Ketika Elit Oligarki Berkuasa, Kemerdekaan Bukan Lagi Milik Kita
Indonesia merdeka di masa datang…
…Cita-cita perikemanusiaan tidak hanya bersifat anti kolonial dan anti imperialis, tetapi juga menuju kebebasan manusia dari segala penindasan ~Muhammad Hatta
Oleh Fata Poejangga*
Sengaja
saya kutip pidato itu, untuk memberikan kabar kepada Bung Hatta, tentang apa
yang dicita-citakan untuk Indonesia di masa depan (hari ini). Pidato itu
disampaikan 4 hari sebelum Bung Hatta melepas jabatannya sebagai Wakil Presiden
Pertama Indonesia dulu.
Begini
Bung, genarasi hari ini tidak lagi berada
di bawah moncong senjata. Tak ada lagi perang-perangan. Generasi hari ini bisa
dikatakan damai dan tentram. Tak ada lagi bambu runcing yang kami siapkan untuk
melawan penjajah. Lantas apakah kami sudah merasakan kebebasan manusia dari
segala penindasan?
Bentar
dulu bung, saya tidak yakin menjawab ‘Iya’. Justru itu yang ingin kami
sampaikan. Kabar baru dari generasi masa depan yang Bung maksud. Baru-baru
ini saya mendengar kabar ada 444 kasus korupsi di Indonesia selama tahun 2020. Kerugian
negara mencapai Rp 18,6 triliun. Sebentar, 444 sebagian orang percaya itu angka
malaikat, nyatanya di negara kami itu angka setan. Pertanyaan saya, apakah itu
juga bentuk penindasan, Bung? Kalau betul, berarti kami sedang ditindas. Apakah
itu wujud adanya kolonial? Kalau iya, berarti kami sedang menghadapi Neokolonialis
sebangsa kami sendiri.
Kami
juga dijajah dengan aturan-aturan kebijakan yang amburadul. Tak usah jauh-jauh,
makan dan minum kami saat ini saja diatur-atur, makan di warteg dalam waktu 30
menit harus sudah selesai. Hal itu atas dasar instruksi menteri dalam negeri,
katanya. Bagaimana ini bung? Di mana hak kebebasan kami?
Selain
itu, menjelang hari kemerdekaan ke-76, saudara kami membuat mural Presiden sebagai
simbol protesnya karena melihat ruang berpendapat sudah kian sempit. Alih-alih pemerintah
mendengarkan dan mengoreksi kebijakan, malah saudara kami menjadi buronan layaknya
penjahat pejabat bejat pemakan uang rakyat. Aparat kepolisian bilang, katanya
itu menghina simbol negara. Karakter pemerintah hari ini kian paranoid terhadap
kritik, Bung.
Belum
lagi kabar dari saudara-saudara kami di Papua—satu hari sebelum perayaan HUT
ke-76 RI, yang melakukan aksi protes melawan rasisme, selain pembubaran paksa terhadap
aksi damai di sana, mereka juga menerima tembakan dari saudara sendiri, bapak-bapak
bersenjata.
Asal
anda tahu, Bung, elit politik generasi hari ini, seperti yang diramal Bung Karno, semakin mesrah
berdampingan dengan Neokolonialisme Imperialis Elite Global, dan kami adalah korban
yang ditindas habis. Sedangkan cita-cita perikemanusiaan menuju manusia yang
bebas tanpa ada penindasan, sebatas mimpi anda Bung, yang saat ini juga masih menjadi mimpi bagi kami.
Demokrasi
Sosial
Saya
masih ingin membahas point-point pidato Bung Hatta “Masa Lalu dan Masa Depan” yang
disampaikan pada tahun 1956 itu. Bung Hatta menginginkan terlaksananya dasar-dasar
perikemanusiaan dan keadilan sosial. Sedangkan gambaran di atas merupakan serangkaian
peristiwa hilangnya perikemanusiaan dan keadilan sosial.
