Cerpen: Pelet Sodik
Hari menjelang sore. Ruman duduk termenung di atas balai-balai, di halaman depan rumahnya, sembari mengisap sebatang rokok. Tak beberapa lama kemudian, ia melihat Arman melangkah menghampirinya dengan wajah tersenyum. Ia sontak merasa senang, sebab pemuda itu selalu mampu membuatnya terhibur dengan lelucon-lelucon kecil, atau sekadar menemaninya bergosip dan bermain catur.
Karena
kedekatan mereka, Ruman telah menganggap Arman seperti anaknya sendiri. Pasalnya,
atas kehadiran pemuda itu, ia merasa memiliki seorang anak laki-laki yang
melengkapi dua anak perempuannya. Apalagi, ia memang banyak mendapatkan bantuan
darinya dalam banyak persoalan. Paling tidak, terkait tugasnya sebagai petugas
kebersihan, lelaki itu setia menjadi pembantunya dalam mengangkut sampah para
warga.
Hingga
akhirnya, seperti biasa, setelah Arman duduk di sampingnya, Ruman pun lekas
menawarkan rokok. Seperti biasa pula, pemuda itu akan menerima tawarannya
dengan antusias. Tetapi nyatanya, kali ini, ia jadi heran setelah lelaki itu menolak
sodorannya dengan raut ceria. Ia pun semakin tak habis pikir setelah menyaksikan
lelaki itu terus saja tersenyum-senyum sendiri, seolah asyik mengecap-ngecap
rahasia indah di dalam benaknya.
“Ada
apa denganmu? Kau kerasukan setan?” tanya Ruman, dengan nada bercanda.
Arman
pun tergelak pendek. “Aku sedang jatuh cinta, Om,” tuturnya.
Ruman
sontak mendengkus dan menggeleng-geleng heran. “Memangnya kau jatuh cinta pada
siapa?”
“Om
tak perlu tahu sekarang,” balas Arman, masih dengan wajah semringah. “Pada
saatnya, Om pasti tahu, kok.”
Ruman
lantas tertawa putus-putus. “Terus, apa kau yakin kalau perempuan itu akan
menerima cintamu?” tanyanya, dengan ekspresi yang seolah-olah merendahkan
kualitas diri Arman dalam menaklukkan hati seorang perempuan.
Sesaat
kemudian, setelah merengung-renung, Arman pun mengembuskan napas yang panjang.
Ia lalu menatap Ruman dengan raut sayu, kemudian menuturkan keluhannya dengan
nada lemah, “Nah, itu masalahnya, Om. Aku ragu kalau ia akan menerima cintaku. Makanya,
aku ingin bertanya ke Om, siapa tahu Om punya kenalan orang pintar yang ahli
soal pelet?”
Seketika
pula, Ruman tertawa terbahak-bahak selama beberapa saat. Setelah puas, ia lalu
menepuk-nepuk punggung Arman, kemudian bertanya dengan suara berbisik, “Kau
tahu Mbah Sodik, si penjual obat tradisional, yang rumahnya di dekat sekolah,
sebelum pasar?”
Arman
pun mengangguk.
“Nah,
pergilah padanya. Minta obat dan guna-gunanya. Aku yakin, kau pasti berhasil
menaklukkan wanita pujaanmu,” saran Ruman.
Arman
pun tersenyum sepintas, kemudian mempertanyakan keraguannya, “Memangnya, Om punya
bukti soal kesaktiannya?”
Lekas
saja, Ruman mengangguk keras. “Aku bahkan pernah mencobanya, dan berhasil.
Tetapi lama-lama, aku berhenti. Aku takut ketahuan.”
Arman
sontak mendengkus gemas. “Memangnya, Om gunakan pelet untuk siapa?’
“Tentu
saja kau tak boleh tahu,” balas Ruman seketika.
Arman
pun tertawa. “Baiklah, Om. Aku akan ke sana.”
Ruman
mengangguk saja, sambil tersenyum.
Tak
lama kemudian, Arman pun pergi.
Akhirnya,
Ruman kembali sendiri, dengan isi kepala yang terus-menerus menggelitik
tawanya. Pasalnya, ia telah berhasil memperdaya Arman soal pelet Sodik. Ia memang
pernah meminta guna-guna pada lelaki tua berjanggut panjang itu untuk memikat
hati seorang janda pemilik warung kopi bernama Rina. Ia pun mendapatkan sebuah
cincin batu dan menyerahkan sejumlah bayaran.
Sehari
setelahnya, Ruman lalu mampir ke warung Rina. Ia lantas mengusap-usap batu
cincin tersebut ketika berbincang dengan sang janda, sebagaimana petunjuk Sodik.
Tetapi nyatanya, janda itu sama sekali tak jatuh hati kepadanya. Hingga
akhirnya, kini, ia hanya menganggap kesaktian Sodik tak lebih daripada omong
kosong dan hasil propaganda palsu seorang temannya.
