Cerpen: Nyallai Siwok
Oleh:
Kemarin, utusan dari Pekon[1] Way Nipah datang demi melihat bocah pembawa kutukan. Sejujurnya Ron malah tak percaya. Entah ia percaya tentang ramalan itu atau tidak, tetapi Daff seolah dalam bahaya. Maka dini hari itu ia buru-buru datang ke rumahku. Mengajakku serta menuju pelabuhan. Mengejar waktu menuju pulau pelarian. Sumatra.
Daff baru saja menelepon. Menanyakan
perempuan dalam mimpi yang sama sekali tak dikenalnya. Di video call, dia paling sering memamerkan lurik biji karet dengan
motif paling unik kepadamu. Menanyakan apakah singkong bisa dibuat keju. Juga
menanyakan kenapa bola matanya berbeda dengan teman-temannya dan berwarna biru.
Tetapi dia paling senang datang ke tempat hajatan saat Nyallai Siwok[2]
digelar. Ketika para tetua Saibatin[3]
berkumpul dan para Peratin[4]
menyumbang doa. Sebagai indai[5]
Ron pernah memberiku sangrai ketan yang
manis itu ke mulutku.
Di tepi laut, ada satu aroma tanpa nama
yang membuatmu rindu. Seakan membawa tubuhmu kembali dalam
percakapan-percakapan paling jujur yang pernah kalian ikrarkan. Jika
kapal-kapal itu adalah tubuh para lelaki, maka pantai adalah dirinya. Tempatmu
kembali di mana angin adalah peranti bicara menuju hatinya. Hanya kau
satu-satunya kapal yang diizinkan berlabuh kala itu. Kepada banyak wanita, dulu kau memang laki-laki paling gombal. Tetapi perlahan
dengan kehadiran Daff, kau mulai berubah. Berjanji mencintai satu wanita
sepanjang hidupmu.
Ketika gerak satu detik telah mengubah
hitungan hari di atas kapal, samar di sana kerlip lampu di tepian Bakauheni
terus saja memanggul siger tanpa kepayahan. Seakan melambaikan tangan. Merayu
mengajakmu berkencan. Ini musim basah paling awal. Angin berembus lebih kencang
dan laut selalu kelaparan. Berhasrat melahap kapal-kapal dan seisinya dalam
debur ombak yang susah dikendalikan. Pun, seolah ingin mengabarkan bahaya. Lalu
menelan senyum manis Daff yang selalu menggantung dalam kepala dan membuatmu
cepat-cepat ingin ke sana.
Ron bertanya padaku apa yang harus
dilakukannya. Anakku saja dibawa kabur istri pertama. Keperjakaanku hilang di
umur dua lima saat kekasihku menjebakku. Sebagai lelaki normal, aku tak
menampik sebuah kenikmatan. Namun kemudian, ia malah pergi begitu saja dengan
lelaki pilihannya yang blasteran Eropa. Dia bilang barang pribumi jelek. Kecil
dan pendek. Saat itu aku baru sadar jika ‘punyaku’ hanya sebagai bahan
percobaan. Terkait hal itu tak mungkin pula kuceritakan kaitan sejarah dan
teori genetika pada Ron. Itu terlalu rumit untuk dicerna. Penjajah sudah pergi
ratusan tahun lalu setelah kebun karet, kopi, dan sawit di Pesisir Barat dan
Tanggamus telah mereka kuasai. Entah kenapa ada darah indo mengalir dalam
tubuhnya, dalam tubuh Daff. Satu hal yang belum pernah terjadi di tanah Way
Nipah.
Duduk di sampingku, perlahan Ron seolah
ingat sesuatu. Mencoba membuka lembar-lembar kenangan jika kehadiran Daff
seolah kutukan masa lalu. Mengingat wajah perempuan yang pernah dikecewakannya.
Maka malam itu, sepanjang perjalanan menuju Rajabasa, ketika kerlip lampu di
pinggir jalan terus saja berlarian melawan arah, ia banyak bercerita padaku.
Tentang mimpi-mimpi yang sama dengan Daff. Seorang perempuan yang mirip hantu
yang sering datang masuk dalam pikirannya. Seolah membawa sebuah dendam yang
membawanya dalam petaka.
Dulu sekali, waktu kami sama-sama masih
bujang dan jarak kebebasan serta kesepian hanya berjarak satu perawan, Ron
pernah memamerkan satu benda kepadaku. Kami memang senang bertualang. Ke mana
pun, kami akan mengikuti kaki membawa melangkah. Malam itu ia memperlihatkan
bungkusan kain mori dalam tasnya. Membukanya. Seikat rambut berwarna cokelat
keemasan yang aku tak tahu itu untuk apa.
