Cerpen Mored: Sang Keramat Batu Pandhusa
Cerita ini berlatar dusun bernama Janti Desa Ketah, Suboh Situbondo. Letaknya tak jauh dari tepi sungai banyak sawah membentang. Pemandangan alam memesona, gunung menjulang tinggi dapat terlihat dihiasi awan.
Pagi hari tepat di tepian aliran sungai terdapat beberapa warga Janti sedang berkumpul, mereka memperhatikan orang-orang yang berada di sekitar batu sungai. Batu itu salah satu batu terbesar yang mereka temui. Konon batu yang mendiami sungai itu memiliki sejarah panjang yang diketahui sesepuh dusun.
Selang beberapa saat terdapat seorang
warga menemukan sebuah buah batu kecil
berbentuk biji. Batu
tersebut berwarna kuning cerah dan berkilau layaknya emas. Mereka mengira menemukan sesuatu yang mereka cari.
Tak disangka batu tersebut memang sebuah emas. Batuan berharga yang biasa dijual. Warga pun berbondong-bondong
menghampirinya untuk memastikan. dia memang
menemukan emas. Biasanya warga setempat mencari emas kecil yang tertimbun di sungai. Namun tak semua
berhasil, kemudian warga itu beranjak dari tempatnya dan pulang menuju rumah untuk memberitahu.
“Bbhurrr....” terdengar suara keras seperti seseorang yang
jatuh ke dalam air.
“Jangan terburu-buru, Mbah, nanti jatuh. Aku yang repot.”
“Tadi aku mendengar ada yang
menemukan emas. Siapa orangnya?”
“Andai saja kau lebih cepat datang, dia sudah pulang. Tak ada gunanya berlama-lama di tempat ini dan sepertinya akan siang hari.”
Di siang hari seorang gadis berumur 13 tahun dengan
wajah rupawan menjadi pusat perhatian para pemuda yang duduk di rumah warga, mereka memandangi gadis
itu yang sedang duduk di teras rumahnya, kemudian kedua gadis
lain mengajaknya bermain.
“Hei! Fatima kemari... Ini akan sangat menyenangkan jika kau juga ikut," ujar salah satu dari mereka.
"Baiklah tapi aku bilang ibuku dulu.”
Setelah pamit Fatima mengajak temannya
bermain ke
tempat yang ia
inginkan.
"Ayo ikut, aku akan menunjukkan kalian tempat menarik.”
"Di mana? Aku harap bisa melihat tanpa mencium bahaya, " ucap Yati.
“Tidak akan, percayalah ini akan
menyenangkan, aku menjamin keselamatan kalian."
Dengan raut wajah yakin mereka setuju.
“Apa salahnya?Mungkin ada hal indah yang belum kita tahu,” ucap Nilam.
Mereka langsung menuju tempat yang
dimaksud Fatima. Setibanya di sana, Yati berkata, “Inikah yang kau maksud? Ohh,,, sungguh tidak mungkin. Kau pasti tahu apa yang akan terjadi jika berada di sini saat siang hari. Jika ada warga yang
melihat kita mereka akan marah meski
tidak memiliki hubungan kerabat.”
Tanpa mendengar ucapan Yati, mereka
yang berada di
tepian sungai
kaget melihat Fatima berlari dan
mendekati batu besar yang tidak boleh dikunjungi apalagi disentuh oleh
sembarang orang.
“Apa dia sudah gila? Kita harus menghentikannya. Ayo cepat
sebelum bencana menimpa kita. Kita harus membawanya pulang dan bertanggung
jawab jika terjadi sesuatu,” simpul Nilam.
“Jeburrr”.
Suara benda tenggelam.
“Apa dia masuk ke dasar sungai? Aku tidak yakin bisa membawanya dengan
selamat. Aku ingin pulang sekarang,” kata Yati.
Mereka menunggu Fatima yang belum muncul ke permukaan, sesuatu yang buruk pasti terjadi, pikiran mereka kusut. Siapayang akan bertanggung jawab?
“Ah. hampir aku tidak bisa bernapas tapi aku menemukan sesuatu.”
Seketika temannya kaget mendengar
suara Fatima, bergegas menyeretnya dari dasar sungai, gadis itu malah mendekati
batu besar.
