11 Tahun Mensos Juliari
freepik |
Oleh:
Rg. Hutama
Hari
ini di antara sela-sela pekerjaan dan kuliah, saya melihat berita media massa
terkait bagaimana perkembangan pandemi di Indonesia. Ternyata tidak ada
perubahan yang signifikan, baik melalui kalkulasi angka pada data pemerintah
ataupun fakta-fakta yang sedang berlangsung di lingkungan sekitar. Seperti
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), aturan pemerintah yang
tidak dipandu oleh hikmat dan kebijaksanaan hingga rumitnya perjalanan lintas
daerah karena vaksin yang diwajibkan oleh negara.
Secara
tidak langsung, saya menangkap bahwa brutalnya publikasi mengenai peristiwa ini
merupakan akal-akalan dari segelintir pihak yang ingin mengalihkan isu serta
membuat masyarakat lupa akan hal-hal yang sifatnya transparansi dan/atau
buka-bukaan. Salah satu contohnya, adalah tindak pidana korupsi dana bantuan
sosial yang dilakukan oleh mantan menteri sosial, yakni Juliari Batubara. Hakim
dalam hal ini memberikan putusan kepadanya selama 11 tahun penjara, padahal
nominal angka uang masyarakat yang dirampasnya diam-diam mencapai triliunan.
Saya
bersama rekan-rekan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia saja merasa kesal
lantaran hukum yang dijatuhkan kepadanya tidak sebanding dengan apa yang telah
diperbuat, apalagi teman-teman dan masyarakat luas lainnya. Terlebih, setelah
hakim memberikan putusan tersebut justru Juliari Batubara mengatakan bahwa dia
berharap bebas lantaran “kasihan” kepada anak isterinya di kediaman. Tidak ada
sedikitpun raut penyesalan yang tampak di wajahnya setelah dia mendekam di
penjara.
Beberapa teman
terdekat, dan mungkin sebagian khalayak ramai mengatakan bahwa hakim dalam hal
ini tidaklah adil. Benarkah?
Baik,
di sini saya ingin mengajak teman-teman pembaca untuk mengetahuinya
bersama-sama. Ketika terdapat suatu tindak pidana korupsi di Indonesia, salah
satu peraturan perundang-undangannya adalah Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Teman-teman
bisa mengaksesnya di internet mengenai peraturan ini secara lengkap dan rinci.
Tertulis dalam Pasal 2:
Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Seharusnya,
hakim dalam hal ini memberikan sanksi kepada Juliari Batubara sesuai dengan
Pasal 2 Ayat (2) sebagaimana yang tertulis di atas. Keadaan tertentu yang
dimaksudkan oleh Pasal 2 Ayat (2) dalam pemaknaan bahasa hukum salah satunya
adalah bencana alam, dan Corona Virus dalam hal ini masuk dalam kategori
bencana. Saya kira teman-teman juga mengharapkan demikian. Namun fakta yang
terjadi, hakim hanya memberikan putusan selama 11 tahun penjara saja.
Perlu teman-teman
ketahui bahwa persoalan utamanya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
selaku pihak berwenang yang mengajukan tuntutan tidak memasukkan Pasal 2 di dalam
tuntutanya.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam peristiwa ini hanya mengajukan tuntutan
kepada pengadilan atas Juliari Batubara dengan menggunakan Pasal 11, Pasal 12
(a) dan Pasal 12 (b) tentang oknum pegawai negara yang dituduh menerima suap
dan merugikan keuangan negara. Inilah yang kemudian nantinya Pengadilan dan
Mahkamah Agung selaku pihak yang memiliki kewenangan mengadili tidak dapat
menjatuhkan putusan pidana mati ataupun seumur hidup.
Hakim telah
memberikan putusan yang baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
karena dalam hal ini hakim tidak boleh memberikan putusan di luar daripada
pasal-pasal yang diajukan dan dituntutkan oleh seorang jaksa penuntut umum,
yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Oleh
karena itu menjadi pertanyaan bersama dan ruang diskusi bagi kita semuanya
tentang mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memasukkan Pasal 2
dalam tuntutannya, sehingga memungkinkan Juliari Batubara diberikan sanksi pidana
seumur hidup atau mati oleh hakim karena telah melakukan tindakan korupsi
terhadap bantuan sosial kepada masyarakat hingga mengganggu
kehidupan orang banyak.
Pernyataan
Juliari Batubara:
"Dari lubuk
hati yang paling dalam, saya sungguh menyesal telah menyusahkan banyak pihak
akibat dari perkara ini. Oleh karena itu, permohonan saya, istri, dan kedua
anak saya serta keluarga besar saya kepada Majelis Hakim Yang Mulia, akhirilah
penderitaan kami ini dengan membebaskan saya dari segala dakwaan.”
"Dalam benak
saya, hanya Majelis Hakim yang Mulia yang dapat mengakhiri penderitaan lahir
dan batin dari keluarga saya, yang sudah menderita bukan hanya dipermalukan,
tetapi juga dihujat untuk sesuatu yang mereka tidak mengerti. Badai kebencian
dan hujatan terhadap saya dan keluarga saya akan berakhir tergantung dengan
putusan dari Majelis Hakim yang Mulia."
Tidak ada komentar