Cerpen: Penghiburan Kosong
Oleh: Robbyan Abel Ramdhon
Jargen tiba di kantor polisi sebelum pukul sepuluh pagi. Dia menyebut nama istrinya kepada polisi yang sedang bertugas.
“Tidak
ada tahanan atau orang yang ditemukan dengan nama seperti itu,” kata polisi.
Dia
masuk ke cafe seberang kantor polisi, lalu duduk di kursi samping jendela yang
menghadap ke jalan. Jargen belum tidur sejak kemarin sore. Kepalanya yang pening disandarkan ke kaca
jendela di sampingnya.
Pelayan
datang dan menanyakan apakah Jargen akan memesan atau tidak. Wajah pelayan itu
manis sekali, perempuan berusia sekitar dua puluh tahun dengan tahilalat kecil
di sudut bibirnya yang tipis. Melihat wajah muda pelayan itu, Jargen teringat
masa lalu, ketika dia bertemu istrinya yang masih mahasiswa bekerja paruh waktu
sebagai kasir tempat pemandian air panas.
“Matcha latte.”
Pelayan
itu mengerti. Namun seakan teringat sesuatu, ia bertanya kepada Jargen:
“Panas?”
“Panas.”
Dengan
kesopanan yang ragu-ragu, pelayan itu kembali ke bar dan melaporkan pesanan Jargen kepada barista. Ia
memang tampak baru sebagai pelayan, bahkan caranya berjalan sedikit aneh.
Mungkin karena kakinya panjang sebelah, pikir Jargen setelah memperhatikan kedua kaki pelayan itu
memang timpang.
Jargen
kembali bersandar ke kaca jendela. Pandangannya tetap diarahkan ke kantor
polisi yang ada di seberang.
Kemarin
sore, sebelum dia dan istrinya berangkat bekerja, sempat timbul perkelahian
kecil di antara mereka.
“Kau
meminjam pisauku tanpa izin!” bentak istrinya, ketika Jargen hendak membuka
gagang pintu.
Jargen
mengernyit tanpa menoleh.
“Setidaknya
kau harus bertanya dulu sebelum meminjamnya, maka akan kuberitahu cara
menggunakan pisauku tanpa meninggalkan bau amis.”
“Kau
mengoleskan lemon pada badan pisaumu, kan?” tanya Jargen.
Tanpa
berkata-kata lagi,
Jargen lantas pergi. Bayangannya memanjang ke belakang dan menyentuh kaki
istrinya yang masih berdiri di belakang pintu. Itulah saat terakhir Jargen
melihat istrinya.
Biasanya,
istrinya selalu menyelesaikan pekerjaan sebelum pukul sebelas malam. Dan ia pun
pernah berpesan jika suatu saat ia belum kembali setelah pukul sebelas malam,
Jargen harus segera mencarinya.
Jargen
nyaris melupakaan pesan itu, dan dia tak menyangka istrinya justru menghilang saat hasratnya ingin
bercinta memuncak. Padahal kemarin dia tidak membunuh lebih dari tiga
orang, namun tubuhnya terasa letih dan perlu dilonggarkan. Masalahnya, Jargen tak pernah bercinta dengan orang
lain kecuali istrinya. Entah kenapa, hasrat berkelana itu lenyap secara aneh
setelah menikah.
“Matcha
latte. Panas.”
Pelayan
itu meletakkan cangkir di meja seraya menyebutkan nama minuman pesanan Jargen,
masih dengan air muka yang
sarat hati-hati.
“Duduklah.
Temani aku mengobrol,” kata Jargen. “Lagi pula sedang sepi, kan?”
Perempuan
itu duduk di hadapan Jargen. Mereka dibatasi meja bulat yang tidak serasi
dengan konsep sofa pasangannya. Saat menarik rambutnya ke belakang, terlihat
ada dua bintang menggantung di telinga kanan perempuan itu.
“Kamu
suka
malam, ya?” tanya Jargen. Perempuan itu tidak menjawab, ia cuma mengangguk
sedikit. Sedikit sekali sampai-sampai Jargen tidak merasa itu jawaban yang
berarti ‘ya’. “Anting itu tidak cocok untukmu.”
“Aku
tidak terlalu suka
bintang, sih,” jawab perempuan itu.
Suaranya
hampir tidak terdengar, seolah ia telah mengganti suaranya dengan suara lain
yang berbeda dengan yang digunakannya saat menjadi pelayan.
