Langit malam ini begitu gelap, Kira.
Lihatlah! Bulan pun terlihat muram tanpa bintang-bintang yang biasanya
berlarian di sekitarnya. Bahkan cahaya petromaks yang mulai berkedip-kedip
seperti bocah yang sedang mengantuk saat mengaji tak kalah muram dari cahaya
bulan di atas sana. Apa kau juga melihatnya? Menepati janji kita yang akan
selalu memandangi rembulan sambil saling mengingat satu sama lain di setiap
malam. Membayangkan wajah yang terukir di sana dengan sebuah senyuman.
Langit benar-benar gelap, Kira. Apa di
sana kau sedang muram seperti bulan malam ini? Barangkali kau sedang sangat
merindukanku hingga dadamu sakit sekali lalu dari kedua mata beningmu, kau tak
kuasa membendung aliran sungai yang menderas di pipimu. Andai aku memergokimu
dalam keadaan seperti itu, mungkin aku akan habis-habisan mengejekmu, betapa
cengengnya dirimu. Lalu kau akan merengek marah dengan lucu. Membayangkannya
saja membuatku cengengesan seperti orang tidak waras. Ah, aku benar-benar
rindu. Andai aku tak pergi merantau untuk mencari pekerjaan layak kala itu,
malam-malam kita tak mungkin sesepi saat ini. Namun aku terpaksa harus
meninggalkanmu dulu. Bersabarlah, kira. Jika waktunya tiba, aku akan kembali
dan segera melamarmu.
Tak terasa malam sudah semakin matang.
Entah sudah berapa lama aku memandang bulan yang suram. Di sana, kau mungkin
telah terlelap di balik selimut kesayanganmu sejak beberapa jam yang lalu sebab
yang aku tahu, tempatku berada lebih lambat 2 jam daripada di tempatmu.
Apa kau sedang bermimpi, Kira? Apakah
di dalam mimpimu itu ada wajahku di sana yang sedang tersenyum mesra?
Memikirkan kau memimpikanku, aku ingin lekas tidur dan bertemu denganmu saat
aku terlelap. Tak apa, bertemu di mimpi saja kurasa cukup untuk menjadi obat
rindu yang menggebu. Aku akan memimpikan kita yang sedang berjalan-jalan di
pematang sawah sambil bercerita apa saja. Menertawakan hal-hal remeh hingga
saling berebut pendapat tentang mana yang lebih lucu antara katak dan kodok
setelah menemukan kecebong di parit kecil dekat lincak beratap rumbai sederhana
tempat kita melepas lelah setelah berkeliling desa. Sederhana dan terlalu biasa
namun bagi kita asal berdua tak masalah. Toh, bahagia lebih sederhana dari yang kita
kira.
Baiklah, Kira. Selamat tidur. Semoga
mimpimu indah.
***
Selamat malam, Kira. Entah malam ke
berapa ratus kuucapkan kalimat itu untukmu, sebab tak pernah kulewati satu
malam pun sejak kita berpisah dua tahun lalu. Ah sayang sekali, bulan malam ini
tak bisa kulihat. Ia tertutup awan kelabu yang sejak sore tadi tak mau beranjak
dari langit seperti tertahan oleh sesuatu padahal aku sangat ingin melihat
rembulan malam ini. Barangkali wajah cantikmu bisa terlihat jelas di sana dan aku
tak perlu lagi merasa kesepian.
Sayangnya, hingga fajar tiba, awan
masih terpaku di tempatnya membuat aku yang sendu bertambah gelisah karena tak
bisa menatap rembulan semalaman. Apa di sana juga sama, Kira? Apa langit di
sana awan juga menutupi rembulan?
Aihh, semoga malam selanjutnya aku bisa
melihat rembulan lagi.
***
Selamat malam kembali, Kira! Aku
bersemangat malam ini karena ini malam terakhir aku memandangmu lewat rembulan
di atas sana. Esok hari aku akan pulang setelah sekian tahun menetap di kota
orang. Apa nantinya kau akan terkejut setelah melihatku tiba-tiba datang? Aku
tak sabar melihat ekspresi wajahmu ketika aku menemuimu nanti. Apa kau akan
kegirangan dan melompat-lompat seperti anak kecil atau malah menangis
meraung-raung karena tak kuasa menahan luapan bahagia? Yang mana pun itu, aku
tak peduli. Yang jelas nantinya, aku akan memelukmu erat-erat untuk menuntaskan
rindu yang sudah sekian lama mengendap lalu mencium bibirmu yang ranum bagaikan
buah yang matang.
