Uang Panaik Antara Agama dan Budaya
pixabay |
Oleh
: Al Azka
Budaya
pernikahan pada setiap daerah di Indonesia selalu menjadi hal yang sangat
menarik untuk dibahas dan didiskusikan . Baik dari segi latarbelakang budaya
pernikahan tersebut, maupun dari segi kompleksitas pernikahan itu sendiri.
Karena dalam pernikahan yang terjadi bukan hanya sekadar menyatukan dua orang
yang saling mencintai, lebih dari itu, ada nilai-nilai yang tidak lepas untuk
dipertimbangkan dalam pernikahan seperti status sosial, ekonomi, agama dan
nilai-nilai budaya dari masing-masing daerah.
Panaik
Sebagai Budaya
Uang panaik (uang acara)
atau dalam bahasa Bugis dikenal dengan dui’ menre’ adalah sejumlah uang
yang akan diserahkan oleh pihak mempelai laki-laki pada saat mappettu ada
(mappasienrekeng). Hal ini biasa dilakukan oleh pihak perempuan untuk
mengetahui kerelaan atau kesanggupan berkorban dari pihak laki-laki sebagai
perwujudan keinginannya untuk menjadi anggota keluarga (Sugira Wahid, 2007).
Makna
sebenarnya yang terkandung dalam uang panaik adalah bentuk penghargaan
dan kerja keras seorang laki-laki. Jika kita melihat beberapa budaya
pernikahan, uang panaik merupakan
bentuk budaya perkawinan yang memberikan pemahaman arti kerja keras dan bentuk
penghormatan atau penghargaan jika ditinjau dari sudut pandang budaya. Sebab
nilai-nilai terkandung dalam uang panaik
sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman.
Konon
sejarah panaik ini berawal dari zaman kolonial belanda, dimana pada saat itu
penjajah dari belanda seenaknya dan semaunya menikahi, menyiksa, memperkosa,
bahkan menceraikan perempuan Bugis-Makassar saat itu, asal-usul panaik ini ingin menjaga harkat dan
martabat wanita Bugis-Makassar sehingga mereka tidak mudah dipermainkan oleh
lelaki. Maka keseriusan lelaki untuk meminang wanita bugis dapat diukur dari
seberapa bisa ia memenuhi nominal uang panaik calon istrinya.
Saat
ini, pemahaman sebagian besar masyarakat suku Bugis tentang pengertian mahar
dan uang panaik masih
banyak yang keliru. Masih ada segelintir orang yang menyamakan kedudukan antara
mahar dan uang panaik, namun
adapula yang membedakannya. Dalam adat
perkawinan Bugis, terdapat dua istilah yaitu sompa (mahar) dan uang
panai‟/doe‟
balanja (Bugis - Makassar). Mahar adalah pemberian berupa uang atau harta
dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan
menurut ajaran Islam. Sedangkan uang
panaik adalah “uang antaran” yang harus diserahkan oleh pihak keluarga
calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk
membiayai prosesi pesta pernikahan.
Uang
panaik saat ini masih menjadi hantu
yang sering menghantui para lelaki khususnya di tanah Sulawesi Selatan, padahal syarat syahnya pernikahan tidak
dilihat dari seberapa besar uang panaik yang diberikan kepada calon istri,
namun perkembangan zaman telah menggeser sedikit demi sedikit tentang keutamaan
ritual pernikahan. Keseriusan seorang lelaki sedikit keliru jika hanya dinilai
dengan nominal uang, para orang tua perlu memberikan karakteristik yang
lainnya, misalnya harus pintar mengaji, punya pekerjaan, tidak pernah terlibat
kriminal, atau bahkan mempunyai prestasi yang banyak tergantung masing-masing
orang tua, tanpa harus menjadikan panaik sebagai syarat utama untuk menilai dan
menerima lamaran dari seorang laki-laki kepada gadis perempuannya. Tidak
sedikit dari mereka yang saling mencintai namun tidak sanggup untuk menikah
karena tuntutan uang panaik yang sangat tinggi melakukan aksi silariang (kawin lari).
Pernikahan
Menurut Agama
Ada
beberapa syarat syahnya pernikahan dalam Islam, Pertama adanya calon mempelai laki-laki dan juga perempuan. Kedua, adanya wali bagi perempuan. Ketiga, adanya dua orang saksi yang
muslim dan tentunya tidak fasik (tidak taat pada agama). Keempat, adanya mahar untuk istri, ini biasa berupa emas,
seperangkat alat shalat, hafalan Al-Qur’an ataupun yang lainnya. Kelima, adanya akad ijab (pernyataan kemauan pihak lelaki ke perempuan) dan qabul
( pernyataan lelaki untuk ridha dan setuju karena Allah kepada wanita).
