Orang Madura Tanpa Toa dan Sound System, Apa Bisa?
Oleh: Panakajaya Hidayatullah
“Cek Sound: Parade 40 Sound, ‘Serasa Gempa Bumi’”,
begitu kira-kira caption video facebook yang diunggah dengan rasa
bangga oleh salah satu anggota komunitas pengajian di kampung saya. Berapa waktu
lalu, kebetulan kelurahan saya ditempati pengajian tersebut. Rumah saya
berjarak tiga kilometer dari tempat pengajian, tapi getaran bassnya itu lho bikin
saya was-was, apalagi kaca sekarang mahal harganya.
Suara yang menyaingi terompet sangkakala itu tak hanya
berasal dari sound milik panitia, tapi hasil kolaborasi sukarela dari
seluruh juragan sound system di lingkungan sekitar. “Supaya dapat
barokah mas”, begitu kata salah satu pemilik sound. Semakin kenceng sound-nya
mungkin semakin kenceng juga barokahnya. Tapi apa iya cuma masalah barokah?
Kemarin tentu kita paham dengan ribut-ribut soal toa
masjid, terutama berkaitan dengan toleransi dan kenyamanan warga. Tapi, apa
kamu tahu bahwa ada loh ternyata komunitas di bumi ini yang justru tak bisa
hidup tanpa kebisingan toa dan sound system.
Saya lahir dan besar di Situbondo, kota kecil di ujung
timur pulau Jawa dengan mayoritas masyarakat Madura Swasta. Telinga saya
sudah dijinakkan sejak kecil, kami anak-anak Madura sudah terbiasa hidup dengan
kepungan sound system yang meriah.
Jumlah masjid dan langgar di kampung saya buanyak
banget, bahkan setiap keluarga besar pasti punya langgar dengan sound
system andalannya. Toa itu tak hanya dibunyikan saat adzan, tapi
juga di waktu-waktu lain seperti pembacaan syi’ir berbahasa Madura
setelah adzan, suara santri yang terbata-bata berlatih mengaji di sore dan
malam hari, atau sekedar memutar lagu-lagu selawat dan hadrah di siang hari.
Tiap malam jumat manis, ada pembacaan khataman
yang diselingi dengan kirim-kirim salam kepada keluarga yang meninggal. Eh,
maksudnya begini, warga sekitar bisa memberi sumbangan kepada masjid untuk
menitipkan doa kepada para almarhum, dan list para almarhum itu dibacakan
lewat toa, persis seperti kirim salam lewat radio, bedanya bukan lagu
dangdut sebagai selingannya tapi ayat Qur’an.
Di bulan puasa, kamu bisa mendengar polifoni yang epik
dari kolaborasi suara toa seluruh kampung. Komposisinya tak kalah rumit
dari polifoninya Johan Sebastian Bach. Persaingan toa di kampung
itu tak hanya soal kualitas merdu atau tidaknya suara, benar atau tidaknya
tajwid, tapi juga seberapa gahar bunyinya dan seberapa lama durasinya.
Tak jauh dari masjid, biasanya juga ada stan siaran
amal. Mereka ini adalah warga desa yang sukarela membantu menarik amal di jalan
untuk pembangunan masjid. Siaran amal itu cukup menarik, karena si penyiar itu
ibarat penjual jamu di pasar, lihai dalam merayu pengendara jalanan.
Segala cara dilakukan seperti merayu dengan pantun,
bernyanyi dangdut, memberikan doa dan petuah, melantunkan selawat, story
telling, bahkan yang paling populer melawak sendiri seperti stand up
comedy. Siaran amal itu semacam radio jalanannya orang Madura.
Rumah mertua saya di salah satu desa pesisir Situbondo,
cukup strategis lokasinya. Selain dekat masjid, juga dekat tanah lapang yang
biasa dipakai warga bertanding voli dan kasti tiap sore. Untuk pertandingan
level kampung, sound system yang digunakan itu ngalah-ngalahi sound
system upacara tujuh belasan di alun-alun.