Selama ini Ron sudah biasa bermain dengan
banyak wanita. Entah kenapa saat kami berkeliling menjelajah pelosok negeri, ada
saja perempuan yang tergila-gila padanya. Dari gadis Sunda, Jawa, Batak, hingga
Madura. Terakhir, ia punya pacar keturunan Cina-Melayu. Setelah memamerkan
rambut itu, perlahan aku mulai paham. Rambut itu ia bawa dari pulau Sumatra.
Setelah dimantrai dan dicelupkan ke dalam rendaman air kembang setaman[6], dan airnya ia minum, ia percaya itu
adalah azimat pemikat yang akan tertanam di dalam tubuhnya.
“Sejak kapan kau seperti ini?”
Ia tak menjawab. Ia hanya yakin jika yang
dilakukannya adalah pelampiasan dendam masa lalu. Ia terlalu sering dikecewakan
banyak wanita. Fisiknya yang tak sempurna dengan hanya punya sebelah telinga,
membuat cintanya memang selalu berat sebelah. Bagaimana mungkin laki-laki
berwajah alien bisa mendapatkan cinta sejati di bumi ini? Maka malam itu, ia
datang ke pulau Sumatra bersamaku. Mencari makam tua sesuai dalam mimpinya. Aku
saat itu hanya mengantarnya saja. Sebagai karib yang sudah seperti saudara, aku
tak kuasa menolaknya. Sebenarnya aku takut jika mantra pemikat itu salah
sasaran dan bisa pula memikat hati pria. Jijik juga jika tiba-tiba aku bisa
jatuh cinta padanya.
“Terong makan terong. Bercanda kamu?” Ron
terbahak mendengar penjelasanku.
Sejatinya ada kekhawatiran jika perbuatan
terlarang kami dilihat oleh warga. Apalagi kami melakukannya di kuburan orang
Belanda, bukan makam orang pribumi. Kami seperti seorang pencuri. Namun, Ron
meyakinkan. Ia sudah mempersiapkannya dengan sangat hati-hati dan terencana.
Bahkan ia telah meminta mantra sirep kepada
seseorang untuk menidurkan penjaga dan warga di area pemakaman. Setelah
kemenyan dibakar dekat makam, dan mantra-mantra yang aku tak paham telah ia
lantunkan, tiba-tiba aku ikut pula terserang kantuk. Tak sengaja bersandar pada
sebuah batu granit besar di atas makam dengan epitaf yang aku tak paham
maknanya. Namun, ada huruf latin tertulis Van Bram di sana. Sebuah tahun wafat
1907 tak sengaja aku lihat.
Dini hari itu, ketika ia berhasil
mengambil beberapa helai rambut lalu dimasukkan ke dalam kain mori bercampur
tanah merah, semuanya ia kembalikan seperti posisi semula. Rumput-rumput dan
gumpalan tanah ia rapikan kembali. Batu granit besar di atasnya ia bersihkan.
Semua perbuatannya seolah tak berbekas sama sekali. Ia masukkan benda tadi ke
dalam sakunya. Aku tiba-tiba terbangun dan melihat Ron tersenyum tanpa tahu apa
yang telah ia lakukan.
“Ayo pulang.”
“Dendamku hampir tuntas.”
“Belajarlah melupakan.”
“Hanya aku yang mengerti perasaanku. Sudah, bawakan cangkulnya.”
***
Hari itu, ketika para keluarga
berdatangan, sehari setelah acara Nyallai
Siwok digelar, aku melihat Ron begitu gagah dengan pakaian khas Lampung.
Mahkota emas terpanggul di kepala dengan pakaian kuning menyala. Ia tersenyum
ke arahku yang duduk di kursi para tamu persis di depannya. Istrinya pun begitu
anggun memanggul siger. Begitu serasi. Begitu menawan. Aku tak tahu apa yang
harus kukatakan ketika tiba-tiba air mataku keluar.
“Kukira aku tak akan pernah menemukan
cinta sejati. Setelah ini, aku ingin mencintai satu wanita sepanjang hidupku.
Seperti saranmu. Aku ingin kau juga menyusulku. Melihatmu memakai blangkon[7]
dan baju beskap lalu duduk di pelaminan.
Aku kangen bakpia dan gudeg Jogja,” ia berbisik di depanku di antara riuh para
tamu.
Aku percaya, Ron yang sekarang berbeda.
Ia berusaha memperbaiki dan menebus kenakalan masa lalunya. Maka, setahun
berlalu lalu Daff lahir ke dunia, ada kenangan lalu yang tiba-tiba muncul dalam
ingatanku. Daff lahir dengan rambut cokelat emas, kulit putih kemerahan, dan
bola mata berwarna biru. Namun, bukan hanya itu masalahnya. Istri Ron pergi
tepat saat Daff datang ke dunia. Malaikat keburu menjemputnya saat pendarahan
dari rahimnya tak kunjung berhenti. Suatu pukulan yang berat bagi Ron saat itu.
