Cerpen: Lelaki Berpayung Putih
Oleh: Putri Oktaviani
Ketika lututku terjatuh di tanah yang basah, aku kembali menangis. Menatap batu nisan yang bertuliskan nama istriku. Wajahnya terekam begitu baik di memori ingatanku. Bersamaan dengan suara tangis seorang bayi yang sebenarnya tidak aku harapkan kehadirannya.
Saat kami masih hidup berdua dalam usia pernikahan
keempat, rumah tangga kami masih tenteram dan penuh tawa. Sebelum desakan
memiliki anak datang bertubi-tubi dari keluargaku sendiri. Mira sudah tidak
punya orangtua sejak kuliah semester akhir.
Memangnya sebuah pernikahan harus melahirkan
keturunan? Sebuah pertanyaan yang sangat ingin sekali kulontarkan tiap kali
ibuku menanyakan hal serupa.
“Sebaiknya aku harus menjelaskan pada mereka jika kita–”
“Nggak perlu, Mas!” potong Mira saat aku ingin menjelaskan
bahwa kami memilih untuk childfree –tidak
memiliki anak– dalam beberapa tahun kedepan
Mira tidak keberatan apalagi mempermasalahkan hal itu.
Tapi keluarga kami mengganggu ketentraman rumah tangga kami. Bukan tanpa sebab
aku menyetujui permintaan Mira pada awalnya. Bukan hanya karena aku seorang dokter
bersalin yang sudah beberapa kali menangani kelahiran. Tidak sedikit dari
mereka yang meregang nyawa pasca melahirkan. Meski angka yang berhasil jauh
lebih besar.
Populasi di Negeri ini juga yang membulatkan keputusan
kami untuk mengambil anak di panti asuhan setelah tujuh tahun pernikahan.
Selain itu, aku juga tidak ingin melihat Mira –istriku berjuang untuk
melahirkan darah dagingku sendiri. Begitu menyakitkan.
“Menikah adalah salah satu cara untuk melanjutkan
garis keturunan,” ujar ibu saat kami berkunjung pada Minggu siang. “Atau
jangan-jangan, istrimu bermasalah dalam hal–”
“Cukup, Bu! Mira cukup sehat untuk bisa mengandung dan
melahirkan.” Aku meninggikan suara. Tidak sanggup mendengar kata-kata
menyakitkan tertuju pada Mira.
Mira memegang lenganku agar mengendalikan emosi.
“Baik, Bu. Kami akan mencoba program hamil minggu depan. Doakan saja yang
terbaik untuk rumah tangga kami.”
“Ibu punya rekomendasi kalau kamu mau. Hubungi saja
kalau kamu sudah siap,” kata ibuku ketus.
Setelah hari itu, malam kami tidak seharmonis
sebelumnya. Mira lebih banyak diam dan sibuk dengan kegiatannya sendiri.
Malam berikutnya aku kembali membujuk Mira untuk tidak
menghiraukan perkataan ibu, dan mencoba untuk mengatakan keputusan kami. Tapi
lagi-lagi dia menolak. Pendapatnya tentang memiliki anak telah berubah. Dia
sering membaca buku-buku tentang parenting
dan sejenisnya. Semakin aku yakin jika dia telah terpengaruh dengan perkataan
ibu melalui pesan ataupun secara langsung jika bertemu.
Satu bulan telah berlalu. Mira telah mengambil program
kehamilan dan aku hanya menuruti semua yang dia katakan. Setengah kepercayaanku
untuk memiliki anak bersama Mira telah muncul. Ketika selasa pagi Mira
muntah-muntah dan mengaku telat datang bulan.
Alat cek kehamilan sudah dipersiapkan oleh Mira dari
berbagai jenis merek. Aku menunggu di depan pintu toilet dengan tegang.
Menunggu kehadirannya dengan alat yang tidak asing lagi kulihat.
“Aku hamil, Mas,” ucap Mira dengan senyum sumringah di
wajahnya. Alat kecil putih diperlihatkan di depan mataku. Dari situ aku bisa
melihat dua garis di sana.
Mira memelukku begitu erat. Tapi entah kenapa tidak
ada rasa bahagia yang hadir di dadaku.
“Aku akan foto dan kirim ke ibu,” Mira berjalan cepat
ke kamar mencari ponselnya.
Keluargaku senang bukan kepalang. Mengingat akhirnya
mereka akan memiliki cucu ketiganya. Kakakku sudah berhasil memberinya dua cucu
dan tidak akan memberikan lebih.
Selama bulan-bulan kehamilannya aku melihat raut
kebahagiaan Mira sambil memegang perutnya yang semakin membesar. Tak kusangka
dia akan segembira ini dengan hal yang paling ditakutinya. Tak ingin melihatnya
sedih, aku berusaha menampilkan wajah bahagia meskipun itu palsu. Rasa cemas
semakin meningkat dari bulan ke bulan berikutnya.
Hingga di hari yang hampir petang, aku melihat
ponselku setelah menangani dua pasien yang melahirkan. Saat itu usia kehamilan
Mira menginjak delapan bulan. Ibuku sudah menginap selama dua minggu, sehingga
aku tidak begitu khawatir dengan kondisi Mira saat kutinggal.
Namun ketika melihat banyak panggilan dari Mira, panik
menyerang dadaku. Aku hubungi kembali dan tidak ada yang mengangkat
panggilanku. Lalu, kualihkan panggilan ke ponsel ibu.
