Melawan Pandemi dengan Sains, Bukan Arogansi Aparat dan Mati Lampu
Pandemi
membuat hari-hari kita terasa begitu melelahkan. Kita bukan hanya lelah
mengikuti serangkaian pola hidup yang baru, tetapi juga dibuat jengah dengan
kebijakan yang tak cukup bijak. Pemerintah, saya rasa salah menggunakan pendekatan.
Lihatlah
aturan-aturan itu: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berlevel-level kayak mie setan adalah dua produk berisi regulasi yang
sialnya dimaknai oleh struktural pemerintah di bawahnya sebagai menggugurkan
tugas kantor saja.
Tunggu
dulu. Jangan keburu ngamuk. Saya lanjut dulu, ya. Aturan-aturan di atas hanya menimbulkan
kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. Kegaduhan itu, saya lihat berasal dari kelirunya
pendekatan yang dipakai pemerintah dalam penegakan aturan. Penerjunan aparat
baik itu polisi, militer maupun satpol pp adalah salah tempat.
Sisirlah
kembali informasi di media sosial berapa banyak arogansi bapak-bapak itu
terhadap masyarakat sipil. Merusak lapak, menyemprot warung hingga tindak
kekerasan kepada seorang ibu di Sulawesi Selatan hanya menimbulkan masalah baru.
Masyarakat tidak hanya berhadapan dengan pandemi, tetapi juga tindakan brutal
aparat.
Belum lagi yang tak kalah menyedihkan adalah sikap pemerintah yang membatasi pedagang berjualan. Lampu-lampu dimatikan. Ini bukan Nazar dengan lagunya "Seperti mati lampu yaaa sayang".
Bukan itu. Jadi begini. Kalau mikirnya pedagang kaki lima itu
penyebab kerumunan tentu saja itu pikiran yang enaknya sendiri. Anda sih enak
Pak Pejabat uang sudah banyak. Apa-apa sudah tercukupi. Lah, ibu-ibu dan
bapak-bapak penjual nasi goreng,
es degan, cilok, dan jagung rebus itu seperti apa hari-harinya? Coba dipikirkan
bagaimana mereka tetap berjualan sebagaimana biasa dengan pelibatan antar lini,
ojol misalnya.
Oh
iya, diberi bantuan, ya? Bagus sih, tapi mental-mental maling pejabat kita kan
sulit diobati dari dulu. Sudah pasti jumlah yang harusnya sampainya segitu,
jadi segini.
Mbok
ya buat aturan yang berpihak ke masyarakat kecil lah, Pak De.
Lantas
apa yang kurang tepat dari pemerintah dalam menangani pandemi ini? Nah ini saya
mau agak serius ceritanya.
***
Pandemi di tangan
saintis, bukan dipolitisasi
Saya
ingin menyebut negera-negara mantap seperti Cina dan Amerika dalam menangani
pandemi. Mereka memerangi wabah bukan dengan setumpuk kebijakan konyol dan
mencla-mencle yang menyengsarakan rakyatnya seperti negara antah-berantah itu, atau
dengan senjata dan kekerasan, melainkan dengan ilmu pengetahuan. Dengan
pelibatan tangan-tangan para saintis.
Para
saintis bekerja di laboratorium untuk menghasilkan sebuah senjata bernama
vaksin, yang nantinya berguna dalam mewujudkan herd immunity. Artinya,
mereka membuat kebijakan berdasarkan masukan-masukan para saintis. Artinya lagi,
dalam konteks ini, pemerintah percaya penuh kepada para saintis. Dibuatlah
vaksin yang berhasil dalam jangka waktu setahun. Setelahnya, dibuatlah
sosialisasi yang massif dengan tetap pelibatan para saintis, bukan politisi lo.
Andaipun ada politisi ya tahu porsinya. Kalau di Negara antah-berantah malah
dipolitisasi, ya?
Steven
Pinker, ilmuan psikolog kognitif, dalam bukunya Englightenment Now
memberikan penjelasan dengan gaya
pikirannya yang optimis, bahwa ketika wabah muncul, para ilmuan hadir dengan
membutuhkan satu-dua tahun untuk melahirkan vaksin. Dan pernyataan itu terjadi
saat ini. Sekali lagi bukan politisi yang akan berhasil mengatasi epidemi ini,
yang hanya mampu membuat kebijakan semu dengan modal kata sabar dan jangan mengeluh.
Lalu
bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah sudah percaya penuh kepada para
saintis? Jawabannya, tidak! Terbukti vaksin nusantara yang diprakarsai oleh
mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sejak kemunculannya diwarnai
kontroversi. Vaksin Covid-19 berbasis
sel dendritik ini tidak mendapat izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
untuk melanjutkan uji klinis.
Padahal
para saintis membutuhkan dukungan negara dari balik ruang laboratorium, kalau
tidak para saintis akan menggandeng para kapitalis dengan motif bisnis. Sains
itu mahal, tentu membutuhkan cukong untuk berkembang. Tanpa dukungan itu,
proyek saintis tidak akan jalan.
Yuval
Noah Harari dalam tulisannya, sains merupakan sebuah urusan yang sangat mahal,
seorang biolog membutuhkan laboratorium untuk mencari tahu tentang kekebalan
tubuh manusia, tabung-tabung, bahan kimia, dan mikroskop electron dan lain
sebagainya yang semuanya adalah soal pembiayaan.
Dalam
bukunya Ten Lessons for a Post-Pandemic World, seorang kolumnis, Fareed
Zakaria, menyampaikan, mengapa Yunani begitu cepat mengatasi Covid-19? Ya, karena mereka percaya
kepada para ilmuan dan juga percaya kepada pemerintahnya untuk menggunakan
tangan ilmuan dalam memerangi pandemi.
