Ghu To Ghu dan Makna Perjalanan
Oleh:
Nafisah Misgiarti*
Menunggu,
barangkali menjadi sesuatu yang paling dihindari oleh orang-orang yang kurang
sabar. Tapi apa boleh buat, hidup manusia tidak terpisahkan dari yang namanya penantian.
Sejatinya, penantian tidak terlalu mencemaskan jika ujung cerita itu sudah
jelas dan pasti. Tapi, seperti yang kita semua tahu, yang pasti di dunia ini
hanyalah kematian dan ketidakpastian itu sendiri.
Bukankah
hidup yang sementara ini sebuah penantian untuk mati? Mungkin hal yang demikian
itu membuat kita, manusia, perlu menghidupi hidup dan menjadi bermakna di
dalamnya.
Ini
sama seperti yang dibawakan dalam komposisi
Ghu To Ghu, cerita soal masa-masa penantian panen yang lebih sering dibumbui
khawatir. Khawatir gagal panen, khawatir diserang hama, khawatir kebanjiran,
dan kekhawatiran lain dari lamanya menunggu.
Penantian
hingga masa panen tiba memang cukup kompleks. Ada hama tikus yang perlu
dibasmi, juga burung-burung yang menumpang makan sebentar tapi kalau tak
kunjung diusir, menghabiskan semua yang harusnya dipanen.
Lebih
dari itu, manusia yang berakal dan mampu berpikir jadi menghubungkan segalanya
pada satu Dzat –Tuhan.
Sejatinya,
petani dan burung-burung itu sama saja. Sama-sama menumpang pada pemilik yang
sebenarnya. Petani menumpang lahan Tuhan agar segala yang tumbuh dari tanah
jadi bermanfaat bagi semesta. Tapi, kalau berlebihan tak baik juga. Burung-burung
itu juga hanya menumpang makan dari lahan petani. Tapi kalau berlebihan, gagal
panen ujungnya.
Maka
ia berdoa biar manusia, tikus-tikus, dan burung-burung yang menumpang itu mengambil
haknya secukupnya saja, tanpa sifat rakus, tanpa merusak.
***
Komposisi
Ghu To Ghu agak berbeda dengan komposisi Ritual Hodo yang dibawakan sebelumnya.
Ghu To Ghu memanfaatkan limbah sebagai instrumen bunyi-bunyian. Sama seperti
salah satu pesan yang juga dibawakan, semoga limbah-limbah yang dimanfaatkan
dapat mengurangi keinginan manusia untuk menyampah. Sampah-sampah itu, yang (mungkin)
muncul dari sisa keserakahan.
Ali
Gardy dan Panaruca pertama kali memperkenalkan komposisi Ghu To Ghu di Solo,
Salatiga, dan Semarang pada akhir Mei lalu. Sedikit mengherankan,
memperkenalkan komposisi berbahasa Madura pada lingkungan dengan budaya dan
bahasa Jawa seutuhnya. Mungkin tak banyak yang mengerti, tapi (semoga) semuanya
menikmati.
Perjalanan
Perjalanan
ke tiga kota dengan awalan huruf S itu tidak hanya membuat mereka menikmati
ruang tunggu di dalam kendaraan, tapi juga membawa kejutan-kejutan tidak
terduga. Sepuluh orang yang menempuh perjalanan bersama, bahkan beberapa di
antaranya belum saling mengenal satu sama lain. Barangkali, butuh beberapa kali
pertemuan untuk mencapai keleluasaan dalam berbagi cerita, atau, sesederhanaan
senda gurau dan tegur sapa.
Solo
jadi kota pertama yang menyuguhkan kejutan. Dari pentas yang begitu tegang, penginapan
yang nyaman, juga dari hal sesederhana makanan. Pentas pertama di perjalanan kali
itu cukup memberikan tekanan. Wajar saja, sama seperti namanya “Bukan Musik
Biasa”, maka penontonnya pun bukan orang yang biasa saja. Orang-orang yang
memang sengaja dan terbiasa menyelami bunyi.
Selain
itu, rupanya kuah soto di Solo serupa kuah sop di Situbondo. Bening, tidak
terlalu asin dan berasa. Menurut orang-orang yang belum pernah makan nasi
liwet, mungkin itu hanya nasi yang dibumbui dengan santan dan dibakar dalam
bambu. Ternyata nasi liwet adalah nasi dengan sayur labu dan tambahan topping lain sesuai permintaan. Kejutan
sederhana untuk lidah warga Situbondo yang terbiasa dengan makanan-makanan
dengan rasa yang begitu kuat.
Hari
kedua sudah cukup menenangkan dengan pentas di pendopo tengah hutan, menikmati
Salatiga dari ketinggian sekian. Dilanjutkan dengan niat main di Kota Lama
Semarang, meskipun gagal karena harus berhadapan dengan jam kunjung yang sudah
berakhir dan diusir bapak-bapak berseragam dengan megaphone di tangan. Pertanda
diminta untuk datang kembali esok hari.
Dan,
perjalanan pentas itu berakhir di Semarang. Hari yang paling riuh daripada dua
hari sebelumnya. Euforia penikmat yang menghangatkan, juga menghidupkan
suasana.
Perjalanan
itu sekaligus merangkum pertemuan-pertemuan tidak terduga. Tenggelam dalam
dunia yang sangat baru dan terlalu mahal untuk ditinggalkan. Pertemuan dengan
orang-orang luar biasa yang merelakan waktunya untuk menghidupi ruang waktu
dengan instrumen-instrumen kebudayaan. Mencurahkan waktu dan tenaga tanpa
mengharap apa pun selain kelancaran. Yang demikian itu, memang masih ada.
Merelakan
waktu, boleh jadi salah satu wujud cinta. Kita semua tahu, waktu tidak akan
pernah bisa diminta kembali ketika telah diberikan secara cuma-cuma. Jika
disedekahkan, waktu, mungkin kembalinya tak pernah dalam wujud yang sama. Tidak
ada extra time. Sebab, ia mengubah
wujudnya jadi kenangan. Mungkin ini juga berlaku untuk orang-orang yang
merelakan waktunya untuk menunggu, sama seperti kegiatan ‘Ghu To Ghu’. Sawah
itu, tumbuh-tumbuhan itu, yang dicintai empunya.
Biodata Penulis
)*
Lahir tepat pada perayaan hari Sumpah Pemuda tahun 1999. Gadis yang suka warna
abu abu itu punya keinginan besar agar tulisan dan suaranya sampai diterima
banyak orang. Dia tak pernah berlari, apalagi menghilang. Kalau kau merasa
gadis itu sulit dicari, ia sedang asik menghidupi kesunyiannya sendiri.
Saya suka tulisannya.saya dari jember.merantau di bali.perkenalkan saya Koesbilindo
BalasHapus