Cerbung: Fikri dan Kisah-Kasih di Sekolah (Part 2)
Oleh Fikri*
Maaf agak lama selesainya soalnya tugas pada numpuk. Hehe. Lanjut ke cerita ya…
Akhirnya selesai juga ujian praktik. Enggak semua ujian
praktik dikumpulkan daring. Ada beberapa yang
emang harus dikumpulkan di sekolah.
“Fikriiii.....,” panggil Nia.
“Apaan? Kamu dapet nomernya BTS?”candaku.
“Enggak. Ada yang lebih
penting dari itu,” kata Nia.
“Apa yang lebih penting bagimu daripada
BTS? Yakin?” jawabku.
“Gini, Fik. UNBK DITIADAKAN!”sambil
kirim stiker happy.
“Sih. Benneran, Nia? Tau dari mana? Udah
tanya guru belom?” tanyaku.
“Beneran. Kalo gak percaya tanya
aja ke guru sana. Berani?”
“Oh enggak usah. Aku percaya ke kamu. Eh terus nilai untuk
kelulusan gimana?” tanyaku
penasaran.
“Katanya ambil nilai dari praktik dan ujian sekolah,”jelas Nia.
Aku diam dan bless…..
Aku
kepikiran sama hasil praktik
yang lalu,
karena aku sempet main-main sama praktiknya. Enggak serius. Aku
gak nguasai. Aku tertekan banget. Rasanya kayak lagi
dikejar zombee. Takutnya
setengah mati.
“Fik? Kok gak dibales?” tanya Nia.
“Oh, enggak papa lagi ada kerjaan. Udah dulu ya, Nia,” kataku bohong.
“Oke.
Siap!” bales Nia
Beberapa hari berikutnya wali kelas
bilang kalo lusa akan dimulai
ujian sekolah. Dan wakel ngasik
jadwal ujiannya. Gak nyampek 5 menit
chatku udah
rame aja kayak pasar. Banyak yang minta tolong untuk ujian mapel matematika.
Wajar lah ya, karena aku ranking 2
di kelas dan nilai matematika pada oke semua. Salah
satu yang minta tolong ke aku
itu Syahid.
“Fikri. Minta
tolong, ya. Nanti pas MTK bantu
jawab soalnya,”chatnya.
“Hem..gimana, ya, Hid? Aku boleh
bantu tapi kamu bisa bayar aku berapa?” candaku.
“Weh..weh..ke teman sendiri perhitungan banget yok,” bales Syahid.
“Becanda, Hid. Pasti aku bantu kok. Tapi ada syaratnya. Kamu harus bantu aku pas mapel Bahasa Inggris,” pintaku.
“Oh..kecil itu gampang,” kata Syahid.
“Oke lah sip kalo gitu,” jawabku.
Sedikit tentang
Syahid. Dia umurnya lebih
tua dariku. Tingginya yah...sebelas dua belas denganku, tapi dia agak
besar dan
yang terpenting dia itu jago banget bahasa Inggris mangakanya aku
minta tolong dia aja nanti.
Teman-teman enggak pernah minta tolong sama Nia, karena emang Nia
enggak pernah minta tolong teman lain saat ujian.
Jadi mereka agak
sungkan saat minta jawaban ke Nia.
Jadwal
matematika pun tiba. Dengan
otak yang udah penuh belajar semaleman, aku yakin akan bisa lewatin ujian
matematika dengan lancar tanpa hambatan. Tapi, itu hanya
keyakinan.
Kenyataannya SUBET
(susah betul).
Hampir 30 menit aku coba mengerjakan, tapi cuma setengah dari
soal ujian yang bisa aku
kerjakan. Mana chat dari Syahid sudah numpuk gak karuan. Asli kepalaku tambah pusing.
“Fikri! Ayo Fik jawabannya,” Syahid maksa.
“Iya, bentar ini dikit lagi. Nomer berapaan yang
gak tahu?” tanyaku.
“Semua, Fik. SS terus kirim ya, plis…” sambil kirim
stiker sedih.
“Waduh.. Gila
ya sampek semuanya. Setengah aja, ya. Sisanya mikir
sendiri dulu.
Kalo poll gak tahu baru
tanya lagi,” aku agak maksa juga.
“Oke lah yang penting ada dulu,” bales Syahid.
Aku kirim jawabanku tapi enggak
semua. Aku coba buat Syahid berusaha
dulu walau sedikit. Dengan segala
usahaku untuk menjawab soal akhirnya selesai ujiannya. Lega tapi ada
sedikit kecemasan tentang nilainya.
