Cerpen: Apakah Rumah Perlu Dikosongkan?
Oleh:
Alif Febriyantoro
Malam
larut dengan gerimis yang biasa. Tetapi di dalam kepalamu, rintik-rintik itu
menjelma menjadi jarum-jarum yang menusuk otakmu. Selama perjalanan pulang,
tatapanmu kosong dan pikiranmu berlarian ke mana-mana; penjualan buku yang
menurun, mesin cetak yang rusak, harga kertas naik, dan notifikasi terakhir
pada layar ponselmu: apakah rumah perlu dikosongkan?
Kemudian
kau membayangkan sebuah peristiwa yang mungkin akan terjadi saat kau membuka
pintu rumah: seorang wanita sedang berdiri sambil berkacak pinggang dan
menatapmu dengan tatapan yang mengerikan. Bayangan itu tergambar pada kaca
mobilmu. Kau menggeleng-gelengkan kepalamu dan mencoba untuk menjinakkan
jantungmu yang sejak tadi berdetak tak karuan. Kau mengambil napas
sedalam-dalamnya lalu mengembuskannya pelan-pelan. Tapi usahamu itu sia-sia.
Kau belum juga merasa tenang. Maka dengan adrenalin yang tinggi dan dengan
keringat dingin yang mengguyur seperti gerimis, kau injak pedal gas lebih dalam
dan lebih dalam lagi. Melaju lebih kencang. 100 kilometer per jam.
***
Setelah
beberapa saat, akhirnya kau sampai di rumahmu. Napasmu berantakan, seperti
diburu macan kelaparan. Kau turun dari mobil kemudian membuka gerbang dengan
sangat hati-hati. Kau melihat rumahmu masih biasa-biasa saja. Tidak ada yang
berubah. Rumah dua lantai dengan cicilan satu setengah juta per bulan. Sempat
terlintas di benakmu untuk segera lepas dari cicilan itu. Tapi kau tahu, itu
masih lama. Masih tersisa 5 tahun lagi. Lantas kau buang jauh-jauh pikiran itu.
Pelan-pelan kau mulai memasukkan mobilmu, menutup gerbang dan melangkah tanpa
suara ke arah pintu rumah.
Seperti
maling, kau membuka pintu itu dengan harapan agar penghuni rumah tidak
menyadarinya. Pintu terbuka separuh dan kau mencium pengharum ruangan yang baru
saja kau beli seminggu yang lalu. Aroma Green
Fantasy itu meruntuhkan pikiranmu tentang hal mengerikan yang tadi sempat
kau bayangkan. Kau diam di ambang pintu dengan tangan kanan masih menggenggam
gagang pintu. Kau melihat sekeliling. Lampu sudah mati dan hanya terdengar
sirkulasi air dari akuarium. Setelah merasa tidak ada tanda-tanda mengerikan
yang muncul, akhirnya kau bisa bernapas lega. Semua masih seperti biasa,
pikirmu. Kau semakin percaya diri kemudian menutup pintu.
Jegleg!
Mendadak
lampu ruang tamu menyala. Dan pikiranmu langsung buyar. Ada sesuatu yang
membuat dadamu terasa begitu sesak. Kau merasa seperti dikhianati paru-paru
sendiri. Sontak kau menoleh. Apa yang kau bayangkan benar-benar terjadi: di
hadapanmu, seorang wanita berdiri sambil berkacak pinggang dan menatapmu dengan
tatapan yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya. Sorot matamu berhenti tepat
di titik hitam mata wanita itu. Mata kalian saling beradu pandang dan saling
menyelami kedalaman pikiran masing-masing.
“Apakah
rumah perlu dikosongkan?” Wanita itu mengulang pesan yang tadi ia kirim
kepadamu. Bedanya, ini adalah pesan langsung yang terdengar begitu tajam dan
menampar telingamu. Kau tahu, kalau kau mengeluarkan suara sedikit saja, maka
terjadilah sesuatu yang mengerikan.
“Hei!
Malah diam. Jawab! Apa perlu?”
Nah.
Baru saja kau berpikir untuk lebih baik diam. Jelas, ada yang tidak beres pada
pola pikirmu. Tapi begitulah wanita dan kau sadar betul bahkan melebihi
kesadaran itu sendiri. Apalagi kau tahu, wanita di hadapanmu ini adalah
istrimu. Dan di saat-saat yang tidak menyenangkan seperti ini, kau sering
merasa bahwa kau menikahi orang yang salah. Namun perasaan itu hanya ada di
pikiranmu saja dan tak pernah sekalipun kau ucapkan kepadanya.
“Sudah,
sudah. Jangan keras-keras. Tidak enak kalau tetangga sampai dengar.”
“Biarin!
Biar mereka tau sekalian!”