Walaupun
uang panaik lebih
mendapat perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan
kelancaran jalannya proses pernikahan, sehingga jumlah nominal uang panaik lebih besar dari pada jumlah
nominal mahar. Sedangkan dalam syariat Islam itu sendiri tidak membatasi jumlah
mahar yang harus diberikan calon suami kepada calon istrinya, melainkan menurut
kemampuan suami beserta keridhaan istri. Tidak memberatkan calon suami dan juga
tidak merendahkan calon istri kira-kira dalih itu yang sering didengarkan.
Jadi
memang sejatinya uang panaik merupakan produk budaya setiap daerah terkhusus di
Sulawesi Selatan, tidak sedikit lelaki gagal mempelai gadis pujaannya
dikarenakan tingginya uang panaik yang di targetkan oleh keluarga perempuan
bugis, ditambah lagi strata sosial yang tentu mempengaruhi jumlah uang panaik
yang akan diberikan kepada calon istri, ini bisa dilihat dari aspek pendidikan,
dari keluarga bangsawan , anak tunggal , kemapanan dan berbagai aspek lainnya.
Semakin tinggi strata sosial perempuan tentu akan semakin tinggi jumlah panaik
yang akan ditargetkan keluarganya.
Pernikahan
adalah sunnah. Sunnah pernikahan termasuk prosesnya. Melaksanakan sunnah tentu
mendapatkan pahala di sisiNya. Bahkan Rasulullah saw bersabda "Menikah adalah sunnahku,
barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka
menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari
kiamat)." (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383)
Menghalangi
pelaksanaan suatu yang disunnahkan tentu dilarang dalam agama. Dalam artian, jika uang
panaik menjadi penghalang dalam proses pernikahan, maka uang panaik lebih baik
ditiadakan. Dari sisi yang berbeda, uang
panaik adalah kesepakatan. Jumlah uang panaik disepakati oleh dua keluarga calon mempelai.
Jika kesepakatan yang dihasilkan tidak mengandung unsur paksaan maka hukum uang panaik adalah boleh atau
mubah.
Pada
hakikatnya, dalam hukum perkawinan Islam tidak ada kewajiban untuk memberikan uang panaik. Kewajiban yang ada dalam
perkawinan Islam hanya memberikan mahar kepada calon istri. Namun kita tetap
menghargai budaya-budaya yang ada pada setiap daerah, uang panaik bisa saja
menjadi bagian dari prosesi pernikahan tetapi jangan sampai menggeser nilai
utamanya. Sehingga kita keliru untuk mengutamakan uang mahar sesuai anjuran
agama dan menggantinya dengan sesuatu yang mubah seolah menjadi sebuah
kewajiban (uang panaik).
Akhirnya
penulis memohon maaf jika ada kekeliruan dalam penulisan ini kami berharap ada
saran dari para pecinta literasi. (Allahu a’alam bissawab).
Biodata Penulis
Ibnu
Azka biasa di panggil Azka,
alumni fakultas dakwah dan komunikasi jurusan manajemen dakwah UIN Alauddin
Makassar, Lahir di kendari 26 september 1999. Selama bermahasiswa aktif di
berbagai organisasi internal maupun eksternal kampus, salah satunya pernah
menjabat sebagai ketua komisi kebijakan Senat Mahasiswa fakultas dakwah dan
komunikasi, Kabid pengembangan minat dan bakat Dewan Eksekutif Mahasiswa FDK.
Kesehariannya banyak menghabiskan membaca buku dan menulis opini, essay dan
puisi. Sekarang sedang melanjutkan pendidikan ke jenjang magister Prodi
Interdisciplinary Islamic Studies (IIS) Konsentrasi Kajian Komunikasi dan
Masyarakat Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penulis dapat dikenal lebih jauh melalui
media sosial.
Alamat
sekarang : Gedongan RT 02/RW 04 Kel. Sinduadi Kec. Mlati , Kab. Sleman,
Yogyakarta
Instagram
: @al_azka26
Facebook
: Al
Whattshap
: 082349662600
Email
: ibnuazka00@gmail.com
Tidak ada komentar