Puisi-puisi Jamaludin GmSas
Puntung
Telah berserakan
puntung-puntung rokok di
setiap sisi rumah
yang dulu sepi tak ada isi,
tapi sekarang ribut
bertabur puisi.
“Ada yang tahu siapa
yang merokok semalaman
dan dibiarkan abu
lelatu beterbangan?”
Semua serentak
menggelengkan
kepala dan takut
untuk berkata iya.
Seperti ada hidup
yang dikhawatirkan
atau mungkin
dibimbangkan tersebab
luka dada yang tak
semua bisa terwakilkan kata.
Di sekitar
lingkungan asbak
adalah wadah puntung
juga.
Dan di sekitar
lingkungan puisi
adalah wadah juga
untuk menampung
segala bentuk nyeri
yang tak terdefinisi.
Baru aku berani
menjawab pertanyaan waktu,
“Aku yang merokok
semalaman, membuang
puntung demi puntung
hidup yang sudah kulewatkan
dengan api-api puisi
yang kuselawatkan.
Memang ada yang
terlewatkan, tapi tetap kumuntahkan.”
“Bukan di asbak,
tapi masih
di lingkungan asbak
dan sekitarnya,”
lanjutku sambil
membiarkan puntung
dan abu berserakan
di dalam rumah
yang tak kusapu
karena entah.
Al-Ikhsan, 2020
Asbak
Setiap menghisap
masa lalu,
namamu menyala
seperti lelatu,
mengikis habis
seluruh waktu
—menjadi abu;
menjadi bisu.
Sepertinya harapan
lahir dari
sebungkus rokok
gudang garam
yang kapan waktu
akan tenggelam
bersama puntung-puntung
kenangan.
Al Ikhsan, 2022
Tragedi
Perokok
Kuambil sebungus
rokok itu dari saku.
Ternyata hanya
tersisa satu batang
dan sebentar lagi
hidupku akan malang.
Kunyalakan,
kukebul-kebul, dan mulutku
seperti ada yang
tidak beres.
Rokokku terasa
hambar
dan kepalaku
tiba-tiba nanar.
Tubuhku ambruk ke
dalam
bungkus rokok yang
sudah lengang
dan tertidur panjang
di kegelapan.
Bangun-bangun aku
kebingungan,
melihat bapak-ibuku
gotong royong
membawa satu persatu
rokok
ke dalam ruangan di
mana aku pingsan.
"Bu, Bapak kan
sedang sakit?"
"Bapak akan
lebih sakit
bila melihatmu pucat
gara-gara
melarat."
Al Ikhsan, 2021
Memeram
Buah di Kepala
Tak hanya diperam di
dalam keranjang,
aku masukan juga
karbit-karbit doa ke dalamnya,
supaya lekas matang
kesepianku
dan cepat kaumakan
tanpa rasa ragu.
"Makanlah!
Jangan kausisakan kesepian ini.
Jangan kausia-siakan
usahaku selama ini."
Kemudian lalat-lalat
buah itu datang
dan mengoyak tubuh
busukku
dan menambah luka-lukaku.
"Ternyata tak
ada yang sudi
memakan kesepian
yang telah kuperam,"
desahku sambil
melihat lalat-lalat
bertaburan di kepala.
Kesepian membusuk.
Aku pun ambruk.
Al Ikhsan, 2021
Selenophile
"Padamkan
matanya,
sepadam hati yang tengah
terluka!"
Namun, mata tetap
menyala,
bersitatap dengan
suara-suara.
Kesunyian
berdenting,
darinya segalanya
menjadi nyaring.
Malam ini ia ingin
didengar,
walau hanya oleh
bulan.
Al Ikhsan, 2022
Bionarasi
Ilustrator
Tidak ada komentar