“Tunggu, kau mau ke mana lagi? Ayo! sekarang kita
harus pulang!” bentak Nilam sambil memegangi lengan gadis itu.
“Sebentar aku butuh waktu 10 detik
untuk melakukan hal ini, setelah itu kita
pulang.”
Ia menaiki batu besar dan berteriak, “Aku telah menemukan apa yang aku cari!”
Mereka dibuat senewen dengan tindakan
Fatima. Nilam menarik
tangan gadis itu dan membawanya menjauhi sungai. Dengan sangat ketakutan
Yati marah besar.
“Kau ingin membuat kita mati muda?
Semua orang menjauhi batu
besar itu apalagi menaikinya.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa kita harus melapor kepada
keluarga kita karena mengunjungi
Batu Pandhusa!” kata Yati dengan
nada tinggi.
Mereka dalam bahaya, dan kapan saja
bahaya itu datang entah kepada siapa tidak akan ada yang tahu.
“Sudahlah lebih baik kita pulang. Aku ingin tidur karena lelah menyelam ke dasar sungai. Belum pernah aku mendengar ada petaka setelah datang ke sana. Aku sudah mendapatkan emas yang aku cari dan tidak akan menjualnya,” ucapnya tenang.
Mereka kembali ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya warga Dusun Janti berkumpul di rumah Pak No dan Bu Sun. Mereka orang tua
Fatima.
“Apa yang terjadi? Sehingga banyak warga di sini?” tanya Nilam.
“Ada yang aneh dengan Fatima. Tidak biasanya dia begitu, bertingkah
seperti orang yang kehilangan akal sehat. Tertawa
sendiri dan badannya jadi gemuk. Kemarin dia masih cantik dan anggun,” kata pemuda itu.
“Yati harus tahu hal ini,” ucap Nilam.
Nilam bergegas mengunjungi rumahnya dan
mengatakan apa yang terjadi. Kemudian mereka langsung berangkat menuju rumah
Fatima
“Bagaimana ini apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Yati ketakutan.
“Aku rasa hal ini tidak akan menimpa kita, sudah dari
dulu jika ada lima orang mengunjungi Batu Pandhusa maka hanya satu orang yang
terkena petaka,” ujar Nilam menenangkan.
Warga dusun Janti gempar, beberapa
masyarakat menganggap Fatima
terkena guna-guna karena dia
anak yang cantik dan baik oleh karena itu ada yang iri terhadapnya. Ayah Fatima kebingungan mencari penyebab
putrinya bertingkah aneh sementara ibunya menangis
di pelukan Fatima.
“Nak, apa yang terjadi?”
“Buk, aku pikir ada yang berniat jahat,” ucap Holel.
Tak lama kemudian Nilam menyela, “Pak, Bu, saya tahu apa yang terjadi pada Fatima. Kemarin saat kita bermain dia mengajak kami pergi ke
sungai siang hari.”
“Apa? Kenapa bisa kalian bisa ke sana? Kenapa kalian tidak mencegahnya?” Pak No terdengar memendam marah.
“Fatima memaksa. Kemudian kami menyusul setelah dia menyelam ke sungai dan
menemukan emas. Tanpa berpikir panjang dia menaiki Batu Pandhusa. Dia memaksa kami dan bertindak sendiri,
kemudian saya menarik tangannya agar turun dari batu tersebut dan membawanya pulang,” jelas Nilam.
“Pak Lek, sebelum kejadian
ini berlarut-larut, kita harus segera memanggil Mbah Ajes. Kasihan dia,” ucap sepupu
Fatima.
“Iya kau benar Ales, kita harus
membawanya ke
rumah Mbah Ajes,” kata Pak No.
Mereka membawa gadis itu, kebetulan sekali
anaknya memberitahu Pak No bahwa Mbah Ajes baru
tiba dari nyabis (mengunjungi Kyai
Madhure) dan
langsung menceritakan kronologis kejadian.
Dengan hanya melihat dan memperhatikan
Fatima, ia bisa tahu,
“Fatima menduduki
batu Pandhusa yang seharusnya tidak boleh dikunjungi apalagi diduduki. Satu cara yang bisa
saya lakukan selebihnya tidak tahu berhasil atau tidak,” ucap Mbah Ajes yang merasa gelisah.