Karena
itulah, kini, Ruman merasa begitu senang telah berhasil mengerjai Arman,
sehingga ia tidak akan menjadi korban terakhir Sodik. Ia seolah mendapakan
hiburan yang memuaskan, dan sudah tak sabar untuk segera menyaksikan kekesalan Arman
atas kemandulan pelet Sodik. Ia yakin Arman pasti senasib dengan dirinya, dan
akan turut menjadi pembenci Sodik.
Namun
Ruman tidaklah hendak membodoh-bodohi Arman begitu saja. Dari keusilannya itu,
ia berharap Arman akan menyadari bahwa persoalan hati seharusnya tidak dibawa
ke ranah perdukunan. Ia berharap Arman akan memahami bahwa kunci untuk
mendapatkan hati seorang perempuan adalah membenahi dan memantaskan diri secara
logis, bukan dengan unsur-unsur magis yang menipu.
Harapannya
itu berdasar, sebab secara kasatmata, Ruman memang menilai bahwa Arman memiliki
kualitas fisik yang sangat meragukan dalam soal menarik perhatian lawan jenis. Ia
menyaksikan sendiri bahwa Arman sama sekali tak becus merawat dan menata tubuhnya.
Ia bahkan meyakini bahwa semua orang akan mudah menilai kalau Arman jarang
mandi, malas menggosok gigi, dan tidak pandai menata rambutnya dengan baik.
Belum
lagi, ia juga memandang kalau Arman tidak memiliki kualitas pribadi yang mengesankan.
Ia tahu betul bahwa Arman hanyalah seorang lelaki yang terpaksa putus sekolah
saat menginjak kelas II SMA karena kebengalan dan kebodohannya, hingga
kehilangan masa depan yang cerah. Karena perkara-perkara itulah, ia menaksir
bahwa pelet sehebat apa pun, tak akan mempan untuk membuat Arman menarik di
mata perempuan.
Tetapi
akhirnya, keesokan harinya, Ruman terkejut setengah mati. Pasalnya, untuk pertama
kalinya, ia melihat putri sulungnya yang duduk di bangku kelas II SMA, pulang dari
sekolah dengan menumpang motor Arman. Dari balik jendela, ia pun menyaksikan gerak-gerik
mencurigakan di antara anaknya dengan Arman. Ia bahkan bisa membaca bahwa
keduanya memiliki persinggungan hati yang tidak biasa.
Akhirnya,
untuk mengakhiri basa-basi di antara anaknya dengan Arman di halaman depan
rumahnya, Ruman pun bergegas menampakkan dirinya di gerbang pintu.
Tak
pelak, melihat kehadiran Ruman, Arman sontak melayangkan senyuman kikuk,
kemudian melontarkan sapaan pamit, “Mari, Om.”
Ruman
hanya memampang ekspresi datar.
Arman
lantas menyalakan motor dan segera pergi.
“Kenapa
kau nebeng Arman?” sidik Ruman kemudian.
Putrinya
pun tersenyum sipu, khas orang yang sedang kasmaran. “Aku tiba-tiba bertemu
dengannya di depan sekolahku, Ayah. Ia menawariku tumpangan, dan aku pun ikut
padanya. Memangnya kenapa, Ayah?”
“Tetapi
kau dan Arman tidak…?” Ruman tak sanggup menuntaskan pertanyaannya. Ia takut
salah sangka dan membuat anaknya tersinggung.
“Tidak
apa maksud Ayah?” tanya putrinya, meminta penjelasan.
Ruman
lekas menggeleng. “Tidak apa-apa.”
Putrinya
pun mengangguk saja, kemudian masuk ke dalam rumah dengan raut senang dan langkah
riang serupa balerina.
“Ada
apa, Pak? Kok, Bapak kesal begitu melihat Arman membonceng putri kita?” tanya
istrinya, curiga.
“Aku
takut mereka ada hubungan spesial, Bu,” terang Ruman.
“Loh,
apa salahnya, Pak? Namanya juga remaja. Saling jatuh cinta itu hal yang biasa,”
tanggap sang istri.
Ruman
pun mendengkus kesal. “Memangnya Ibu mau menerima Arman jadi menantu kita?”
Istrinya
lantas menimbang-nimbang sejenak, kemudian membalas, “Kalau aku sih, terserah
anak kita saja. Toh, Arman juga anak yang baik, kok.”
Ruman
sontak melengos atas respons istrinya. Ia lalu berbalik badan dan pergi.
Akhirnya,
beberapa saat kemudian, Ruman pun memutuskan untuk menemui Sodik. Ia hendak
menyelidiki kalau-kalau Sodik benar-benar memberikan ramuan pelet yang jitu kepada
Arman, hingga anaknya menjadi korban kekuatan magis. Pasalnya, di tengah
keraguannya pada kesaktian Sodik, perlahan-lahan ia jadi bimbang juga setelah
menyaksikan kenyataan antara Arman dengan anaknya.
Tak
beberapa lama, Ruman pun tiba di rumah Sodik yang megah, yang sekaligus menjadi
tempat penjualan obat dan praktik pengobatan tradisional.
“Apa
benar, kemarin, ada laki-laki bernama Arman datang ke Embah dan meminta pelet?”
tanya Ruman kemudian, dengan sikap sopan.