Untuk
Indonesia bagaimana masyarakat mau percaya, sedangkan pemerintah sendiri tidak
percaya atas keberhasilan Vaksin Nusantara yang dibuat oleh anak bangsa
sendiri. Malah pemerintah memborong vaksin yang dihasilkan negara lain,
membesarkan bisnis negara lain. Ada apa ini?
Artinya
dalam hal ini, peran pemerintah menjadi tangan kedua setelah para ilmuan. Begitupun
menangani pandemi ini harus dipercayakan kepada ahlinya. Agar melahirkan
kebijakan yang benar-benar efektif, dan tidak meninggalkan kata maaf saja, Pak.
Wabah
Baliho Political Campaign
Selain
itu, dalam situasi krisis seperti saat ini, setidaknya kemampuan menumbuhkan
solidaritas sosial kita diuji. Begitu pun dengan dunia politik yang perlu
memupuk rasa empati terhadap korban terdampak wabah corona serta daya tahan
untuk tak bicara politik apa pun. Pada momentum inilah partai politik
seharusnya memprioritaskan misi politik kemanusiaan.
Sayangnya,
hari ini banyak baliho tokoh politik bertebaran di ruang publik. Lah, apa
salahnya dengan baliho? Memang tidak ada, namun pemasangan baliho di tengah
masyarakat yang terdampak pandemi kurang tepat. Karena pemasangan baliho ini
semata untuk meningkatkan popularitas menjelang Pemilu 2024.
Kenapa
harus menghabiskan kampanye politik dengan biaya besar di tengah pandemi?
Mengapa tidak digunakan untuk misi politik kemanusiaan, membantu masyarakat
secara langsung saja? Ya, kalau mereka menjawab kami sudah melakukan misi
politik kemanusiaan, dan sekarang saatnya meningkatkan popularitas, berarti
penanganan pandemi selama ini yang dilakukan partai politik sarat kepentingan
dan tidak murni. Semoga saja politikus-politikus ini tidak menjadikan pandemi sebagai
komuditas politik.
Ramlan
Surbakti dalam bukunya, salah satu fungsi utama partai politik sebelum mecari
dan mempertahankan kekuasaan adalah menjadi pemadu kepentingan. Sebab partai
politik dibentuk untuk menampung dan memadukan berbagai kepentingan yang
berbeda bahkan bertentangan.
Pada
hari ini ada tugas yang lebih penting bagi partai politik dari pada mencari
kekuasaan, khususnya partai politik yang kadernya ikut mengisi kursi kehormatan
di parlemen adalah mengoreksi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menangani
pandemi dan memikirkan masyarakat menengah ke bawah.
Dari
semua yang saya sampaikan, penting untuk dipertegas, pertama kami berharap para
politisi kader partai politik mengevaluasi aturan-aturan pemerintah, agar mempertimbangkan
kepentingan rakyat kecil dan tidak hanya menghasilkan slogan-slogan baru lagi.
Partai politik harus memikirkan masyarakat yang tak punya banyak peluang
ekonomi di Indonesia. Dari kelas warga miskin, supir, pedagang kecil dan
buruh-buruh lainnya. Jangan biarkan masyarakat kecil terkurung dalam dua jeruji
maut, mereka cemas besok mati karena tidak bisa makan, dan khawatir mati
terjangkit virus Covid-19. Pun
pentingnya partai politik di sini, yaitu ikut mempertimbangkan dampak kebijakan
pemerintah terhadap ekonomi masyarakat sektor UMKM.
Kedua,
partai politik mendorong pemerintah untuk menggunakan tangan para ilmuan dalam
menangani pandemi ini, khususnya ilmuan lokal. Agar memberikan fasilitas dan
peluang kepada para saintis dan tidak mendiskreditkan mereka. Pun kader-kader
partai politik bisa sedapat mungkin memadukan kepentingan yang berbada, yang
ramai hari ini, yaitu kontroversi vaksin nusantara.
Kalau
memang vaksin tersebut lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya, lebih-lebih
ampuh dalam mengatasi pandemi ini, maka partai politik melalui kader-kadernya
di parlemen dapat memberi dukungan legitimasi terhadap keberhasilan putra
bangsa sendiri.
Di
akhir kalimat ini, saya ingin mengutip pernyataan Yuval Nuah Harari dalam sebuah
hasil wawancara. Ia mengatakan, beberapa tahun terakhir, kita telah melihat
banyak politisi populis menyarang sains, mengatakan bahwa para ilmuan adalah
segelintir elit terpencil yang terpisah dari masyarakat, yang menebar
kebohongan. Padahal politisi inilah yang terpisah dari masyarakat dan menebar
kebohongan. Percayalah pada ilmuan, sains adalah rumah kehidupan generasi masa
depan.
Semoga
sehat selalu, karena aku sayang kamu. Camkan itu, Lek Marni!
______________
*) Penulis
merupakan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta. Penulis
buku Melawan Kenangan.
Mengutip Harari juga, "manusia ke depan adalah mamusia yang dapat melawan kematian". Kematian hanyalah soal teknis, maka bisa dicegah dengan hal hal teknis. Bagus sekali tulisannya bung.
BalasHapusMantap bung Pujangga, mengutip dari Seno Gumira Ajidarma "pengabdian terhadap manusia banyak sekali wujudnya, sangat banyak" maka tak heran jika kebijakan yang itu2 saja membuat orang tua (pejabat) orang baru (rakyat miskin) semakin terlihat berbeda padahal kita semua berasal dari kata yg satu yaitu "rakyat".
BalasHapus