnya, pembaca hanya terpana dan
bingung ketika menjumpai kosa kata baru dan ilmiah.
Kekurangan
dari buku ini, adalah seharusnya buku yang kontennya sebagus ini sekaligus
dibarengi material buku, seperti kertas yang digunakan terliht kurang mewah, belum lagi kalau kita teliti sistematika
buku, tidak ditemukannnya bab per bab, terkesan tidak urut karena tidak ada
pendahuluan, konten isi, dan penutup. Sehingga terkesan asal-asalan.
Biodata Penulis
Junaedi,
S.E., Lahir 06 Januari 1974, Lulus S1 STIE Widya Wiwaha Yogyakarta (1999),
sebagai Pegiat Desa Budaya Bumi Panggung, bekerja di Yayasan Sanggar Inovasi
Desa (YSID) Kalurahan Panggungharjo Kapanewon Sewon Kabupaten Bantul Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. No WA : 088 225 045 416. Medsos IG : @imfatjunaedi,
Medsos FB : Junaedi Imfat.E-mail : junaei.imfat1974@gmail.com
Tidak ada komentar