Cerpen: Perempuan yang Mengawini Senja
Oleh: Ramli Q.Z.*
Setiap kali ia berada di pantai ditatapnya senja itu,
seakan-akan tiada panorama yang lebih indah. Ingin sekali ia menari di tubuh
senja, atau sesekali mungkin memetik bebunga yang ada, dan bahkan ia sangat
berharap hidup bahagia di sana. Apalah daya doa-doanya cuma menggantung mesra
pada warna senja yang semakin kuning tua, semerah darah lalu tenggelam begitu
saja. Senja tetap tidak membalas apa-apa.
Marni namanya. Dia gadis pesisir. Umurnya dua puluh lima tahun namun tetap tidak bersuami. Padahal teman seumurannya sudah menjadi ibu rumah tangga, dan bahkan sebentar lagi ada juga yang akan menyambut anak kedua. Berbeda dengan Marni, yang masih tetap saja menjadi perawan murni.
Sebenarnya bukan berarti Marni termasuk perawan yang
tak laku, akan tetapi lelaki yang ingin meminangnya selalu saja harus berpikir
seratus kali lantaran tahu bahwa Marni sedikit gila. Terbukti, saat salah
seorang keponakan tetangganya yang dari Jakarta bermain ke rumah pamannya. Dia
langsung terpikat kepada kecantikan Marni yang setiap hari semakin
menjadi-jadi. Dan akhirnya dia tahu juga bahwa Marni adalah perempuan setengah
gila yang ditakdirkan mencintai senja.
“Kalau begitu aku tidak suka,” ujarnya setelah
mendengar cerita pamannya. “Aku takut dia membunuhku tanpa ada rasa berdosa.”
Lelaki lain juga tak jauh beda. Mereka tidak sudi jika
semisal beristri Marni.
“Bagaimana semisal aku menikahi Marni. Dia kubawa
keundangan salah seorang warga. Tiba-tiba dia joget sambil bernyanyi-nyanyi
setelah itu di bergulur-gulur di tanah. Setelah itu… ah, malulah aku!”
begitulah kerap candaan bebujang desa.
Untung Marni masih punya orangtua yang sanggup
memahami keadaannya. Justru mereka berdua sangat mengerti bahwa anaknya itu
sangat suka senja sejak masih kecil. Entahlah Marni melihat apa pada senja
sehingga begitu sangat mencintainya. Bahkan setiap sore tiba ia selalu berada
di pantai, duduk di gardu, seperti seorang yang ingin melunasi rindu.
Anak-anak kecil yang tengah bermain pasir di pantai
pasti saja mereka akan mengolok-oloknya, “Marni gila… Marni gila… Marni gila…”
Tapi dia tetap diam karena senja yang ditatapnya semakin indah dan megah.
Mendengar itu semua tiba-tiba Mudarib, ayah Marni
bergegas turun dari perahunya sebab tiada rela putri tunggalnya diejek sebagai
orang gila. “Kurang ajar! Berani-beraninya bocah ingusan seperti kalian telah
lancang kepada yang yang lebih tua,” bentak Mudarib dari kejauhan sana. “Awas
jika tetap saja, akan kusunat kalian,” umpatnya untuk menakut-nakuti. Anak-anak
segera berhambur lari.
Langsung Mudarib menggenggam lengan Marni yang tengah
seolah mengelus-elus tubuh senja. “Ayo pulang!” ujar Mudarib sambil menarik
Marni. “Tapi bagaimana senja itu, Ayah?” ucap Marni saat digiring pulang.
Mulai terus-terusan dipaksa pulang seperti itu oleh
Mudarib, mulut Marni selalu berucap senja. Sebentar-sebentar bernyanyi tentang
senja. Berteriak memanggil senja. Intinya setiap detak jantung Marni hanya
bergetar seperti ikut memanggil-manggil senja. Hingga suatu malam yang sangat
sunyi, saat angin tiada menggoyang daun kelapa tetapi sedikit berbisik pada
sela jendela. Ibunya marah besar padanya, “Berhenti Marni! Kasihan ayahmu lagi
tidur!” Karena Marni gila, dia tidak menggubris perkataan ibunya. Dia terus
saja bertembang semakin lantang. Di saat itu Mudarib bangkit dari ranjangnya
dan mengahampiri Marni yang tengah berteriak memanggil senja di jendela.
