Resensi: Pahlawan Nasional KH. Noer Alie (Singa Karawang Bekasi)
Judul: KH Noer Alie (Singa Karawang Bekasi)
Penulis: A.M Fatwa
Penerbit: The Fatwa Center
Tahun: 2016
Tebal:
13 X 19 cm , 100 halaman
Selayang Pandang KH.
Noer Alie
Masa
kecil dan riwayat pendidikan KH. Noer Alie lahir sebagai anak keempat dari
sepuluh bersaudara pasangan H. Anwar bin H. Layu dan Hj. Maimunah binti Tarbin
pada tahun 1914 di Desa Ujung Malang, Onderdistrik Babelan, Distrik Bekasi
ketika era kolonial Belanda masih berlangsung. Tidak ada yang tahu persis
tanggal dan bulan kelahiran KH. Noer Alie, kecuali tahunnya 1914. Hal ini
disebabkan oleh kebiasaan penduduk kampung yang tidak terbiasa mencatat
peristiwa dalam bentuk tulisan. Kalaupun menggunakan daya ingat, semua
tergantung dari kemamapuan seseorang merangkai sebuah satu peristiwa dengan
peristiwa lain sehingga kelahiran dapat diduga. Meskipun begitu, keabsahaannya
amat diragukan.
KH.
Noer Alie dan perjuangan kemerdekaan ketika terjadi Agresi militer Belanda pada tahun 1947-1948
KH Noer Alie menghadap Jendral Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia
diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI.
KH. Noer Alie pun kembali ke Jawa Barat dengan berjalan kaki dan mendirikan
sekaligus menjadi komandan markas pusat Hizbullah-Sabillah (MPHS) Jakarta Raya
di Karawang. Untuk menunjukan bahwa pertahanan Indonesia masih eksis,
dibeberapa tempat MPHS melakukan perang urat syaraf (psy war). KH Noer Alie
memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawa Gede dan
Karawang untuk membuat bendera merah putih ukuran kecil yang terbuat dari
kertas yang ditancapkan di pohon.
Hal
tersebut bertujuan untuk membangkitkan moral rakyat Indonesia bahwa di tengah-tengah
kekuasaan Belanda yang datang kembali, masih ada pasukan Indonesia yang terus
melakukan perlawanan. Aksi heroik tersebut membuat Belanda terpengaruh dan
mengira pemasangan bendera merah putih tersebut dilakukan oleh TNI. Belanda
langsung mencari Mayor Lukas Kustaryo, karena tidak ditemukan, Belanda pada
akhirnya marah dan membantai sekitar empat ratus orang warga sekitar Rawa Gede.
Pembantaian
yang terkenal dalam laporan De Exceseen nota Belanda itu, disatu sisi
mengakibatkan terbunuhnya rakyat, namun di sisi lain para petinggi Belanda dan
Indonesia tersadar bahwa di sekitar Karawang, Cikampek, Bekasi dan Jakarta
masih ada kekuatan Indonesia. Sedangkan citra Belanda kian terpuruk karena
telah melakukan pembunuhan secara keji terhadap penduduk yang tidak berdosa.
Pada tanggal 29 November terjadi pertempuran sengit antara pasukan KH. Noer Ali
dengan sekutu di Pondok Ungu pasukan yang sebelumnya telah diberikan motivasi
juang seperti puasa, doa, hizbun nasr, wirid, shalat tasbih dll. Tetapi
juga perlu diingat ada pesan yang diberikan oleh KH. Noer Alie yaitu ketika
berperang melawan Belanda tidak boleh sombong dan angkuh.
Kecintaan
nya terhadap bidang pedidikan telah membuat KH. Noer Alie berinisiatif untuk
membentuk Lembaga Pendidikan Islam (LPI) bersama KH. Rojiun yang salah satu
programnya adalah mendirikan sekolah rakyat islam di Jakarta dan Jawa Barat. Di
Ujung Malang KH. Noer Alie kembali mengaktifkan pesantrennya dengan SRI sebagai
lembaga pendidikan pertama. Pada bulan Juli 1949 KH. Noer Alie diminta untuk
menjadi Bupati Jatinegara. Teringat Pesan gurunya Syeikh Ali al-maliki agar
tidak menjadi pegawai pemerintah. Maka KH. Noer Alie pun menolak dengan halus
tawaran tersebut.
Pasca
perang kemerdekaan dan agresi militer belanda, perjuangan KH. Noer Alie terus
berlanjut dalam bidang politik, pendidikan dan sosial maka pada tanggal 19
april 1950 KH. Noer Alie ditunjuk sebagai ketua Masyumi cabang Jatinegara. KH.
Noer Alie meninggal pada 29 Januari 1992 pengusulan gelar pahlawan nasional
pada KH. Noer Alie pada tahun 2005. Untuk lebih lanjut mengetahui perjuangan
beliau bisa membeli buku ini di online shop karena sudah banyak yang
menjualnya.
BIODATA
PENULIS
Tidak ada komentar