Review Film: Si Buta dari Gua Hantu
era.id |
Oleh:
Ferry Fitrianto*
Film
Si Buta dari gua hantu merupakan film yang bisa dikatakan jadul karena film ini
dirilis pada tahun 1970an sudah lama ya rupanya bahkan saya sendri belum lahir
tahun segitu, mungkin bapak ibu saya juga masih bujang. Film ini berjudul Si
Buta dari Gua Hantu, dari judulnya aja udah keren ya ada kata hantunya biasanya
orang langsung membayangkan gua yang dihuni oleh para lelembut atau hantu
istilah kerenya, namun di dalam film ini justru tidak ada hantu atau lelembut
seperti yang dibayangkan waktu pertama kali, dalam film ini sebetulnya mengajak
kita untuk melihat realitas sosial yang terjadi di tengah masyarakat, dimana di
dalam film ini ada penokohan orang-orang difabel yang secara terang-terangan
mendapat penghinaan dari orang-orang yang memiliki fisik normal bahkan mereka
sering dikucilkan dan diremehkan namun jangan disangka mereka lemah justru
dalam film ini mereka-mereka yang difabel memiliki ilmu kanuragan yang tinggi
bahkan orang yang berfisik normalpun belum tentu punya kesaktian. Film Si Buta
dari gua hantu ini disutradarai oleh Lilik Sudijo.
Adapun
para tokoh utama dalam film ini yaitu si Mata Malaikat yang diperankan oleh
Maruli Sitompul kemudian Barda Mandrawarta atau Si Buta dari gua hantu
diperankan oleh Ratno Timoer dan yang terakhir Si Marni diperankan oleh Sri
Rejeki, inilah ketika pemeran utama dalam film Si Buta dari gua hantu, selian
itu ada juga pemeran tambahan seperti Pakti Sakti yang diperankan oleh Alam
Surawidjaya dan ada juga Sapu Jagat yang diperankan oleh Kusno Sujarwadi. Film
ini menjadi sebuah film yang mendapat apresiasi dan pujian dari masyarakat.
Film
Si Buta dari Gua Hantu ini mengisahkan tentang kehidupan desa kecil yang aman
dan damai, selayaknya hidup di daerah pedesaan yang masih asri suasana alamnya
apalagi perkampungan yang dikelilingi oleh persawahan menambah suasana yang
tenang dan masyarakat yang memiliki ikatan solidaritas yang tinggi, kalau kata
Marx masyarakat desa itu diikat oleh solidaritas jadi di dalam film ini sangat
menjiwai sekali peran mereka seperti di perkampungan yang asli, tentunya
masyarakat pedesaan kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani sebagaimana
bapaknya si Marni juga seorang petani, namun desa yang tenang dan damai itu
tiba-tiba saja berubah tiga ratus enam puluh derajat setelah kedatangan seorang
buta yang mengaku namanya sebagai Mata
Malaikat dan entah dari mana asalnya, yang jelas dia memasuki perkampungan
warga dan membuat prahara di situ awalnya dia berjalan lewat pinggir kampung
yang mana si Mata Malaikat ini melewati seorang kakek dan cucunya yang ingin
memetik buah jambu yang ada di pinggir jalan kampung.
Awalnya dia tidak bisa menjangkau buah itu
karena pohonya terlalu tinggi namun saat si Mata Malaikat ini lewat tiba-tiba
buah jambu itu jatuh lalu kakek dan cucunya merasa heran tidak ada angin tidak
ada hujan kok tiba-tiba jatuh sendiri kemudian sang cucu mengatakan kepada
kakeknya kalau pohon itu merupakan pohon angker atau keramat maka mereka
bergegas meninggalkan pohon itu namun ternyata semua itu adalah ulah si Mata
Malaikat dia mengambil satu buah jambu dan memakannya kemudian si Mata Malaikat
berjalan melewati sebuah persawahan kebetulan waktu itu si Marni membawakan
bekal makanan untuk bapaknya yang sedari pagi menggarap sawah maka Marni dan
bapaknya duduk di pinggir sawah sambil memakan bekal yang dibawanya namun
sebelum makanan sampai ke mulut bapaknya Marni tiba-tiba makanan itu disahut
oleh si Mata Malaikat yang kesannya kurang sopan maka dari itu bapaknya si Marni
merasa tersinggung atas perlakuan kurang ajar ini dan mencoba menasehati si Mata
Malaikat namun si mata malikat malah membalik kata-kata bapaknya Marni dan
hendak memukul si Mata Malaikat namun urung sampai memukul bapaknya Marni sudah tumbang terlebih dahulu
dan ternyata dia tewas Marni yang mengetahui itu teriak histeris kemudian si
Marni mencoba balas dendam namun dia pun mengalami nasib yang sama dengan
bapaknya, orang-orang yang ada di area persawahanpun mengetahui hal itu dan
lari mengejar si Mata Malaikat dengan tujuan mempertanggung jawabkan apa yang
telat dilakukannya.
