Mulailah Sadar Akan Peduli Alam
freepik |
Dewasa ini kita harus sadar akan pentingnya rasa memiliki, menjaga, dan melestarikan lingkungan sekitar kita. Hal ini memberikan pola pikir baru untuk terus berpacu dalam menjaga kemaslahatan antara alam dan manusia, maupun manusia dengan alam.
Alam di sekitar kita menggambarkan bagaimana kita
bisa menjaga dan merawatnya dengan baik, bukan sebagai tempat yang hanya bisa
kita injak dan kotori yang akan berimbas kepada kemaslahatan mahkluk hidup itu
sendiri.
Sebagai makhluk hidup, manusia memiliki peran
sangat penting di dalam menjaga, merawat, maupun melakukan action dengan
melestarikan keseimbangan lingkungan
alam. Tindakan tersebut akan memberikan implementasi supaya lingkungan yang
berada di sekitar kita terlihat asri atau indah dan sejuk untuk dinikimati
keelokannya. Tetapi berbeda dengan fakta empiris saat ini banyak lingkungan
mulai tercemar oleh sebagian ulah manusia yang tidak mengindahkan kondisi dan
kebermanfaatan secara berkelanjutan (Sustainable), sehingga dengan ulah
yang mereka perbuat kepada alam akan berdampak kepada mereka yang merusaknya. Penjelasan
untuk mengajak kita agar peduli indungi alam terus digencarkan melalui berbagai
informasi dan ilmu yang ada di sekitar kita. Seperti peringatan hari bumi
sedunia (Eart day) yang diperingatai setiap tanggal 22 April, peringatan
hari air sedunia pada tanggal 22 Maret, peringatan atau pemberian informasi terkait
pemilahan sampah mana yang bisa diaur ulang dan mana yang tidak bisa didaur
ulang. Informasi tersebut biasanya tertera di tempat sampah, bahkan di dalam
ilmu agama juga memberikan pengertian terkait lingkungan alam seperti ayat suci al-Qur’an surat
Ar-Rum ayat 41. “ Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Alloh merasakan kepada mereka sebgaian dari ( akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Peringatan atau informasi tersebut menjadi poros sentral atau relaksasi untuk
semua manusia dalam menapaki kepedulian terhadap
kondisi lingkungan alam yang ada.
Lingkugan
alam sebagai poros bumi atau poros penyeimbang yang pernah diajarkan oleh
masyarakat jawa melalui mitologi jawa kuno dengan menggunakan perantara kisah
pewayangan seperti kisah “Semar yang merupakan salah satu tokoh dalam
pewayangan punokawan menancapkan gunung sebagai “Pakune Bumi” penyeimbang nuswantara
yang dulunya terombang-ambing oleh samudra sehingga menyebabkan bencana banjir
hingga gempa”. Mitologi tersebut secara tidak langsung memberikan impact
atau dampak berupa gambaran pentingnya lingkungan alam berupa gunung di
dalam mitologi tersebut untuk sisitem penyeimbang dan keberlangsungan hidup manusia. Tetapi
mitologi dan agama yang sudah penulis jelaskan diawal mulai terkikis oleh
industrialisasi yang identik dengan matrealisme. Semua yang berdasarkan asas
industrialisasi akan mengarah kepada ekspolitasi kerusakan lingkungan alam
melalui berbagai macam cara sekalipun harus mengorbankan keasrian alam demi
memperlancar proyek. Industrialisasi dapat mengkontrol manusia (Humanity) dengan
iming-iming reaward atau hadiah kepada mereka, sehingga manusia
akan melakukan segalanya dengan menganggap sumber daya alam hanyalah sumber
daya yang pasif. Anggapan tersebut akan membawa adanya ekspolitasi secara luas.
Semakin manusia berhasil merampas sumber daya alam semakin berhasil pula
manusia mengendalikan hidupnya dan semakin dekat pula untuk mendapatkan reaward
dari industrialisasi tersebut.
Apabila faktor ekonomi dimanfaatkan untuk
mencapai reaward “Pendapatan ekonomi” sudah bersinggungan dengan alam, maka
akan muncul sikap Antroposentrism. Sikap Antroposentrim selalu diidentikkan
dengan manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan alam semesta hanyalah
sebagai pemuas dahaga manusia. Sikap tersebut mampu membuat goyah roda kehidupan
akibat tidak memperdulikan lingkungan dan alam. Alam hanya dijadikan sebagai
pelampiasan pemuas ekonomi, maka tidak mengherankan jika deforestrasi (Penebangan
pohon secara liar) menjalar hingga merujuk pada bencana alam. Kebencanaan di dalam
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 menjelaskan mengenai pengertian bencana
sebagai peristiwa atau peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Secara hakiki
kebencanaan tidak pernah bisa kita prediksi kapan datangnya, oleh sebab itu
seringkali bencana musiman melanda di berbagai wilayah di Indoneisa. Seperti
halnya bencana alam banjir, tanah longsor, kekeringan, dan abrasi. Bencana-bencana
yang sering kali kita lihat terjadi karena tiga faktor.
Faktor pertama karena alam, kedua faktor karena
manusia, dan ketiga faktor karena non alam, namun sebagaian besar penyebab
bencana alam adalah akibat dari faktor ulah manusia. Faktor manusia menjadi
langkah awal timbulnya kebencanaan alam sebagian. Tetapi banyak masyarakat yang
kurang memahami akar dari bencana yang sedang melanda di sekitarnya. Maka
dengan seperti ini, siapa yang harus kita intropeksi “ Alam atau Manusia”. Bukan
siapa yang salah dan bukan siapa yang benar, tetapi bagaimana kita sebagai
mahkluk hidup untuk tetap berupaya bukan hanya menggantungkan diri atau
mempasrahakan diri kepada Tuhan dan beranggapan bahwa bencana berasal serta diputuskan
oleh sang Khalik tanpa ada sebab apapun. Meskipun demikian kita manusia memang
tidak bisa menolak akan bencana, namun kita manusia bisa berperan aktif untuk meminimalisir
bencana alam dengan kesiapsiagaan seperti memulai kembali dengan suasana baru
dan kita bisa menjaga kondisi alam, sehingga alam akan memberikan kemulyaan
kepada kita yang menjaganya. Sebagaimana orang tua kita menjaga kita sejak
kecil hingga dewasa, sebaliknya kita akan menjaganya denga penuh rasa kasih
sayang.
Biodata
Penulis
Wahyu Umattulloh Al, lahir di Jombang 2 Juli 1999. Profesi sebagai mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Program
Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik).
Tidak ada komentar