“Mira mengialami pendarahan. Kamu cepat datang ke
Rumah Sakit dekat rumah.” Suara ibu terdengar gugup.
Setelah berkendara cepat menggunakan ojek online, aku sampai dan berlari menuju
resepsionis. Tubuhku diarahkan ke kamar persalinan dan mulai mendengar setiap
jeritan dari suara yang tak asing.
Itu suara Mira, istriku.
Sayangnya aku tidak diizinkan masuk, dikarenakan
kondisinya yang tidak memungkinkan. Ibu bercerita jika dia meninggalkan Mira ke
supermarket. Sehingga Mira telat ditangani dengan baik ketika pendarahan
memakan waktu yang lama. Aku tidak merespon apa-apa dengan alasannya. Ditambah
dia bilang, tidak menyangka jika Mira akan melahirkan di usia kandungan delapan
bulan.
Setelaah tiga puluh menit menunggu, Dokter keluar
dengan raut wajah yang begitu kuketahui maksudnya. Tapi, Tuhan! Tolong jangan
kali ini. Biarkan asumsiku salah saat ini.
“Selamat, Pak! Bayi anda berjenis kelamin laki-laki,”
ujarnya dan terdengar suara lega dari ibu yang berdiri di sebelahku.
Tapi bukan itu yang aku mau. “Bagaimana istri saya?”
tanganku mencengkram kedua bahu Dokter dengan erat.
Kepalanya menggeleng dan tertunduk lemas. “Mohon maaf,
karena pendarahan yang cukup banyak dan keterlambatan dalam membawanya ke Rumah
Sakit, istri anda tidak bisa kami selamatkan.”
Deg!
Apa yang aku bayangkan, pikirkan, dan asumsikan sejak
Mira memulai program hamil menjadi kenyataan. Aku tidak tahu berapa banyak
sakit yang Mira rasakan ketika pendarahan tiba. Aku tidak tahu bagaimana ibu
memperlakukan Mira sampai dia telat membawanya ke Rumah Sakit.
“Wahyu, ibu tidak tahu kalau Mira akan melahirkan di
usia kandungan delapan bulan. Biasanya kan seorang perempuan akan melahirkan di
usia kesembilan, betulkan, Dok?”
Tidak menunggu jawaban Dokter, aku segera masuk dan
menghampiri tubuh Mira yang sudah tak bernyawa. Menangis sekeras mungkin hingga
ruangan terisi penuh. Dadaku terasa sakit dan sesak. Tetapi suara isak tangisku
bersaut-sautan dengan bayi yang baru dibawa masuk oleh Suster.
“Selamat ya, Pak atas kelahiran bayinya. Saya juga turut
berduka cita atas kematian istri Bapak,” kata Suster sembari memberikan bayi
lelaki yang tidak tahu harus kunamai siapa.
Tes!
Rintikan hujan kembali turun. Tubuhku yang terlindungi
payung putih masih terlutut di tanah merah. Selagi aku mengingat semua kejadian
beberapa minggu lalu, mataku menangkap nisan yang berada tepat di sebelah nisan
Mira.
Rasa amarah yang menyelimutiku saat itu pecah.
Berkali-kali ibu meminta maaf atas kelalaiannya karena telah meninggalkan Mira,
tapi tak kuhiraukan.
“Harus dengan cara apalagi agar kamu memaafkan Ibu,
Wahyu?” Ibu menaikkan intonasi suaranya. “Bukan keinginan Ibu jika Mira
meninggal saat melahirkan!”
Kami bertengkar di rumah. Dalam kegelapan malam yang
begitu sunyi. Mataku menyorot tajam ke arahnya. Wajah perempuan yang kulitnya
sudah tidak kencang lagi.
“Memang bukan keinginan Ibu, tapi Ibu yang sangat
menginginkan bayi dari kami di saat kami memutuskan untuk tidak memiliki anak.”
“Apa salah seorang Ibu menginginkan cucu dari anaknya?”
Ibu mulai berteriak sambil menangis. Membuat kepalaku semakin sakit dan pusing.
Tangannya menyentuh bahuku sehingga tubuhku menghadap ke arahnya. “Kalau kamu
tidak terima istrimu meninggal karena keinginan Ibu agar kalian memilki anak,
relakan Ibu untuk menyusul istrimu.”
Petir menyambar dan suara hujan semakin deras. Aku
tidak mengerti dengan kalimatnya. Tapi setelah itu dia langsung pergi
meninggalkan rumahku. Aku tidak menahannya sama sekali, karena rasa kesal yang
menyelimutiku.
Setelah satu jam berlutut di dekat nisan Mira, aku
bergerak menuju nisan sebelahnya. Menatap sejenak nama yang ditulis di sana.
Nama ibuku, yang tanggal kematiannya sama seperti istriku.
Kecelakaan menimpanya saat ia pulang berjalan kaki
dari rumahku.
TENTANG PENULIS
Putri Oktaviani, kelahiran tahun 2000 ini memiliki
beberapa Novel ekslusif di platform online. Selain menulis, Ia juga gemar
membaca fiksi genre thriller & misteri. Instagram @putri.oktavn.
ILUSTRATOR
Alexong, Situbondo, 09 September 1999. Kuliah di
Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni Rupa. Bahagia membaca,
menulis, melukis, dan bejualan buku di Instagram @mellebuku. Ia dapat dihubungi
melalui akun Instagram @alex.ong1999.
Tidak ada komentar