Memahami Pepatah Madura: Gherrâ Ta’ Bisa Èangghuy Pèkolan, Lemmes Ta’ Bisa Èangghuy Panalèan
freepik |
Oleh: Fendy Sa’is Nayogi*
Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan ngobrol di tengah-tengah asiknya ngopi dengan salah satu orang yang saya anggap cukup memahami mengenai ke-maduraan baik dari sosial masyarakat, budaya dan bagaimana cara berfikir orang madura secara umum. Meskipun diskusi tersebut berlangsung singkat karena waktu yang penuh batas karena salah satu di antara kami ada yang sudah berkeluarga namun tidak mengurangi isi diskusi meskipun tidak begitu dalam namun cukuplah untuk menjadi pelengkap dari apa yang akan kita ulas setelah ini.
Tidak hanya soal ke-maduraan sebenarnya yang menjadi
topik diskusi dalam obrolan kami ketika itu, kami juga membahas tentang
jenis-jenis pakaian atau busana dan menghubungkannya dengan tata nilai sosial
yang ada. Misalnya kita sebut dengan baju lemah yang banyak perempuan
gunakan, yang harusnya baju lemah itu digunakan di dalam rumah atau
di depan sosok yang layak. Sebenarnya, di sini saya hanya ingin menegaskan bahwa diskusi ketika itu tidak berlengsung
serius namun berlangsung santai mendekati sedikit liar. Ya, layaknya
tongkrongan anak muda lainnya kita membahas hal yang sama dan selalu memastikan
bahwa masih ada nilai dan ilmu yang kita bisa ambil dan atau sekedar menjadi
bahan berpikir sebelum tidur.
Saya hampir saja terlena untuk membahas di luar topik,
karena sebenarnya bahasan di luar topik ke-maduraan pada saat itu lebih seru
untuk dibahas.
Pepatah Madura sebenarnya banyak sekali dan selalu
menarik untuk dibahas terkait nilai di dalamnya. Bukan tanpa alasan, pepatah
tersebut lahir bukan dari beberapa tahun yang lalu, mungkin sudah puluhan atau
ratusan tahun yang lalu. Yang pasti pepatah itu lahir sudah sangat tua usianya
dan lahir dari hasil pandangan arif dalam masyarakat Madura dan menjadi bukti
bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar yang tidak hanya kaya
akan suku bangsa akan tetapi juga kaya dari sisi pandanga-pandangan hidup
masyarakatnya. Seperti judul di atas pepatah madura yang menarik untuk dibahas
salah satunya adalah “Gherrâ Ta’ Bisa èangghuy
Pèkolan, Lemmes Ta’ Bisa èangghuy
Panalèan”.
Secara terminologi “Gherre Tak Bisa Eangghuy
Pekolan, Lemmes Tak Bisa Eangghuy Panalean”, memiliki arti kaku tapi tidak bisa digunakan
sebagai alat memikul, elastis/ lentur tapi tidak bisa digunakan sebagai
tali-temali. Jika kita mulai menafsirkan pengertian awam kalimat tersebut
mungkin akan merujuk pada fungsi dan karakter masing-masing alat. Alat karakter
kaku harusnya bisa jadi alat memikul, karakter lentur/ elastis harusnya bisa
jadi alat tali-temali. Meskipun semua yang kaku tidak selalu bisa menjadi alat
pikulan dan lentur/ elastis tidak selalu bisa dijadikan tali-temali namun pada
penafsiran pepatah tersebut yang menjadi fokus kaku adalah kayu/ bambu yang
memiliki karakter kaku harusny bisa menjadi alat pikulan dan tambang atau tali
yang lentur/ elastis harusnya bisa dijadikan untuk tali-temali. Dari kedua hal
tersebut yang menjadi fokus sebenarnya malfunction dari kedua
benda tersebut (pikulan dan tali).
Pepatah “Gherrâ Ta’ Bisa èangghuy Pèkolan, Lemmes Ta’ Bisa èangghuy Panalèan”, dalam pemahaman masyarakat
memiliki masing-masing penafsiran yang besar dalam hal ini disertai dengan
luasnya pikiran dan hati dari setiap individunya. Penafsiran ini mungkin hanya
sebatas kulit dari makna pepatah tersebut, di masyarakat Madura khususnya di
daerah tempat saya dan teman ngopi tinggal banyak ditafsirkan sebagai keutamaan
kita menempatkan apapun pada tempatnya; menggunakan apapun sesuai fungsinya.