Setelah
mengingat-ingat sejenak, Sodik pun mengangguk. “Iya. Benar. Memangnya kenapa?”
“Apa
Embah memberikan ramuan pelet kepadanya?” tanya Ruman lagi.
“Iya.
Benar. Memangnya kenapa?” tanya Sodik kembali.
Ruman
pun melenguh. “Aku melihat, pelet untuknya berhasil, Mbah.”
Sodik
sontak tertawa pendek. “Lalu, kenapa Bapak jadi kecewa begitu?”
“Aku
penasaran saja, Mbah, kenapa pelet yang Embah berikan untuknya berhasil,
sedangkan pelet yang Embah berikan untukku malah tidak mempan?” keluh Ruman.
Sodik
lantas berpikir-pikir. Sesaat kemudian, ia pun menuturkan taksirannya, “Aku
kira-kira, perempuan yang Bapak sasar, harus ditaklukkan dengan ramuan pelet
yang lebih kuat.”
Ruman
pun mengangguk-angguk, seperti memiliki jalan pikiran yang sama. “Kalau begitu,
tolong berikan aku ramuan pelet yang dahsyat seperti yang Embah berikan kepada Arman,”
pintanya, untuk kepentingan hasrat kelaki-lakiannya sendiri, sekaligus menguji
kemanjuran versi pelet itu.
Sodik
pun menyetujuinya. “Baiklah.”
Akhirnya,
Sodik pun memberikan dua botol air putih kepada Ruman, beserta sebotol parfum,
sebagaimana yang ia berikan kepada Arman. Ia kemudian menerangkan bahwa Ruman
harus mencuci muka dan menggosok gigi dengan air putih tersebut, kemudian menyemprotkan
parfum itu di bajunya. Setelah dua ritual itu beres, ia harus menghampiri wanita
sasarannya dengan sikap yang tenang dan sopan, kemudian menyampaikan perasaannya.
Dengan
rasa penasaran, Ruman lantas pulang setelah membayar sejumlah uang kepada
Sodik. Ia jadi tak sabar untuk mencoba ramuan pelet tersebut dan menyaksikan
keampuhannya. Selain untuk mencoba menaklukkan janda pujaannya, juga untuk menguji
apakah putrinya benar-benar telah jatuh hati kepada Arman karena pelet itu atau
tidak.
Tak
lama berselang, setelah sampai di rumahnya, Ruman pun segera melakukan ritual
berdasarkan petunjuk Sodik. Ia membersihkan wajah dan giginya dengan air putih yang
telah dimantrai, kemudian menyemprot pakaiannya dengan parfum spesial.
Namun
akhirnya, sebelum ia berangkat menemui janda sasarannya, tiba-tiba, ia diadang
pertanyaan penuh curiga dari istrinya, “Bapak mau ke mana? Tumben, kok rapi dan
wangi sekali.”
Pikiran
Ruman pun bekerja cepat untuk meramu alasan, hingga akhirnya ia berkilah, “Aku mau
ke tengah kota, Bu. Banyak keperluan yang ingin aku beli di sana, terutama perkakas
perbengkelan. Aku merasa kerepotan jika harus ke bengkel setiap kali ada
masalah dengan sepeda motor atau roda tiga pengangkut sampahku, Bu. Apalagi,
memang lebih hemat jika aku bisa memperbaikinya sendiri.”
Istrinya
malah tersenyum. “Wah, kebetulan sekali, Pak. Kalau bisa, Bapak belilah sesetel
pakaian untuk kita berdua.”
“Pakaian
untuk apa, Bu?” tanya Ruman, sedikit kesal.
“Untuk
pesta, Pak,” jawab istrinya, dengan raut memohon. “Kurasa, kita perlu pakaian untuk
kondangan, Pak, termasuk untuk menghadiri pernikahan Ibu Rina dengan Mbah
Sodiq, minggu depan.”
Seketika,
Ruman terkejut hebat. “Ibu Rina si pemilik warung kopi itu?”
Istrinya
mengangguk tegas.
“Dengan
Mbah Sodik si tabib itu?” tanya Ruman lagi.
Istrinya
kembali mengangguk.
Ruman
pun menghela dan mengembuskan napas yang panjang. Ia lantas berupaya
menyunggingkan senyuman untuk menyamarkan kekalutannya, “Baiklah, Bu,” katanya,
kemudian melangkah keluar dengan perasaan yang hancur.
Sesaat
berselang, dengan daya hidup yang melemah, ia pun menunggangi sepeda motornya untuk
benar-benar pergi ke tengah kota dan membeli pakaian pesta, demi menyempurnakan
kebohongannya kepada istrinya. Hingga akhirnya, sebelum ia benar-benar
meninggalkan halaman rumahnya, ia pun melihat Arman melintas dengan sepeda
motor, sembari membonceng putri sulungnya, ke satu arah yang entah ke mana.***
Ramli Lahaping.
Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif
menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com).
Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa disapa melalui Twitter
(@ramli_eksepsi).
Tidak ada komentar