Apalagi kalau kedapatan bertanding dengan desa bebuyutan,
warga akan urunan menyewa sound bersusun-susun, bahkan
kalau pas musim panen dan musim ikan, tak segan-segan untuk nyewa biduan.
Menikmati sore hari di desa itu, tak seperti yang
digambarkan FTV. Alih-alih mendengar merdunya kicau burung dan suara gemericik
air di sungai, tapi hingar-bingar gado-gado bunyi dari sound system para
tetangga yang berebut eksis. Sound system itu seperti benda pusaka
yang wajib ada di rumah orang Madura. Kamu boleh tak punya sawah, tapi jangan
sampai tak punya sound system.
Peneliti musik Helene Bouvier butuh dua lembar halaman
untuk mendeskripsikan betapa intimnya orang Madura dengan sound system,
bahkan ia menyebut sound system bukan hanya alat pengeras suara tapi
juga alat yang melipat gandakan gengsi.
Saking hafalnya, saya bisa menebak-nebak sound
milik siapa yang berbunyi dominan hanya lewat lagu yang diputar. Macam-macam
seleranya, ada yang suka dangdut lawasan Rita Sugiarto, ada yang suka ketoprak
Rukun Karya, ada selawatan milik kyai Kholil, belakangan juga dangdut baru ala
cah Ngawi dan Jogja-nan
Puncaknya, intinya-inti dari keriuhan sound system
orang Madura itu berada pada ritus tradisinya. Parlo atau hajatan orang
Madura adalah peristiwa dimana sound system dihalalkan untuk dibunyikan
berhari-hari dan tentu saja level kenyaringannya bisa di dengar orang satu
kampung. Sound biasanya
dibunyikan sejak satu hari sebelum pesta pernikahan, ketika para tetangga
berkumpul dan membantu menyiapkan pelaksanaan pernikahan.
Pagi hingga sore biasanya diisi dengan memutar CD dangdut bajakan, dari artis nasional seperti Rhoma Irama, hingga yang lokal seperti Ira Faramesti, dan S Pandi. Malamnya, lepas Isya sampai menjelang azan Subuh, sound system secara nonstop menyiarkan siaran langsung mamaca (macapat Madura).
Esoknya, dari pagi hingga sore, sound system
akan menyiarkan live musik dangdut atau kalau pemilik hajat sedikit kaya,
ya mengundang tabbhuwan (ketoprak) dengan siaran gending-gending Madura.
Yang menarik, di sela-sela lagu atau gending, ada
peran vital tokang siar yang akan menyiarkan secara langsung jumlah
nominal sumbangan tamu satu persatu. Misalnya, “Bapak Haji Marlutfi dari
Kampung Langai, Desa Sumber Kolak, uang lima puluh ribu rupiah dan beras sepuluh
kilo, sumbangan anyar”. Siaran itu bersifat publik dan transparan, didengar
oleh seluruh warga desa.
Jadi, kalau kamu berharap makan murah di kondangan
orang Madura dengan menyelipkan lima ribu perak, bersiaplah untuk menanggung
malu seumur hidupmu, karena namamu akan diingat oleh orang sekampung. Tradisi
ini memang ada baik dan buruknya, tapi setidaknya siaran itu menunjukkan sikap
transparansi orang Madura, mereka memang tak suka dengan sesuatu yang
ditutup-tutupi.
Sound system dalam kehidupan masyarakat Madura memang tak bisa
disepelekan begitu saja. Ia tak hanya dimaknai secara mekanis sebagai pengeras
suara untuk keperluan informasi dan hiburan semata, tapi menjadi bagian penting
dalam praktik sosial orang Madura.
Jika dengan toa Mahfud Ikhwan bisa menghafal
lagu-lagu OM Sinar Kemala, Awara dan Soneta, dengan toa saya dan
orang-orang Madura sudah terbiasa menghafal berapa jumlah nominal sumbangan para
warga Desa, sangar to?
Tidak ada komentar