“Sudah, Nak, tidur dulu,” bujuknya, “besok kamu akan
kembali bertemu senja.”
“Tidak, Ayah. Malam ini aku rindu senja.”
“Iya, Ayah tahu. Tapi Marni sekarang harus tidur dulu biar
besok Marni terlihat cantik di mata senja.”
“Percuma cantik di mata senja, Ayah. Senja terus diam.
Dia seperti tidak menyambut kecantikanku.”
Akhirnya Mudarib selalu terdiam lantaran dia semakin
menyaksikan kegilaan Marni bertambah setiap hari. Dia pikir-pikir lagi tentang
peristiwa seminggu lalu, saat Marni meminta agar supaya segera dinikahkan
dengan senja. Marni bilang bahwa dirinya selalu diolok-olok oleh temannya yang
telah menikah. Jika menikah tujuannya sekedar bahagia, maka aku tidak salah jika
memilih senja, selalu begitu belaan Marni. Tapi teman-temannya terus saja
tertawa setelah mendengar ucapan itu terus diulang oleh Marni.
“Bagaimana kalau sekarang Marni tidur dulu, besok sore
kita sekeluarga akan melihat senja bersama.” Mendengar itu mulut Marni yang
memanggil senja berhenti seketika.
“Sekaligus Ayah dan Ibu menjadi saksi pernikahanku
dengan senja?” mata Marni semakin membulat.
“Iya, iya,” jawab Mudarib sembari menganggukkan
kepala.
***
Sudah jangan ditanya lagi. Saat pagi masih tanpa
matahari, Marni telah duduk di depan cermin sambil mendandani diri. Semua aneka
ragam parfum yang dimilikinya dituang ke seluruh tubuhnya. Aromanya menguar ke
luar kamar, seakan aroma itu diperuntukkan untuk rindu yang sebentar lagi
terbayar. Tak lupa ia juga memilih baju-baju yang telah tersedia rapi sesuai
kesukaan hati.
Hari itu Mudarib menyaksikan putrinya sangat bahagia.
Senyumnya yang semakin mekar memperlihatkan kemolekan wajahnya. Seandainya
Marni tidak gila seperti ini sudah pasti bebujang desa saling rebut untuk
melamarnya, begitulah batin Mudarib saat melihat Marni di depan pintu kamarnya.
“Ayah sudah siap?” tanya Marni sambil memoleskan bedak
ke wajahnya.
Di waktu senja biasa tiba mereka mengunjungi pantai
secara bersama. Di gardu itu Marni duduk ditemani ayah-ibu. Senja yang jauh
ditatapnya dengan mata sayu dan senyuman malu, seakan hari itu Marni terlihat
bagai perempuan dalam tubuh ranjang yang berbalut kelambu. Seperti pernikahan
biasa Marni dinikahkan dengan senja. Marni sangat bahagia tiada tara. Wajahnya
selalu menampakkan senyuman di bibirnya yang indah.
Karena sudah menikah dengan senja, setiap hari pasti
Marni berada di pantai kala sore tiba dan selalu pulang bila senja berubah
merah lalu tenggelam di balik cakrawala. Marni jarang pulang dengan tangan
hampa. Pasti sering kali membawa sesuatu yang diangggapnya berharga. “Ayah,
Ayah, lihatlah bunga ini. Senja yang memberi,” ucap Marni suatu waktu sambil memamerkan
bunga itu. Mudarib tetap tersenyum walau tahu bunga yang dipegang Marni itu
adalah bunga yang menguar aroma busuk. Hari lain juga sama, Marni membawa
boneka bekas yang pasti dijumpainya di bibir pantai. “Aku punya boneka cantik,
Ayah, senja yang memberinya.” Begitulah seterusnya hingga kamarnya yang sempit
sesak dengan barang yang tak berharga.