Lalu
mereka mencoba melawan si Mata Malaikat namun mereka semua tewas kecuali satu
orang yang memang dibiarkan hidup untuk memberi tahukan kepada gurunya bahwa
dia telah datang untuk menantangnya, lalu orang yang masih hidup itu tadi
berlari ke padepokan pencak silat elang putih dan memberitahunya kepada gurunya
dan kawan-kawanya mendengar bertia itu si Barda Mandrawarta ingin membalas
dendam ke pada si Mata Malaikat namun niatnya itu dihadang oleh murid tertua di
perguruan itu dengan pertimbangan bahwa si Barda ini menjadi pewaris tunggal
padepokan pencak silat elang putih. Kemudian para murid padepokan elang putih
memenuhi tantangan si Mata Malaikat namun pada akhirnya mereka tewas semua
tidak ada yang tersisa di tempat itu. Mendengar para murid padepokan tewas
kemudian Barda mengumpulkan para warga untuk menyerang si Mata Malaikat namun
lagi-lagi niatnya ini dicegah oleh ayahnya Barda yang menjadi guru dari
padepokan itu, dia mempertimbangkan bahwa si Mata Malaikat bukanlah tandingan
para warga dan juga putranya lalu bapaknya Barda membubarkan kerumunan warga
tadi dan Barda diminta untuk bersabar tidak boleh gegabah. Lalu ke esokan
harinya ayah si Barda ini menemuni si Mata Malaikat di lembah jagad
pangeran untuk memenuhi tantangannya dan
menghentikan kekejamannya.
Kemudian
pertarunganpun terjadi namun akhir dari pertarungan ini bapaknya si Barda tewas
ditangan Mata Malaikat dan si Barda mengetahui hal itu lalu dia mengejar si Mata
Malaikat dengan maksud menuntut balas namun si Bardapun juga kalah bahkan dia
juga jatuh ke jurang yang cukup dalam yang menyebabkan dia menjadi buta dan di
lembah jurang itu dia belajar ilmu kanuragan secara otodidak dan akhirnya dia
punya ilmu seperti yang dimiliki oleh si Mata Malaikat. Maka selama Barda
berada di lembah jurang perkampungan itu telah dikuasi oleh si Mata Malaikat semua
orang menjadi tunduk kepadanya tak ada satu orangpun yang berani melawanya
semua rakyat yang sebelumnya hidup aman damai menjadi tertindas dan terancam
hidupnya.
Setelah
selang beberapa lama si Barda akhirnya keluar dari lembah jurang itu dengan
maksud menuntut balas atas kematian calon istrinya yaitu si Marni, ayahnya si
Barda dan juga para murid-murid padepokan elang putih, kemudian si Barda
memasuki kampung halamanya yang telah lama ditinggalkannya dia berjalan dan
mampir ke sebuah warung dengan maksud untuk membeli makanan namun dia justru
mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan dari orang-orang yang ada di warung
dan mereka mem-bully si Barda dan mengatakan anjing lalu si Barda pun
membalik kata-kata mereka yang mana kata-kata itu menyinggung perasaan mereka
dan salah satu dari mereka mencoba untuk menghajarnya namun dia tewas oleh
sabetan golok yang dibawa Barda setelah itu dia pergi namun orang-orang yang
ada di warung itu tadi mengejar si Barda untuk menuntut balas dan akhirnya
mereka menyerang secara bersama namun sekali golok diacungkan mereka tewas
semua kecuali satu orang untuk mengabarkan kepada si Mata Malaikat, memanglah sakti si Barda ini, lalu si Barda
menantang si Mata Malaikat untuk mengadu kesaktian ke lembah jagat pangeran
tempat dimana bapaknya barda meregang nyawa di tangan Mata Malaikat.