Kemudian
sorot mata wanita itu turun ke bawah, ke arah tanganmu yang hanya memegang
kunci mobil. Dan saat wanita itu tidak melihat sesuatu yang ia harapkan, entah
kenapa ia malah tersenyum kepadamu. Tapi tentu saja kau tahu, senyum itu masih
misteri.
“Pulang-pulang
hanya bawa tangan kosong! Apakah kau sengaja tak mengangkat telepon dariku?
Kalau saja tadi gas masih ada, aku tidak akan meneleponmu. Padahal aku berharap
kau membaca pesanku dan membawakanku mi goreng. Atau paling tidak kau punya
inisiatif untuk beli gas baru.”
“Tapi
sepertinya aku salah berharap kepadamu. Sepertinya aku salah menikah denganmu!”
Waduh!
Gawat. Kau lupa dengan sesuatu yang sangat krusial. Kau baru menyadarinya.
Tanpa aba-aba satu dua tiga, dengan cepat kau membalikkan badan dan memutuskan
untuk keluar rumah lagi. Tapi mendadak suara istrimu menghentikan pikiranmu
sekaligus langkahmu.
“Mau
ke mana?”
“Beli
mi goreng. Aku tadi lupa. Sungguh!”
“Tidak
usah!”
“Terus
bagaimana?”
“Aku
sudah makan.”
“Katanya
gas kosong?”
“Kau
tahu, tadi aku makan pembalut. Enak lho, Mas, seperti roti.”
“Istri—”
Hampir saja kau menambahkan kata gila. Untung saja istrimu langsung
membantahmu.
“Apa
kau bilang, Mas? Istri apa?” Istrimu memiringkan kepalanya ke kiri. Suaranya
terdengar begitu lembut seperti tiada lagi kelembutan di dunia ini selain hanya
lembutnya suara istrimu.
“Bukan,
bukan. Tadi aku mau bilang, istri temanku hampir mati gara-gara makan
pembalut.”
“Suami
gila! Mana mungkin aku makan pembalut!”
Busyet!
Kata-kata yang ingin kau ucapkan malah mengenai dirimu sendiri.
“Tadi
kau bilang begitu.”
“Seharusnya
kau tahu maksudnya. Benar-benar tidak berguna! Percuma kau mendirikan kantor
penerbitan buku-buku sastra!”
Hei,
hei, kenapa malah jadi merambat ke mana-mana? Semua kata salah ada pada
dirimu.Tentu saja kau menyadarinya. Kau tahu, ini masalah yang serius. Jika
dibiarkan, seekor macan yang bersemayam di dalam tubuh istrimu itu akan
meraung-raung atau kemungkinan terburuk ia akan menerkam dan melukaimu.
“Ini
salahku. Aku tidak mau memperburuk keadaan. Jadi aku mohon kepadamu, jika masih
bisa kita bicarakan baik-baik, kenapa tidak?”
“Tidak!
Tidak mau!”
“Jangan
begitu, Sayang.”
“Sayang,
sayang. Pokoknya malam ini kau tidur di luar!”
Alismu
bergerak ke atas.
“Hmm...
iya, iya. Nanti aku tidur di sofa.”
“Tidur
di luar rumah. Bukan di luar kamar. Ngerti enggak, sih!”
“Bagaimana
kalau aku kedinginan? Bagaimana kalau aku sakit?”
“Itu
urusanmu!”
“Begini
saja,” katamu sambil meniru suara lembut istrimu. “Sebagai ganti kesalahanku,
besok aku akan mengurus rumah. Masak, cuci piring, cuci baju, bersih-bersih,
pokoknya semuanya aku yang urus.”
Kau
lihat wajah istrimu berubah jadi sedih. Kemudian istrimu itu duduk ke sofa dan
mulai mengatur napasnya.
“Aku
capek, Mas. Capek!”
Cukup
lama kau pandangi paras wanita di hadapanmu sebelum akhirnya kau melangkah dan
mendekatinya. Entah kenapa kau merasa istrimu itu tampak lebih cantik ketika
sedih begitu. Tapi apakah kau akan terus membuatnya bersedih? Tiba-tiba kau
ingat sebuah buku kumpulan cerpen karya Sungging Raga yang berjudul: Apa yang
Tak Bisa Membuatmu Bersedih, Ia Juga Tak Bisa Membuatmu Bahagia. Betul juga,
pikirmu, sepertinya kesedihan memang harus ada.
Pelan-pelan
kau mencoba untuk memeluknya. Awalnya istrimu menolak. Tetapi saat kau mulai
mencium keningnya, akhirnya ia luluh juga dan menyandarkan kepalanya di dadamu.
“Sudah,
Sayang. Lebih baik kita tidur. Kau hanya butuh istirahat.”
“Apakah
kau mengerti dengan apa yang aku rasakan, Mas?”