Hari bertambah hari. Bulan pun berganti bulan. Marni
yang selalu menatap senja, diam-diam menyimpan janin lelaki dalam perutnya.
Warga pesisir menaruh prasangka buruk padanya sebab Marni hamil tanpa suami
yang jelas akadnya. Tapi Marni tetap diam saja hingga kematian tiba
menjemputnya saat melahirkan bayi yang dikandungnya.
***
Sudah 20 tahun peristiwa itu terjadi. Aku ceritakan
ini karena aku yakin kau sudah sepantasnya mendengar semuanya, Sum. Aku bukan
ayahmu. Sekali lagi aku katakan, aku bukan ayahmu yang sebenarnya.
Kau tahu. Saat hari petaka itu tiba, wajah langit
terlihat muram seakan telah menandakan bakal terjadinya peristiwa kejam, lebih
tepatnya waktu sore yang mendung dan murung. Ibumu datang ke gardu biasa dengan
napas yang tersengal-sengal. Ia duduk di sana sambil menatap tempat senja tapi
tak kunjung ia jumpa. Ia juga paksa larikan dirinya ke arah barat namun yang
tampak segurat harapan yang sia-sia. “Senja, senja, di mana senja…” jeritnya di
sepanjang pelarian.
Mendung semakin menebal. Langit sangat terlihat
seperti sepasang pundak yang memikul benda berat. Burung-burung terbang memberi
isyarat bahwa ranting adalah tempat paling aman bersembunyi di balik gigil
hujan. Benar, isyarat burung tidak pernah berdusta, hujan benar turun mendekapi
tanah. Ibumu masih setia menunggu dengan wajah termangu-mangu. Tiba-tiba
datanglah tujuh lelaki asing dari perahu yang tertambat di pelabuhan. Mereka semua
datang ke pulau kita sembari menjual nyiur tua. Begitulah setiap tahun mereka
pasti datang. Merekalah yang menyetubuhi ibumu, Marni. Aku saksi matanya. Aku
yang menjaga peristiwa percintaan mereka di bawah rerimbun pohon pandan agar
tidak ketahuan warga. Aku dibayar satu juta demi merahasiakan semuanya. Saat
ibumu hamil tua, maka aku mengakuinya sebagai tebusan rasa bersalah ini. Aku
menikahinya secara resmi meski setiap hari hampir semua warga mencaci dan
memaki sembari sembunyi. Akan tetapi cara itu masih kurang bagiku untuk menebus
kesalahanku pada ibumu. Aku tetap merasa bersalah, Sum. Semoga saja rasa
bersalah ini aku dapat menebusnya dengan cara menjagamu dan mengajakmu pulang
ke rumah saat senja tiba. Aku cuma takut terjadi peristiwa serupa, Sum!
Pojok Imajinasi, 2022
TENTANG PENULIS
*Ramli Q.Z. Nama pena dari Ramli Qamarus Zaman. Lahir 19 April 2002 di Pulau Tonduk,
Kecamatan Raas, Kabupaten Sumenep. Alumnus MI Nurul Jadid, MTs Kasyfudduja dan
MA I Annuqayah. Sekarang menjadi santri aktif di Pondok Pesantren Annuqayah
Latee, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur, serta menjadi Mahasiswa
Instika Jurusan IQT/V. Aktif sebagai Pustakawan di PPA. Latee dan salah satu
pengamat literasi di Forleste (Forum Lesehan Santri Latee).
ILUSTRATOR
Alexong, Situbondo, 09
September 1999. Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni
Rupa. Bahagia membaca, menulis, melukis, dan bejualan buku di Instagram
@mellebuku. Ia dapat dihubungi melalui akun Instagram @alex.ong1999.
Tidak ada komentar