Misalnya, seorang suami lebih lemah lembut kepada wanita lain dan kasar kepada
istrinya sendiri, tentunya ini bukan hanya sekedar contoh namun di tengah-tengah
masyarakat kejadian begini banyak terjadi. Seorang suami yang harusnya lebih
mendahulukan istri sebagai mana mestinya malah memperlakukan wanita lain dengan
lemah lembut. Contoh lain, seseorang yang berwatak tegas dan kasar tetapi
ketika terdapat masalah dalam lingkungannya memilih untuk diam dan watak tegas
dan kasarnya tidak digunakan untuk bantu menyelesaikan, malah ketegasan dan
kekasarannya digunakan untuk menakut-nakuti orang-orang disekitarnya (kakunya
tidak bisa di jadikan pikulan/ manfaat). Dari sudut lain misalnya tentang
kekuasaan atau jabatan, di tengah masyarakat memiliki kekuasaan ataupun jabatan
harusnya mampu membantu kesulitan yang terjadi di tengah lingkungan tersebut
bukan malah membiarkan ataupun memanfaatkan kesulitan untuk kepentingan
pribadinya. Singkatnya dari ketiga contoh tersebut hanya bagian kecil dari pelbagai kejadian di masyarakat. Sebagai ilustrasi dari paradigma tafsiran tersebut banyak
terjadi di masyarakat kita yang menggunakan apapun tidak sesuai fungsi atau
menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Pepatah ini secara universal dari seluruh penjuru
dunia, Indonesia khususnya memiliki muatan nasihat, sindiran, larangan,
anjuran, tatanan nilai, dll dari masing-masing darimana pepatah itu berasal.
Pepatah Gherrâ Ta’ Bisa èangghuy
Pèkolan, Lemmes Ta’ Bisa èangghuy
Panalèan”, memiliki muatan sindiran dan nasihat bagi kita yang memiliki
kecenderungan berperilaku sebaliknya. Pada contoh suami yang lebih lemah lembut
pada wanita lain dan berperilaku sebaliknya pada istrinya sendiri adalah sikap
yang salah dan minimal melanggar nilai sosial dan agama. Ilustrasi di atas
menggambarkan bahwa kita semuanya memiliki kecenderungan memperlakukan hal yang
sebaliknya. Entah dengan motif yang lahir dari kesesatan berfikir, kurangnya
ilmu dan lainnya, kejadian begitu masih kita temukan di masyarakat kita, di
sekitar pembaca atau pada saya sendiri sebagai penulis.
Sebagai masyarakat ketimuran, kita perlu mengolah
pepatah ini menjadi perilaku. Lagi, sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki
kekayaan pandangan-pandangan arif tentang kehidupan yang lahir dari rasa dan
karsa luasnya berfikir. Pandangan ini sebenarnya tidak cukup hanya sebatas kita
hormati sebagai kekayaan budaya sosial kita, terlebih tentang kehidupan perlu
rasanya kita ngajhi (ngaji) dan mengorek-ngorek nilai yang ada
dalam pepatah tersebut, sampai kita pahami dan menjadikan refleksi diri
dan menjadikan sebagai pedoman kita sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi
pada nilai sosial budaya kita masing-masing. Lebih dalam lagi, pepatah “Gherrâ
Ta’ Bisa èangghuy Pèkolan, Lemmes
Ta’ Bisa èangghuy Panalèan”,
bukan hanya berlaku untuk masyarakat Madura, meskipun lahir dari sosial
masyarakat madura, pepatah dan nilai dari pepatah tersebut merupakan panggilan
kemanusiaan yang secara universal berlaku untuk seluruh manusia. []
*) Fendy Sa’is Nayogi.
Kelahiran Bondowoso. Lulusan sarjana pertanian di Politeknik Negeri Jember,
saat ini sedang bekerja dibidang pertanian (swasta). Menyukai topik/ isu
lingkungan; pertanian; pendidikan; filsafat dan sosial budaya. Bisa ditemui di:
instagram (rb.fendysn), gmail (fendysaisnayogi@gmail.com).
Salam settong dere
BalasHapus