Tunggulah, Kira. Aku akan membuatmu
lebih terkejut lagi selain kedatanganku kembali. Aku akan melamarmu dengan
cincin berhias permata yang sudah kusiapkan khusus untukmu dari uang yang aku
kumpulkan selama ini.
***
Aku menginjakkan tanah kelahiranku
dengan antusias yang menggebu. Sejujurnya aku ingin lekas berlari menuju
rumahmu dan melakukan adegan-adegan yang sudah berkali-kali kubayangkan di
sepanjang jalan pulang. Namun, aku menahannya karena etika seorang perantau
harus bertemu keluarga terlebih dahulu, bukan? Bersabarlah. Setelah aku menemui
kedua orang tuaku, aku akan menemuimu. Biarkan aku meminta restu mereka dulu
untuk menikahimu.
Rupanya desa kita lebih banyak berubah
dari yang kukira. Jalan yang dulunya hanya jalan setapak dengan tanah dan
bebatuan kini sudah beraspal. Bahkan sawah-sawah banyak yang berubah menjadi
perumahan. Lahan di sebelah barat tempat biasa kita menghabiskan waktu pun
sudah berubah menjadi lahan pertambangan padahal tempat itu adalah tempat
ternyaman untuk pertemuan kita.
Sesampainya di rumah, aku disambut
kedua orang tuaku dengan haru. Aku mencium tangan mereka dengan takzim lalu
memeluk keduanya bergantian. Setelah itu kami berbincang ringan sambil
menikmati gorengan dan secangkir kopi yang emak suguhkan. Jujur, aku tak sabar
untuk mengatakan bahwa aku akan melamarmu, Kira. Tapi rasanya tak sopan jika
aku langsung blak-blakan. Jadi bersabarlah, aku pasti akan menyampaikannya jika
dirasa waktunya benar-benar pas untuk menyampaikannya.
“Nak, apa kau sudah mendengar kabarnya
anak pak Haji Somad itu?” Bapak memulai percakapan tentangmu. Aku langsung
antusias ketika beliau menyinggungmu.
“Belum pak. Rencananya besok sore aku
akan silaturahmi ke rumahnya.”
“Dia sudah tidak tinggal di rumah orang
tuanya, nak. Dia sudah menikah dan tinggal di rumah suaminya di sebelah timur
lahan tambang. Kau pasti sudah melihat rumah besar sewaktu berjalan kesini,
bukan? Itu rumah yang sekarang di tempati Kira dan suaminya”
“Bapak bercanda kan?”
“Untuk apa bapak bercanda. Tak ada
untungnya buat bapak. Bapak menyampaikan ini karena takut kau masih mengharapkan perempuan itu.”
Pernyataan bapak benar-benar membuatku
seperti dihantam batu besar, Kira. Hatiku sakit sekali. Apa benar kau sudah
menikah? Padahal saat berpisah dulu kau telah bersumpah setia untuk menungguku
pulang dari tanah rantau. Kau bahkan menangis meraung-raung di pelukanku saking tak inginnya aku pergi.
Kita sudah menjalin kasih begitu lama hingga kau berjanji akan menunggu selama
apa pun aku pergi. Lalu apa ini? Kau menghianati janjimu itu? Padahal tiap
malam tak pernah sekalipun aku tak memikirkanmu. Hatiku hancur, Kira. Tak
bisakah kau bayangkan itu?
Kira, izinkan aku menemuimu sekali
saja. Aku hanya ingin menuntaskan segalanya agar tak ada dendam yang akan
kusesali nantinya.
Pagi-pagi sekali aku melangkahkan
kakiku menuju rumah yang dikatakan bapak kemarin. Aku sedikit ragu sebenarnya
untuk menemuimu. Bagaimana jika suamimu pencemburu lalu setelah aku menemuimu
ia malah menyakitimu? Bagaimana aku bisa menghadapinya? Lebih-lebih bagaimana
aku harus bersikap di hadapanmu setelah sekian lama kita tak bertemu dengan
perasaan yang masih tak menentu terhadap dirimu?
Sudah lima menit berlalu aku berdiri di
balik pagar rumahmu sambil memandangi pintu berwarna coklat susu dengan
ragu-ragu. Kakiku seperti terpaku di tanah tanpa bisa aku gerakkan sedikitpun
setelah melihat adegan dirimu mengantar suamimu berangkat kerja. Kau mencium
tangannya dan tersenyum cerah padanya lalu suamimu mengusap-usap kepalamu
dengan lembut lalu mengecup keningmu dengan penuh cinta. Kalian bercakap-cakap
sebentar sebelum saling berpamitan. Kau tahu, kira? Adegan itulah yang selalu aku
bayangkan bersama dirimu setelah kita menikah.