Di mapel Bahasa Inggris pun sama. Aku coba untuk usaha sendiri dulu. Pas udah enggak bisa jawab lagi baru aku chat Syahid. Selama ujian sekolah berlangsung, kita berdua tu udah kayak Naqula dan Sadewa di cerita Mahabarata sama-sama melindungi dan membatu satu sama lain. Hahaha...
***
Saat
semua ujian dan praktik selesai, mulailah masa-masa kebingungan
anak SMP itu datang juga, yaitu
memilih SMA untuk lanjut sekolah. Aku yakin kamu pernah ngalami yang aku rasain. Mau
pilih SMA ini atau itu masih nunggu temen-temen. Alasannya macem-macem, bisa
jarak, orang tua, hingga alasan yang sama sekali bucin, ngikut pacar sekolah di
mana. Dah ngaku aja. Kamu pernah gitu, kan?
Untungnya aku gak
bingung-bingung amat nentuin sekolah di mana. Apalagi sudah
banyak yang datang ke sekolah sejak semester 5 untuk mempromosikan sekolahnya
dan mengajak masuk sekolah mereka.
Tapi belum ada yang cocok untukku. Sebenarnya di
Situbondo ada beberapa SMA unggulan yang semua anak Situbondo ingin masuk SMA di sana, tapi aku sadar keuangan
keluargaku yang sepertinya
enggak mungkin bisa membiayai jika aku sekolah di sana. Aku
coba tanya Nia dan minta pendapatnya tentang masalahku.
“Nia ada waktu? Ada
hal yang ingin aku
ceritain,” kataku. Sedikit lama
menunggu akhirnya dia bales.
“Ada, Fik.
Cerita aja,”jawab Nia.
“Gini, Nia. Aku ingin banget masuk SMA 1. Tapi aku mikir biayanya. Orang tua takut gak
bisa biayain,” curhatku.
“Menurutku ya, Fik sekolah
itu emang agak
besar biayanya dan
bukan cuma itu cara mengajarnya mungkin juga berbeda. Emang kamu siap
dengan itu?” tanyanya.
“Aku belom siap, sih, Nia. Tapi beberapa guru
mengusulkan aku di
sana saja. Sayang
sama nilaiku,“ jawabku.
“Kan yang jalanin itu kamu, Fik. Yang biayain itu orang
tua kamu, bukan guru. Orang tua kamu
setuju atau enggak kamu sekolah di sana?” kata Nia.
“Enggak, Nia. Kata mereka sekolah itu terlalu
mahal dan juga jauh dari rumah,” jawabku.
“Nah. Kalo udah gak diijinin sudah
jangan maksain. Gak
baik lawan kata orang tua tu,”bales
Nia.
“Iya Nia aku tahu itu kok. Kalo kamu mau masuk
mana Nia? Masuk di sana kah?” lanjutku.
“Oh. Tentu saja tidak,” jawabnya sambil ngirim
stiker ketawa.
“Lah.. Kenapa? Kan nilai kamu
bagus semua. Kalo
biaya, kamu juga enggak
masalah lalu kenapa gak mau masuk sana?” tanyaku.
“Gak cocok aja. Kan yang milih jalanin 3 tahun ke depan kan aku, Fik. Jadi aku cari yang
cocok dengan ku,” jawab Nia.
“Oh gitu. Okelah.
Makasih ya, Nia. Udah kasih saran dan
pendapatnya.
Kalo gak ada kamu
mungkin aku masih pusing hari
ini,” balasku.
“Santai aja kali, Fik. Udah kayak ke siapa
aja,”kata Nia.
Malam itu, aku termenung. Seperti ada beban
di kepalaku.
Aku dilema dengan
harapan dan kenyataan. Aku coba
mejamin mata, tapi pikiranku ngaleleng teros. Semalaman aku coba
pikir matang-matang,
tapi belum ada keputusan yang aku ambil
untuk ke depan.
Nia! Aku harap kita…. Ah,
sudahlah.
Bersambung….
________
*) Penulis adalah siswa SMA di Situbondo yang berusaha rutin menulis dan mendoakannya.
Apa yang diceritakan Fikri setidaknya bisa mewakili keresahan kita bahwa dewasa ini pendidikan di negeri kita semata hanya orientasi komersil sehingga peserta pendidikannya harus resah memusingkan biaya. "MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA"
BalasHapus