Hodo dan Perjalanan Bunyi; Sebuah Catatan
Oleh: Nafisah Misgiarti*
Hodo (ritual
pemanggil hujan dari Kabupaten Situbondo) jadi bagian penting dalam sejarah
hidup gadis 22 tahun itu. Seseorang menemukan dan menemaninya menempuh
perjalanan bunyi beramai-ramai.
Ini jauh dari
kebiasaan, sebab gadis muda itu biasa menempuh perjalanan sunyi seorang diri.
Menghadap layar monitor dari pagi hingga pagi, menelan duka dan bahagianya
benar-benar sendiri.
Temu
15 Maret 2022,
pertengahan bulan yang biasa-biasa saja waktu itu. Gadis sunyi dapat panggilan
untuk seleksi vokal, katanya.
Tapi,
yang seperti dunia ketahui sejak lama, ia terlalu takut dan selalu tenggelam
dalam rasa tidak percaya diri. Sebab, sejak suatu keributan terjadi, ia tak
pernah berani menyanyi lagi. Beruntungnya seseorang yang baik hati
menganggapnya mampu diajak mengikat diri untuk berproses bersama, mengabadikan
Hodo yang bahkan sangat baru di telinganya. “Hodo
itu apa?”
Dua hari setelah
malam itu, ternyata ada 5 orang lain yang juga merelakan diri untuk berproses
bersama. Orang-orang yang menyenangkan untuk disebut sebagai teman baru. Teman
bermain, teman tumbuh, dan tentu saja teman berproses.
Mengumpulkan Jejak untuk Dikenang
Terhitung sejak hari
itu, ada dunia baru yang menarik gadis sunyi untuk hanyut dan tenggelam dalam
keramaian. Bunyi-bunyi yang dulunya asing, kini begitu melekat di telinga.
Candaan renyah yang sudah jarang diterima, kembali menghangatkan suasana. Gadis
itu melebur dan tumbuh di ruang yang tepat, di waktu yang tepat pula. Hanya
empat pertemuan yang sederhana, tidak terlalu memaksa, dan tentu saja tidak
terlalu keras untuk sesuatu yang disebut proses.
Meditasi bersama
jadi bagian paling tenang sebelum proses terakhir yang ditempuh. Ya, duduk
melingkar bersama, meditasi di tengah lahan kosong berumput milik orang yang
entah siapa namanya. Cukup menenangkan, cukup menguatkan. Meditasi selesai,
lalu mereka dihadapkan langsung dengan gedung auditorium, 6 hari setelahnya.
***
6 Orang itu mencoba
membunuh kebosanan dengan bernyanyi yang tentu saja –pakai hati, di sepanjang
ruas jalan tol yang menghubungkan Probolinggo dan Surabaya. Di mobil
berkapasitas 13 orang itu, luka lama yang belum juga sembuh, dibalut dengan
lagu-lagu yang lumayan populer dan menggambarkan kisah patah hati pada umumnya.
Mereka coba meredakan luka bersama-sama, sebelum menghadapi pentas besar dengan
tiga juri di depan mata.
Gadis
sunyi itu kembali menikmati keramaian yang sudah sangat lama ia tinggalkan.
Puncaknya, ia
dipaksa mengabaikan gemetar hebat seperti aliran listrik yang menjalari sekujur
tubuhnya. Gadis sunyi menghadapi keramaian, sesuatu yang masih dan selalu
mengguncang kecemasannya. Tapi pada akhirnya, semua baik-baik saja. Dan akan
selalu begitu, sama seperti doanya.
Ketakutan menghadapi
banyak pasang mata teratasi dengan senyum sumringah 5 manusia luar biasa yang
menemaninya tumbuh bersama-sama. Di ruang besar bernama Gedung Cak Durasim itu,
28 Maret 2022.
Proses perjalanan
bunyi beramai-ramai dalam rangka memperkenalkan sekaligus mengabadikan Hodo itu
memang tak sampai 2 pekan. Cukup singkat, tapi sangat melekat untuk 6 orang
yang dengan sukarela mengikat diri bersama-sama.
Makna
Katanya, Hodo serupa
penyembuhan untuk alam semesta yang semakin kering dan manusia yang
terus-terusan merasa kurang. Kurang lahan industri, kurang ruang untuk rumah,
kurang uang untuk menghidupi idealisme yang mengakar di dalam hati.
Hodo jadi jelmaan
doa yang dipeluk bunyi-bunyi ribut, menjalari telinga banyak orang lewat siter,
kenong, rebana, dan alat musik lainnya. Katanya “semoga hujan melumat segala
keresahan, juga keserakahan.”
Hodo yang kembali
muncul dengan unsur magis di tengah terpaan zaman yang serba modern, mungkin
akan hilang ditelan waktu. Namun, 6 orang itu bersama-sama melestarikan.
Mengabadikan yang sejatinya tidak abadi.
***
Di sisi lain, Hodo
juga mengajarkan hidup yang menyerupai siklus air hujan, tapi kadang juga mirip
jalanan tak dikenal yang membuat banyak orang tersesat dan terasing kemudian.
Seseorang akan
bermanfaat, ketika mampu melepaskan luka dan kehancuran dalam dirinya yang
serupa kemarau berkepanjangan.
Maka muncul Hodo,
ritual pemanggilan hujan itu, sebagai penyembuh, juga sebagai cara untuk
meminta langit merelakan kedukaan dan
kehancuran agar kembali menghidupi alam semesta.
“Jangan
kering terlalu lama, jangan deras terlalu lama. Secukupnya saja, secukupnya
yang mencukupi alam semesta dan isinya.”
Selayaknya
iklim tropis di Indonesia, hujan dan kemarau mutlak adanya. Semua hanya
berputar mengikuti fase yang diciptakan pemiliknya. Hidup juga demikian,
bahagia dan duka adanya tak selamanya. Ia berjalan beriringan, bergantian.
Biodata Penulis
)* Lahir tepat pada perayaan hari Sumpah Pemuda tahun
1999. Gadis yang suka warna abu abu itu punya keinginan besar agar tulisan dan
suaranya sampai diterima banyak orang. Dia tak pernah berlari, apalagi
menghilang. Kalau kau merasa gadis itu sulit dicari, ia sedang asik menghidupi
kesunyiannya sendiri.
Tidak ada komentar