Tetapi, sekali lagi, sebagai indai
aku terus mendukungnya.
“Tak ada kematian yang sia-sia. Istrimu
pergi dalam jalan yang diberkati.”
Di pemakamannya, Ron terus berpegangan
pada pundakku. Deret huruf di epitaf yang menuliskan nama indah istri Ron,
seaakan mengatakan pada kami bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Mata Ron
begitu kuyu. Wajahnya sendu. Tak banyak yang bisa ia lakukan selain lelehan
bening yang terus keluar dari ujung matanya.
***
Hari ini, wajah Ron begitu ketakutan.
Terbayang wajah Daff dalam bahaya yang mengancam. Perlahan ia ingat apa yang pernah
dilakukannya dulu. Sekarang ia memercayaiku. Semua perbuatan punya timbal
balik. Apa yang kita tanam, suatu hari nanti bakal berbuah dan akan kita petik.
“Kenapa Daff?”
Sampai di terminal Rajabasa, ia terus
menarik lenganku. Bergegas turun dari bangku di sebelah sopir, setengah berlari
dan berusaha menyusul bus jurusan Kota Agung yang segera berangkat pergi. Mata
Ron berkaca-kaca. Entah apa yang dipikirkannya. Tak sepatah kata pun ia mau
cerita.
Di tempat neneknya, di mana Daff
dititipkan setelah istrinya meninggal agar Ron bisa bekerja di Jakarta, sedang
ada acara Nyallai Siwok. Daff begitu
suka sangrai ketan yang manis itu sama sepertiku. Perlahan aku paham maksud
perkataan Ron.
“Adikku, paman Daff juga gila wanita.
Sama sepertiku dulu. Jika bukan karena kau, sampai kapan pun aku tak akan
pernah berhenti. Dan kau tahu, Daff lahir seperti sebuah kutukan masa lalu pada
banyak wanita yang telah kupermainkan. Kau lihat bukan, Daff bukan seperti
orang pribumi. Dia terlahir albino. Semua tulang dan rambutnya begitu berharga.
Satu wabah telah menjangkiti orang-orang di Way Nipah. Demam tinggi, hilang
indra rasa dan penciuman, enggan makan, dan esok hari mereka tinggal nama saja.
Seperti ramalan leluhur Peratin,
kelahiran Daff adalah kutukan di tanah kami. Ia harus dikorbankan demi
menghilangkan wabah itu. Tepat ketika acara Nyallai
Siwok digelar. Sekali lagi, Daff saat ini dalam bahaya. Kau tahu maksudku
bukan?”
Aku tak pernah melihat tubuh Ron selayu
ini. Sebagai indai, aku hanya bisa
memijit-mijit pundaknya agar ia mau berbagi kegelisahannya. Maka, di dalam
kursi bus paling depan, aku melihat bibirnya lemah menggetarkan sebuah nama.
Nama yang begitu kukenal. Nama yang pernah menemaninya duduk di kursi
pelaminan.
Sebagai indai, aku memang terlihat manis di depan. Semanis sangrai ketan Nyallai Siwok. Ron tak pernah tahu jika diam-diam aku pernah bertaruh. Di dalam dadaku telah tertanam rajah Kalacakra pemberian Eyangku di Jogja. Demi membuktikan lebih kuat mana antara milikku dan milik Ron, dulu aku pernah bercinta dengan istrinya. Maka, ketika aku menyadari jika akulah yang penyebab kekacauan itu, aku menunduk, melantunkan sebuah nama yang terdengar dalam hati saja. Dan Daff, adalah jawaban pertaruhan itu.
“Rhien, maafkan saya.”
Keterangan:
[1] Pekon: sebutan yang masih satu
tingkat dengan desa di provinsi Lampung
[2] Nyallai Siwok: acara memasak
sangrai ketan ketika ada hajatan pernikahan
[3] Saibatin: sebutan salah satu suku
di Lampung
[4] Peratin: kepala atau pemimpin
Pekon
[5] Indai: sahabat karib
[6] Kembang setaman: kumpulan bunga
mawar, melati, kantil, kenanga, dan daun pandan
[7] Blangkon: tutup kepala dari kain
batik
Biodata Penulis
Dody Widianto lahir di Surabaya. Pegiat
literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media
massa nasional seperti Koran Tempo,
Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo,
Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat
Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Fajar
Makassar, Rakyat Sultra, dll. Akun IG: @pa_lurah.
ILUSTRATOR
Alexong, Situbondo, 09 September 1999. Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni Rupa. Bahagia membaca, menulis, melukis, dan bejualan buku di Instagram @mellebuku. Ia dapat dihubungi melalui akun Instagram @alex.ong1999.
Tidak ada komentar