Memang
kita berada dalam lingkup negara demokrasi, yang menjunjung tinggi persamaan
dan persaudaraan. Namun demokrasi selama ini prakteknya hanya sebatas persamaan
politik. Di mana sesorang mempunyai hak politik yang sama dengan yang lain;
kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak memilih dan dipilih
menjadi pemimpin, menjadi dewan perwakilan rakyat. Iya apa enggak?
Selebihnya
tidak ada persamaan lain. Makanya banyak protes muncul di kalangan masyarakat,
perbedaan pendapat atas berbagai kepentingan, penindasan atas yang lemah,
penindasan yang kaya atas yang miskin, penindasan pejabat atas rakyatnya. Kalau
begitu, gimana mau tercapai konsep persaudaraan yang menjadi cita-cita
perjuangan Indonesia?
Jelas
di masa pandemi ini, hidup kita tidak ada yang menjamin selain diri kita
sendiri. Selama kita kuat dan dapat
bekerja, selama itu kita akan survive. Bagi yang tidak kuat, ya sudah abaikan
saja. Dalam situasi seperti ini, aturan-aturan pembatasan aktivitas masyarakat
diberlakukan, apakah ada persamaan antara pegawai dengan rakyat yang tidak punya
gaji tetap? Tidak ada! Harusnya di tengah-tengah pandemi, selain kita sama-sama
wajib menjalankan aturan, kita juga mendapatkan hak yang sama, sama-sama
mendapat tunjangan hidup selama pandemi berlangsung. Kalau pemerintah tidak
mampu, itu berarti Indonesia terlalu besar untuk dipimpin seorang Presiden dan sekolom
kecil elit yang berpusat di Jakarta.
Saya
ngawor? Enggak! Justru itu, demokrasi ekonomi yang diharapkan Bung Hatta, karena demokrasi politik
tidak cukup melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Jika persamaan dan
persaudaraan tidak ada, lagi-lagi kata Bung
Hatta, manusia belum merdeka!
Masih
berkaitan dengan itu, bangsa kita ini sudah dibekali konsep demokrasi ala masyarakat
pedesaan Indonesia. Bahkan demokrasi asli kita ini kuat bertahan di bawah
feodalisme, dimana tanah sebagai faktor produksi milik bersama bukan milik raja.
Karena itu untuk menggunakan tanah tersebut, perlu persetujuan masyarakat desa di
lingkungannya sendiri, lahirlah kesepakatan atas mufakat. Kalau pun dalam
pengelolaan tanah tidak dapat dikerjakan sendiri, mereka gotong-royong untuk mengerjakan
itu.
Tidak
hanya itu, masyarakat juga mempunyai hak berekspresi, melakukan aksi protes bersama-sama
kepada raja, kalau dirasa ada aturan yang tidak adil. Nah semua itu
merupakan pokok gagasan terbentuknya konsep demokrasi sosial, katanya Bung Hatta, itu akan dijadikan
dasar pemerintahan Indonesia Merdeka di masa depan (sekarang).
Nyatanya
demokrasi sosial tidak cocok bagi pemerintahan hari ini, karena kalau itu
diterapkan mengganggu terwujudnya kesejahteraan kelompok elit kapital dan elit
politik. Ketika demokrasi elektoral yang sudah berjalan selama ini, tidak
berdampingan dengan demokrasi sosial, justru membuka pintu berkumpulnya elit
oligarki. Makin parah nih. Maka siap-siap kita akan kehilangan semua yang
seharusnya menjadi hak kita.
Bicara
kemerdekaan, jangan tinggalkan orang-orang yang tidur di kolong jembatan. Dikata,
kita tanah surga, bahkan tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Tapi belakangan
dilaporkan masih ada 27,54 juta jumlah penduduk miskin pada Maret 2021. Fantastik,
27,54 juta orang kelaparan kehilangan haknya. Ketika seseorang kehilangan atas haknya,
maka di sana lah ia kehilangan atas kemerdekaannya!
Dirgahayu
Indonesia, Djarum 76!
_____________
*) penulis buku Melawan Kenangan
Pesan moralnya ; elite global suka Djarum 76
BalasHapus