Seorang bocah melintas di hadapanku.
Rupanya ia sedang mengejar bola yang menggelinding tepat di sampingku. Aku
memungut bolanya dan memberikan bola itu pada bocah itu. Sebuah ide terlintas
di pikiranku.
“hey, Bocah. Siapa namamu?”
“Jeje om.”
“Jeje, nama yang imut. Om boleh minta
tolong sesuatu?” Jeje mengangguk. Aku mengambil selembar daun mangga yang
berserakan di sekitar lalu menuliskan sesuatu di sana dengan pena yang sering
kubawa ke mana-mana.
“Tolong berikan ini pada perempuan yang
berada di balik pintu itu.” Setelah mendengar perintah, Jeje berlari ke arah rumahmu. Aku hanya
bisa memperhatikannya dari jauh saat kau membuka pintu lalu menerima selembar
daun itu dengan heran. Selepas itu aku tak tahu bagaimana ekspresimu setelah membaca
tulisanku. Aku berbalik pergi dan berharap kau mau mengabulkan permintaanku.
***
Siang yang terik, namun aku tetap
menunggumu di pelabuhan tempat terakhir kenangan kita saat aku memutuskan merantau
jauh di kota sana. Aku tak yakin kau akan datang namun dengan bodohnya aku
tetap menunggu.
“Mas Ama....”
Aku terpaku menatapmu yang tengah
berdiri tak jauh dariku. Begitu pun sebaliknya, ada keterkejutan yang tak bisa
kau sembunyikan di balik wajah manismu itu. Aku berdiri, mendekat, dan
mengajakmu ke suatu tempat yang nyaman untuk berbicara tanpa harus khawatir
perhatian orang-orang yang berlalu lalang.
Kita duduk berhadapan untuk pertama
kalinya setelah beberapa tahun lamanya tak bertemu. Kukira pertemuan kita akan
penuh haru, rupanya malah kebalikan dari angan-anganku. Apa kau tahu, Kira, aku
masih sangat mencintaimu. Aku masih sangat ingin memelukmu dengan erat untuk
melampiaskan rindu yang terlanjur mengendap. Aku masih menginginkanmu untuk
menemaniku menjalani sisa hidupku. Memiliki anak darimu hingga tua bersamamu.
Namun kini hal itu takkan mungkin, bukan?
“Apa kabarmu, Kira? Sudah lama kita tak
duduk berhadapan seperti ini ya,” ucapku mengawali setelah cukup lama hening di antara kita.
Aku lihat kau menunduk sangat dalam hingga aku kesulitan melihat wajah manismu
itu. Kau masih terdiam dan membuatku menunggu.
“Maaf. Maafkan aku,” ucapanmu terbata-bata. Bahumu bergetar
seiring isak yang mulai terdengar jelas.
“Jangan menangis, Kira. Kau tahu aku
tak suka melihat air matamu.” Kau menghapus air matamu segera setelah aku mengatakan hal
itu. Rupanya kau belum berubah.
“Aku tak apa. Tenanglah. Mari kita
tuntaskan ganjalan ini sekarang.”
Dengan terbata-bata, kau mulai
bercerita dengan isak yang tak bisa kau bendung. Kau tak bisa menungguku karena
aku tak pernah memberi kabar kepastian untuk melamarmu dan karena desakan orang
tuamu yang menginginkan kau cepat menikah lalu cerita-cerita tentang bagaimana
kau bertemu pemuda itu yang kini telah menjadi suamimu; bahwa ia adalah lelaki
baik yang selalu ada saat di masa-masa kau sulit. Ceritamu mengalir
bersamaan dengan air mata dan isakan yang terus menderas. Berkali-kali kata
maaf kau ucapkan di tengah-tengah ceritamu itu. Berkali-kali pula kau tampak
merasa sangat bersalah di hadapanku. Namun satu yang kusadari sejak kita
bertemu setelah banyak penantian panjangku, binar cinta yang selalu tampak di
matamu itu tak lagi tertuju padaku.
Baiklah, aku yang salah karena
membuatmu menunggu terlalu lama. Hari ini aku benar-benar melepasmu, melepas
sesosok yang wajahnya tertinggal di rembulan dan tak lagi bisa kupandangi.
Sosok yang selalu kubayangkan bersamaku sehidup semati.
Semoga kau selalu bahagia, Kirana.
Alifa Faradis, pimred cakanca.id.
Tidak ada komentar