“Aku
tidak suka bintang,
sebetulnya,” katanya, mengulang jawaban.
Kali
ini suaranya selangkah lebih terdengar dari sebelumnya. Meski tetap tidak
menutup fakta bahwa suaranya masih tertelan musik yang berputar melalui speaker di sudut-sudut cafe.
Musik
yang sedang berputar adalah Feels like we
only go backwards milik Tame Impala.
“Namamu
Viola?” Jargen membaca tanda nama yang terpasang di dada kiri perempuan itu.
“Tapi
teman-temanku malah memanggilku Violet, terkadang Olet. Tanpa ‘v’.”
Perempuan
bernama Viola itu mengangkat tangan kanannya dan membuat huruf ‘v’ menggunakan
jari telunjuk dan tengahnya.
“Kau
lebih suka aku memanggilmu dengan yang mana?”
Perempuan
itu mencondongkan badannya ke depan, sampai ke tengah meja. Begitu juga dengan
Jargen yang mendekatkan
telinganya.
“Aku
tidak suka dipanggil Viola, Violet, atau Olet. Dan,” perempuan itu berhenti
sebentar, udara lembut keluar dari bibirnya, menyentuh daun telinga Jargen.
“Aku juga tidak suka dipanggil olehmu, Tuan.”
Jargen
nyaris tersentak, tapi dia bisa mengendalikan tubuhnya supaya tidak sampai pada
reaksi yang menunjukkan keterkejutan yang berlebihan. Meski tetap saja, dia tidak bisa menahan seringainya
di hadapan perempuan itu.
“Aku
bercanda, Tuan,” kata perempuan itu. “Kau boleh memanggilku dengan yang mana
saja. Aku juga tidak keberatan kalau kau memberikanku nama baru.”
Jargen
mengangguk lega. Sebenarnya dia ingin memperlihatkan ekspresi yang lebih dari
sekadar mengangguk dan tersenyum, tapi kepalanya sedang terasa berat hingga tidak mampu memperlihatkan
terlalu banyak reaksi macam-macam.
“Bagaimana
kalau aku memanggilmu Regina?”
“Tidak
terdengar buruk.” Perempuan itu menggigit bibirnya, dan wajahnya sedikit
mengkerut. “Kalau tidak salah ingat, semalam seorang wanita bernama Regina juga
datang ke sini. Duduknya persis di tempat Tuan sekarang. Kau mengenalnya?”
“Malam?”
“Sekitar
pukul sepuluh kurang. Dia memesan lemon dingin. Aku ingat karena wajahnya
cantik untuk ukuran wanita berusia sekitar tiga puluhan, rambutnya sedikit
memutih terlalu cepat.”
“Dia
mengajakmu mengobrol juga?”
“Dia
mengajakku mengobrol juga. Aku punya cukup waktu karena tidak sedang bekerja. Malam itu aku baru saja
menyelesaikan tugas kuliah.”
“Apa
yang dia bicarakan?”
“Sejujurnya,
meski dia orang yang kelihatannya baik dari upayanya mengajakku mengobrol,
wanita itu lumayan aneh juga. Dia bercerita malam itu dirinya baru saja
membunuh seorang pria tua. Lalu memberikan deskripsi sekenanya tentang
bagaimana pria itu memberikan perlawanan meski sudah tua, karena pria itu
kebetulan seorang pensiunan militer.”
“Pertarungannya dengan pria itu
menghabiskan banyak tenaga dan karena itu dia beristirahat sebentar di sini,
katanya. Tapi tentu saja aku tak percaya, mulutnya bau alkohol. Paling dia
sedang mabuk dan berkhayal. Mungkin karena itu juga dia pesan lemon, untuk
menghilangkan bau alkohol di mulutnya.”
Mendengarkan
perempuan itu bercerita, Jargen nyaris tak menyadari suara perempuan itu sudah
menjadi lebih umum dengan tingkat volume yang bisa terdengar jelas. “Sejak
kapan ia mulai meninggikan suaranya?” batin Jargen. Tetapi Jargen tidak
menanyakan itu, dia menyimpannya sendiri di kepalanya. Jargen pun tidak
memberitahu perempuan itu kalau wanita bernama Regina semalam adalah istri yang
sedang dicarinya. Dia juga menyimpan sendiri informasi itu di kepalanya. “Memangnya siapa lagi perempuan bernama Regina yang
pekerjaannya membunuh?” pikir Jargen.
