Wahana Trampolin, Catatan Pameran Exposition
Lewat sebuah pesan WhatsApp, seorang teman mengirim
katalog elektronik sebuah pameran seni rupa. “Plis!!!” katanya dengan tiga
tanda seru. Saya mendesis seperti ular, bukan karena kesal. Melainkan karena
senang, merasa lebih berguna sebagai mahasiswa tingkat akhir Seni Rupa yang
berminat lulus tapi enggan mengerjakan skripsi. Dan untuk itu saya menulis ini.
***
Jika
Anda sedang lewat di Jalan A. Yani, Singaraja, tepat di salah satu sudut simpang
empat di sana, ada sebuah bangunan lantai tiga yang membekap pohon kamboja muda
di tengah halamannya. Itulah gedung Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha. Di
antara tanggal 09 sampai 30 (kecuali akhir pekan) Januari 2023, sebuah pameran seni
rupa sedang berlangsung di salah satu gedung, tepatnya di lantai dua, Galeri
Padukarsa.
“Exposition”
adalah tema besar dalam pameran tersebut, berasal dari bahasa latin “exponere”
yang diartikan oleh kurator muda Vincent Candra dalam esai pendamping
pameran Melihat Karya-Karya Terkini Mahasiswa Seni Rupa Undiksha,
sebagai wahana trampolin bagi peserta pameran untuk memarken karya.
Sekedar
tambahan, bahwa pameran yang diadakan sekelompok mahasiswa semester tujuh yang
menyebut diri sebagai “Artmostfier 19” bukan kali pertama. Pendahulunya, “Seruang
18” juga melakukan hal serupa di tahun sebelumnya. Sebab, setiap mahasiswa
Pendidikan Seni Rupa Undiksha saat memasuki semester tujuh (kecuali yang
membelot) pasti mencecap mata kuliah Studi Khusus (TA, dalam bahasa mereka) dan
Menejemen Pameran. Puncaknya adalah pameran kelompok seperti yang sedang saya
bicarakan ini.
Pameran
ini diikuti 20 mahasiswa dengan konsentrasi karya yang beragam. Agar tidak
bosan membaca deretan nama seperti mendengar daftar panjang pembagian sembako,
saya sertakan link katalog yang dapat diunduh berikut ini: https://linktr.ee/Artmostfier19
***
Ya,
terimakasih Anda telah membaca dan melihat karya-karya seni rupa beserta nama-nama
senimannya dalam katalog di atas. Tentu setiap mata yang melihat karya dalam
katalog tersebut bakal mempunyai ketertarikan berbeda.
Bagi
mereka yang merindukan putihnya pasir pantai Mandalika, bakal bertamasya dengan
karya intermedia Novi Erliana. Bagi mereka yang menyukai karya seni menyejarah,
bakal menangkap getir masyarakat bawah dalam torehan daun lontar I Putu Susila
Adnyana.
Namun,
mereka yang lebih senang menikmati hasil seni karya seni rupa yang dibuat dengan
bantuan teknologi, tentu bakal merasa dekat dengan karya I Putu Angga Pratama
dan Udis Suandi. Bagi mereka yang senang melihat dan merasakan permukkan kayu
yang membentuk pola, bakal merasakan keseriusan sekaligus kehati-hatian pada
karya Putu Tri Janu Budi Utama dan I Gede Suardika.
Bagi
mereka yang gemas dengan aroma dan lembut lempung, bakal merasakan cekung
permukaan keramik yang membentuk bunga-bunga karya Bilqiz Dini Adzika. Atau
melihat ikan-ikan berenang di udara karya Yuliana Khairi Putri, dan rumah-rumah
kurcaci pada karya Arianti Oktaviana.
Bagi
mereka yang senang akan karya tekstil, bakal merasakan lembut benang yang
tersulam pada kain karya Weka Arum Salsadila. Atau rasa kecut buah asam dan
ragam hayati Taman Nasional Baluran, pada karya Desi Nurul Komala Sari.
Bagi
mereka yang manaruh minat pada karya seni grafis, sepuluh karya seni grafis
yang dihasilkan tiga mahasiswa; Romi Hartono, I Gusti Ngurah Alit Sudiarsana,
Gede Wahyu Putra Pasek. Bakal membuat yang menikmatinya memelintir ingatan pada
bagian peristiwa sejarah yang getir, dan pada bagian lain terasa indah untuk
dikenang. Atau tanda seru bagi manusia serakah dalam karya berjudul “Tak
Bersahabat”.
Terakhir,
bagi mereka yang selalu terposana akan hasil lesatan ujung kuas pada kanvas.
Tak bakal dibuat kecewa oleh karya-karya I Gede Sukradana, Ifan Setiawan, Made
Astangga Wahyu, Ahmad Nur Faizin dan Rizky Setiawan. Sebab, masing-masing dari
mereka punya kencenderungan mengisi bidang kanvas dengan cara berbeda.
***
Ya,
pada bagian ini jari-jari saya mulai pegal dan sering-sering menekan tombol delete.
Merombak ulang setiap kalimat, dan pada akhirnya sampai pada: “Sudahlah,
mungkin ini yang terbaik.” Namun sebelum mengakhiri tulisan ini, ijinkan saya
menaruh minat pada karya seni lukis I Gede Sukradana dan karya seni patung
berjudul “Durga Dewi”. Dan jika tak ada yang keberatan, boleh saya
katakan bahwa itu “dahsyat!”. Dan lagi, jika boleh meminta lebih, biarkan Durga
Dewi itu menghiasi ruang tamu saya, hehe.
Entah
di mana pernah saya dengar saat semasa kuliah semester awal, bahwa guru yang
baik adalah pelaku yang baik. Dan untuk itu, saya senang membayangkan bahwa 20
mahasiswa ini adalah perupa sekaligus calon guru yang baik. (*)
Januari
2023
Tentang penulis
Alexong,
lahir di Situbondo, 09 September 1999. Mahasiswa tingkat akhir di Universitas
Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni Rupa. Selain mengisi ilustrasi di
Takanta ID dan Sutera ID, ia sesekali menulis cerpen dan remeh-temeh lain.
Dapat dihubungi melaui Instagram @alex.ong1999
Kerennn banget 😊😊
BalasHapus