Yang Fana Adalah Nilai, Belajar Abadi
freepik |
Oleh:
Moh. Rofqil Bazikh
Judul
di atas tidak lain adalah pelesetan dari puisi Sapardi Djoko Damono berujudul Yang Fana Adalah Waktu. Saya sengaja
membuat pelesetan semacam itu untuk mencurahkan beberapa permasalahan tentang
nilai dan relasinya dengan belajar. Saya peringatkan sejak dini, bahwa saya
bukan orang yang sering mendapat nilai bagus di kelas. Bahkan, dari Sekolah
Dasar sampai Madrasah Aliyah tidak pernah mendapat peringkat kelas. Tulisan ini
juga bukan berarti sebagai sebuah pembelaan dari saya yang tidak mendapat nilai
bagus, sebab nilai saya sendiri sejatinya juga tidak jelek-jelek amat. Saya
hanya ingin mengemukakan bagaimana belajar itu dan relasinya dengan sistem
nilai(baca;angka).
Tesis
dasar yang ingin diusung adalah: semua seolah sepakat jika nilai merupakan
satu-satunya alat yang paling handal untuk mengukur proses belajar. Posisi saya
di sini hendak menegasi anggapan yang demikian. Saya juga tidak pecaya jika
nilai menjadi sangat diagung-agungkan dalam proses belajar di negara ini. Ilustrasi
tentang siswa yang mendapat apresiasi karena nilainya yang fantastis akan
banyak kita temukan di sekitar. Kenyataan demikian yang dapat mengkonstruk
hampir semua orang bahwa nilai adalah satu-satunya acuan dalam keberhasilan
belajar. Mungkin, orang tua jika melihat nilai anaknya buruk akan beranggapan
bahwa anaknya merupakan pelajar yang gagal. Itu sangat wajar, namun tidak perlu
terus-terusan untuk menghantui pikiran kita.
Belajar
sejatinya adalah laku kreativitas dan bagaimana ia bekerja untuk kemajuan tiap
individu. Dari takrif yang semacam itu, tentu Anda akan sangat cepat untuk
dapat memberi titik diferensial antara belajar dan nilai. Nilai, barangkali
hadir sedikit lebih lambat dari belajar. Sebab ia merupakan hasil belajar yang
selalu diagung-agungkan. Namun, di beberapa hal dari belajar dan pelajaran ada
satu titik di mana angka tidak bisa menjangkau. Dalam teori akhlak, ini cuma
permisalan, kita tidak akan mengklaim hal itu berhasil karena siswa mendapat nilai
dengan sangat fantastis. Namun, hal tersebut bisa dianggap berhasil jika sudah
menjadi lelaku sehari-hari.
Maka,
ketidakmampuan angka cum nilai untuk
mengukur hal itu, secara khusus dalam ranah implementatif, yang bisa
menegasikan sistem nilai sebagai suatu entitas yang agung. Saya hendak
menyudahi euforia tentang nilai ini. Bahkan, kalau perlu—kalau tidak ada
pendidik yang keberatan— ihwal belajar harus terpisah sama sekali daripada
nilai itu, nilai yang berupa angka tentunya. Kita tidak akan lagi menguhitung
sebuah proses belajar dan keberhasilannya dengan angka. Kita akan coba keluar
dari hal itu dan hanya akan melihat keberhasilan sebuah pelajaran sesuai dengan
implementasi yang dapat dilihat.
Hanya
itu yang bisa membuat siswa tidak berebutan untuk saling mendapat nilai yang
mencolok. Namun, lebih terpantik untuk mengerjakan hal lain, ambil contoh
melatih kreativitas untuk proses belajarnya. Yang dibutuhkan memang kreativitas
dan bukan angka-angka yang mencolok di nilai laporan hasil belajar. Pelajar
hari ini terlalu formal dan ditutuntut untuk selalu memamerkan nilai dan angka.
Sementara, di luar itu semua banyak orang yang seakan terlupakan karena tidak
ada penilaian dari pihak berwenang, dalam hal ini sekolah. Padahal, semula
belajar itu hanyalah belajar tidak lebih. Tidak ada embel-embel demi nilai.
Namun,
kabar baiknya, mungkin konsep nilai juga
bisa meningkatkan daya saing dalam belajar. Ini bisa diterima sepanjang tidak
ada pengkultusan terhadap nilai dan angka itu. Kesadaran kolektif yang harus
ditumbuhkan di benak siswa, bahwa nilai-nilai tersebut hanyalah formalitas.
Pokok bahasannya yang terpenting adalah proses belajar selalu memantik laku
kreativitas. Sebab, nilai yang tinggi hanya sekadar nilai jika tidak bisa
memantik kreativitas dalam diri manusia. Kita tidak akan pernah memiliki Sumber
Daya Manusia(SDM) yang mencengangkan jika kesadaran tentang kreativitas tidak
ditumbuhkan, bahkan mungkin dilupakan.
Padahal,
belajar intinya adalah kreativitas. Yaitu, kreativitas membuat hidup lebih baik
ke depan menuju hari yang akan datang. Jika kreativitas sudah mati, sebaiknya
belajar dihentikan saja, sebab nirmakna sama sekali. Sekali lagi, saya ingin
menekankan apa yang telah ada di muka. Sambil membuat pelesetan dari puisi
Sapardi, saya ingin mengatakan bahwa yang fana adalah nilai, belajar abadi. []
Moh.
Rofqil Bazikh tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga. Sekarang berumukim di Banguntapan, Bantul, sekaligus bergiat di
Garawiksa Institute Yogyakarta. Bisa dijumpai di twitter @rofqilbazikh dan
@rofqil_bazikh. Tulisannya dimuat di berbagai media cetak dan daring.
Tidak ada komentar