Kemudian
si Mata Malaikat itu memenuhi undangan si Barda dan di sana terjadilah
pertarungan hebat yang menewaskan si Mata Malaikat setelah si Mata Malaikat
tewas tiba-tiba datanglah si Sapu Jagat menyerang si Barda sampai menyebabkanya
masuk kedalam jurang ke dua kali namun bawanya sungai dan dia pun selamat setelah itu dia melihat
ada sebuah gua dan masuklah kedalamnya di dalam gua itu dia secara tak sengaja
memegang tengkorak manusia lalu melemparnya dan dia menyusuri gua itu sampai
pada akhirnya dia bertemu dengan seekor ular berukuran raksasa rupanya ular itu
penjaga gua dan si Barda pun mencoba melawan ular ganas itu pada akhirnya ular
itu tewas di tangan Barda kemudian si Barda menyusuri gua itu lagi dan disitu
dia bertemu dengan seorang petapa yang hanya tinggal raganya, namun sang petapa
itu menulis surat wasiat di batu dan si Barda pun secara tidak sengaja
membacanya di dalam surat itu diwasiatkan bahwa dia akan menuruni ilmu
kesaktian yang dimiliki sang petapa dengan bimbingan batin si Barda belajar
ilmu kanuragan dan setelah dia menguasai ilmu sang petapa dia pamit
meninggalkan gua itu namun saat akan keluar gua dia mendapatkan rintangan ada
angin besar dan batu besar berterbangan namun dia akhirnya bisa lolos dan
keluar dari gua lalu dia mengembara dan di tengah jalan dia menemui seekor
monyet yang hendak dimangsa harimau namun si Barda menyelamatkanya dan
menjadikanya kawan setia. Barda pun melanjutkan perjalanan, di tengah jalan dia
bertemu dengan seorang wanita yang dikenali melalui suaranya namun sang wanita
tidak mau ngaku dan lari meninggalkanya. Barda pun melanjutkan perjalananya dan
dia merasa lapar lalu berhenti untuk makan namun di tengah makan dia diganggu
oleh beberapa orang dan akhirya yang menggangunya itu tewas.
Barda
pergi meninggalkanya melanjutkan perjalanan dia kemudian menuju ke sebuah
warung yang tidak lain itu adalah warung langganannya si Barda di tengah makan datanglah
3 pasukan si Sapu Jagat untuk menuntut balas atas kematian saudaranya yang
mengganggu makanya tadi, lalu akhirnya ketiga orang itu tewas di tangan Barda.
Kemudian Bardapun bertemu dengan Marni mantan kekasihnya itu ternyata masih
hidup nyawanya diselamatkan oleh Sapu Jagat ternyata dia seorang ahli ramuan
dan si Marni pun terselamatkan dia menyelamatkan si Marni bukan tanpa sebab dia
menghidupakn Marni agar dia bisa kawin dengan si Marni, lalu ditengah
perbincangan antara si Barda dan si Marni datanglah si Sapu Jagat dengan rasa
emosi dan cemburu maka Sapu Jagat pun menyerang si Barda dengan senjata
andalanya namun akhir dari cerita ini si Bardalah yang menang namun dia tidak
membunuh si Sapu Jagat dengan alasan bahwa di dalam perut si Marni ada calon
bayi yang akan lahir ke dunia ini maka si Barda pun menasehati si Sapu Jagat agar
dia bertaubat dan kembali ke jalan yang benar akhirnya si Sapu Jagat pun
mengamini permintaan si Barda. Barda pun menjadi pengembara hidup tak tentu
arah langit jadi atapnya pohon jadi tempat bertedunya dan alam menjadi
sahabatnya.
Pesan
Penting Dari Film Terkait Dengan Orang-Orang Difabel
Pesan
penting yang terkandung dalam film ini yaitu adanya orang difabel yang
seringkali mendapatkan perlakuan tidak adil dari lingkunganya, namun dibalik
itu justru orang-orang difabel itu memiliki kesaktian dan kelebihan bila
dibandingkan dengan orang-orang normal pada umumnya, bahkan dalam cerita itu
orang-orang difabel yaitu si Mata Malaikat dan sapu jagat berhasil menundukan
masyarakat perkampungan, ini membuktikan bahwa orang difabel itu tidak bisa
diremehkan kadang mereka punya kelebihan yang orang lain tidak memilikinya.
Dalam film ini kita diajak untuk tidak berbuat semena-mena sama orang-orang
difabel. Sudah seharusnya kita menjadi masyarakat yang berpikir dewasa dengan
tidak membeda-bedakan orang lain karena fisiknya namun kita harus memperlakukan mereka secara adil
dan inklusif.
*)
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakata, jurusan Sosiologi Agama. Ig:
kebon_orchid_12
Tidak ada komentar