“Kalian hanya perlu mengaji dan mendoakan Fatima selama 7
hari 7 malam dan mengembalikan emas yang ia ambil di sekitar batu tersebut. Setelah kalian
lakukan, jangan lupa sambil mengingatkan hal-hal tentang kehidupan pada Fatimah.
Jika hal tersebut berhasil dan membawa Fatima kembali normal maka dia harus
puasa selama sebulan penuh.”
“Baiklah Mbah akan saya lakukan,terima kasih Mbah
Ajes,” kata Pak No.
Mereka segera bergegas pergi ke rumah masing-masing dan mulai melaksanakan beberapa
hal yang harus dilakukan untuk mengembalikan akal Fatima. Setelah beberapa minggu kemudian, keadaan Fatima mulai membaik. Dia sudah bisa bicara, makan dan minum. Ibunya
pun selalu menemani karena dia adalah satu-satunya anak Pak No dan Bu Sun. Kemudian kedua teman
Fatima; Nilam dan Yati menghampiri.
“Fatima, apa kamu baik baik saja? Sudah lama kita tidak
main,” ucap Nilam dan Yati bersamaan.
“Saat ini aku baik baik saja, justru
kehidupan yang sekarang membuat hidupku terasa bahagia dari kehidupan
sebelumnya. Aku harap aku seperti ini selamanya,
penampilan inilah yang kuinginkan,” ujar Fatima dengan
nada pelan.
Ibu Fatima meninggalkannya mereka. Kini penampilan
Fatima yang berbeda jauh dari sebelumnya, tetapi ia sangat beruntung hal itu terjadi. Saat ini Fatima sangat
gemuk dan hitam. Dulu, dia sangat
cantik, putih dan langsing, meskipun saat ini sedang berpuasa dia tetap akan
gemuk tak berubah.
“Aku akan sangat beruntung dengan
situasiku sekarang. Akal sehatku kembali, dan aku tidak akan
menjadi pusat perhatian para pemuda Janti,” ucapnya sambil
tersenyum.
“Sungguh setelah lolos dari kejadian
itu kau bisa tenang-tenang saja?” ucap
Yati
“Entah apa yang dia maksud aku tidak
mengerti, huh,” kata Nilam.
“Aku menyesal karena tidak begitu peduli dengan keberadaan
batu itu.”
“Aku tidak mengerti,” kata Yati.
“Selama 6 tahun ini para pria di kampung ini selalu memperhatikanku saat berada di mana pun, mereka seakan menginginkanku. Aku
merasa tidak nyaman dengan hal itu. Aku tersiksa, aku
tidak ingin mereka memperlakukanku secara tidak wajar dan dapat merenggut
keperawananku. Lebih baik aku kehilangan kecantikan itu dari pada keperawanan
yang kujaga selama ini,” ujar Fatima.
Setelah apa yang diucapkan Fatima, mereka mengerti dengan apa yang terjadi padanya.
Kehidupan Fatima dan
keluarganya menjadi baik-baik saja saat ini
Fatima pun tetap menjadi teman baik Nilam dan
Yati selamanya.
(*)
Rini Yulianti, Lahir di Situbondo Jawa Timur, pada
tanggal 03 Juli 2004. Kini dia sedang menduduki Sekolah Menengah Atas kelas 12
di SMAN 1 Suboh. Dia ingin membuat dan menerbitkan sebuah karya ciptaanya yang
akan dikenal seluruh masyarakat Indonesia. Dia memiliki banyak mimpi yang harus
diwujudkan untuk membanggakan kedua orang tuanya. Selain itu dia ingin dikenal
seluruh dunia dengan karyanya. Dia ingin menjadi seorang Prajurit TNI AD pada
bidang kedokteran, agar dia bisa membantu para pelindung negara dengan
menyembuhkan dan mengatasi korban luka perang. Dia membuat karya seperti puisi
dan cerpen untuk dikirim ke media massa, selain itu dia mengikuti berbagai pertandingan
silat untuk memenangkan lomba agar membantunya lolos tes prajurit negara.
Tidak ada komentar