“Kamu
lucu sekali, cara bicaramu lincah dan punya daya ledak yang hebat,” kata
Jargen. “Berapa usiamu?”
“Dua
puluh, Tuan.”
“Berarti
aku lebih tua lima belas tahun.”
“Kelihatannya
begitu.”
Keduanya
tertawa bersamaan, tawa yang terlepas agak berlebihan, padahal mereka
tahu, tidak ada yang terlalu lucu dari kenyataan yang barusan mereka bagikan.
“Kamu
kerja paruh waktu?” tanya Jargen.
Perempuan
itu mengangguk, kali ini anggukannya lebih tegas dan terukur. “Aku mulai
bekerja pukul delapan pagi, dan selesai pukul dua belas siang nanti. Kurang
sebentar lagi. Tetapi
biasanya aku menghabiskan waktu lebih lama di sini, bisa sampai seharian. Di
sini rasanya lebih menyenangkan. Orang-orang yang berlalu-lalang di luar adalah
pemandangan yang bagus bagiku.”
“Tadi kau bilang, kau seorang mahasiswa, ya?”
“Itulah
yang membuatku bekerja paruh waktu. Cita-citaku tinggi, dan untuk mencapainya
tentu butuh biaya banyak. Walau tugas-tugas kuliah kadang bikin aku suntuk.”
Jargen diam sebentar, menengok ke kantor
polisi di seberang. Awan gelap berarak dari kejauhan, bersiap memayungi
tempat-tempat yang akan dilaluinya. “Kenapa hari begini sepi?” batin Jargen.
“Kau
mau melakukan apa pun asalkan dapat uang? Asalkan bisa kejar cita-citamu?”
tanya Jargen tanpa melihat perempuan itu.
Perempuan
itu menoleh ke arah Jargen memandang. Tapi ia tidak menemukan titik di mana
pandangan Jargen berhenti. “Apa pun, sejauh aku bisa melakukannya,” kata
perempuan itu.
“Aku
belum tidur sejak kemarin sore, tubuhku terasa mengeras dan kepalaku berat
sekali. Kau bisa pijat?”
“Aku
tidak yakin.”
“Apa
kau mau coba melakukannya? Aku akan memberimu uang. Mungkin tidak lebih banyak
dari gaji bulananmu di sini, tapi itu mestinya cukup, kan? Bagaimana? Aku tidak akan macam-macam, lagi pula ini adalah
pertama kalinya aku meminta orang asing melakukan ini untukku.”
Mereka
berbicara tanpa saling menatap. Pandangan keduanya tertuju pada sesuatu di
balik kaca jendela, sesuatu entah apa. “Aku punya kamar di sebuah rumah susun,
gedung rumah susun itu ramai sekali, tidak nyaman untuk melakukan pemijatan.
Tapi aku tetap tinggal di sana karena biayanya murah dan dekat dari kampusku.”
“Sebentar, biar kuartikan, kau mau memijatku
asalkan aku menyewa kamar di sebuah hotel yang tenang dan nyaman? Begitukah
maksudmu?”
“Apa
kau tidak punya rumah?”
Di
luar gerimis mulai turun dengan bentuk menyerupai jarum jahit. Langit begitu
mendung namun terasa pas dengan lagu-lagu Tame Impala yang menyelimuti
seisi cafe. Jarum-jarum yang menghujam dari langit itu kembali mengingatkan
Jargen kepada istrinya, pada benda-benda tajam yang akrab dengan mereka.
Kepala Jargen semakin terasa berat mengingat semua itu. Seolah-olah hujan akan bermuara ke kepalanya.
“Akan
aku bangunkan setelah waktu kerjaku selesai,” kata perempuan itu.
Jargen
terlelap dengan kepala bersandar ke kaca jendela. Ia bahkan belum sempat menyesap matcha latte yang dipesannya.***
Tentang Penulis:
Robbyan
Abel Ramdhon, aktif
menulis sastra dan bekerja sebagai jurnalis. Turut bergiat di Komunitas
Akarpohon Mataram. Media Sosial: Robbyan Abel R (Facebook)
/ @Robbyan.abel (Instagram).
ILUSTRATOR
Alexong, Situbondo, 09
September 1999. Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni
Rupa. Bahagia membaca, menulis, melukis, dan bejualan buku di Instagram
@mellebuku. Ia dapat dihubungi melalui akun Instagram @alex.ong1999.
Tidak ada komentar