Namun
kau tidak menjawabnya. Karena kau tahu istrimu itu akan menjawab pertanyaannya
sendiri.
“Kadang
aku iri dengan teman-temanku. Banyak dari mereka yang sudah punya anak. Kau
masih ingat Elena, kan? Tadi sore dia ngasih kabar, katanya dia hamil lagi. Aku
senang mendengarnya. Tapi aku juga sedih. Apa ada yang salah dengan kita, Mas?”
Kau
mengelus-elus bahu istrimu. “Tidak ada yang salah. Aku tahu, ini salahku.”
“Sebenarnya
selama setahun ini kau anggap aku ini apa? Aku juga ingin punya anak, Mas!”
“Iya,
iya, aku ngerti.” Kini kau mengelus-elus punggung istrimu. “Sabar, mungkin
memang belum waktunya.”
“Apa?
Waktu?!” Istrimu berontak dari dekapanmu dan nada suaranya mulai naik lagi.
“Setiap hari kau pulang larut malam. Mana waktu buatku? Aku tau kau sibuk. Aku
tau itu dan sangat mengerti posisimu. Tapi aku ini istrimu, Mas! Aku butuh—”
Tiba-tiba
ponsel istrimu berdering dan ia berhenti bicara. Dan kau sempat melihat ke arah
layar. Tak ada nama, hanya ada sebaris nomor.
“Halo?”
“Iya
benar.”
“Oh,
sudah di depan. Oke.”
Spontan
kau bertanya. “Siapa?”
Tapi
istrimu hanya tersenyum dan kemudian bergegas ke luar rumah. Apakah wanita
memang seperti itu, mempunyai bakat mengubah-ubah sikapnya secara mendadak? Entahlah.
Tak lama, istrimu itu masuk lagi dengan senyum yang sama. Bedanya, kini ia
tersenyum sambil menunjukkan mi goreng kesukaannya. Melihat tingkah istrimu
yang berubah seratus delapan puluh derajat, kau malah ikut-ikutan tersenyum.
“Ternyata
gofood lebih berguna dari suami
sendiri,” kata istrimu sambil berjalan ke arah dapur.
Dan
walaupun tubuh istrimu sudah tidak terlihat lagi, namun suaranya masih menggema
di telingamu. “Kau pasti sudah makan, kan? Aku mau makan dulu. Tunggu di situ
dan jangan ke mana-mana. Masalah rumah tangga kita belum selesai!”
Pada
akhirnya kau tahu, tidak ada masalah terakhir. Tapi tidak ada yang keliru malam
ini. Di luar, gerimis masih turun seperti biasa. Di tempatmu duduk, sebuah sofa
masih terasa empuk dan belum ada yang sobek. Sementara di samping kirimu, empat
ekor ikan dalam akuarium itu masih berenang dan mengeluarkan
gelembung-gelembungnya. Tidak ada yang berubah. Semua masih seperti malam-malam
sebelumnya.
Tetapi
saat kau menatap akuarium itu lagi, tiba-tiba saja ingatanmu surut ke suatu
malam di mana kau dan istrimu sedang duduk di sofa ini. Malam itu adalah malam
pertama setelah kalian resmi menikah. Istrimu terlihat begitu bahagia. Ia
senang sekali karena kau telah mengabulkan keinginannya dengan membelikannya
sebuah akuarium dengan empat ikan di dalamnya. Kau ingat betul saat kemudian ia
tersenyum lalu menyandarkan kepalanya di bahumu dan mengucapkan sesuatu
kepadamu:
“Aku
ingin punya anak kembar, Mas. Enak, nanti rumah kita bakal jadi rame.”
Kau
ambil rokok dan menyalakannya. Kau isap rokok itu dalam-dalam kemudian
mengembuskannya. Memang tidak ada yang keliru malam ini. Hanya saja, kau
terlambat menyadari, bahwa keinginan istrimu sulit ditanggung sendiri. (*)
*NB: Judul “Apakah
Rumah Perlu Dikosongkan?” diambil dari sebaris puisi Ali Ibnu Anwar yang
berjudul “Angka di Atas Papan Bilyard”
Jember, 2022
Tentang Penulis
Alif
Febriyantoro, lahir di Situbondo, 23 Februari 1996. Buku-bukunya antara lain, 60
Detik Sebelum Ajal Bergerak (Kumpulan cerpen, 2017), Romila dan Kutukan
Ingatan (Kumpulan cerpen, 2019), dan Sebelum
dan Setelah Hujan, Sebelum dan Setelah Perpisahan (Kumpulan cerpen, 2020).
ILUSTRATOR
Alexong, Situbondo, 09
September 1999. Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni
Rupa. Bahagia membaca, menulis, melukis, dan bejualan buku di Instagram
@mellebuku. Ia dapat dihubungi melalui akun Instagram @alex.ong1999.
Tidak ada komentar