Dilema Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa
Oleh:
Setelah wacana perpanjangan masa jabatan presiden menyerbu khalayak publik, terutama masyarakat Indonesia. Kehidupan demokrasi seakan berada di ujung tanduk. Kekhawatiran meramu di mana-mana. Apalagi, media tanpa ampun terus gencar memberitakannya. Tak ayal, sebab sampai hari ini pun Indonesia masih memiliki trauma sejarah−kisah orde baru−yang menyebabkan luka teramat mendalam.
Namun,
sesudah wacana perpanjangan masa jabatan presiden mereda. Hari ini, kembali
mencuat problem yang sama. Rakyat Indonesia digemparkan adanya isu tuntutan
perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun. Sontak wacana
tersebut mengundang perbincangan hangat masyarakat. Apalagi ada sentimen
tersendiri terkait isu perpanjangan masa jabatan kepala desa. Melihat data dari
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3S), terdapat
sentimen publik terhadap wacana perpanjangan masa jabatan kades dengan presentase 42.581 dalam sepekan
terakhir, yakni dari tanggal 19-25 Januari 2023. Perbincangan soal isu tersebut
melibatkan setidaknya 32.134 pengguna media sosial. Sementara isu soal
penundaan pemilu, rentang waktu seminggu (18-24 Januari 2023) diperbincangkan
dalam 1.951 percakapan dan melibatkan 1.771 pengguna media sosial, dan 35,8
persen perbincangan mengenai perpanjangan masa jabatan kades dikaitkan dengan
wacana penundaan pemilu umum, (Republika, 06/2/2023).
Di sisi lain, jika yang menjadi alasan utama
tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa adalah kurangnya waktu dalam
mengelola desa disebabkan adanya konflik politik berkepanjangan pasca pilihan
kepala desa (pilkades). Maka tentu, hal itu sangat kontradiktif dengan semangat
pembangunan desa yang seharusnya. Konflik politik pasca pilkades yang terjadi
dalam ruang kehidupan masyarakat desa, selayaknya juga menjadi perhatian utama
bagi kepala desa terpilih. Alih-alih mengupayakan meredam konflik tersebut,
mengapa justru dijadikan alasan meminta masa jabatan ditambah menjadi sembilan
tahun. Suatu paradigma yang gagal dalam membenahi desa. Mengkambinghitamkan
sesuatu demi mencapai tujuan tertentu. Tidak mencerminkan adanya upaya yang
solutif.
Kita
semua mesti berpikir ulang, perpanjangan masa jabatan kepala desa ini secara
tak langsung akan menimbulkan beberapa mala petaka yang bisa saja terjadi
secara signifikan. Tentu, hal itu menjadi sangat dilematis bagi kita semua.
Maka dengan demikian diperlukan adanya sebuah kerangka jelas, menyusun berbagai
pertimbangan-pertimbangan jika perpanjangan masa jabatan kepala desa tetap
direalisasikan.
Kasus
Korupsi
Angka
korupsi di desa yang relatif tinggi. Mengacu pada laporan yang dikeluarkan oleh
Indonesian Corruption Watch (ICW), terdapat fenomena yang
mengkhawatirkan terkait kasus korupsi di desa. Di mana desa konsisten menempati
posisi pertama yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh penegak
hukum sejak 2015-2021. Di tahun-tahun tersebut, ada 592 kasus korupsi di desa
dengan total kerugian mencapai Rp 433,8 miliar. Peningkatan kasus korupsi di
desa bersandingan dengan peningkatan alokasi dana yang cukup besar. Terhitung
sejak tahun 2015-2021, Rp 400, 1 triliun telah digelontorkan demi keperluan
pembangunan desa.
Laporan
korupsi di atas, mengindikasikan adanya ketidaksehatan dalam upaya memajukan
desa. Angka kasus korupsi yang bisa dikatakan fantastis, mengagetkan kita
semua. Artinya, penyakit yang selama ini masih menjangkit dalam tubuh
pemerintahan di Indonesia (korupsi), lebih-lebih desa masih tidak selesai. Jika
lingkungan sudah kotor dan tidak ada sebuah ikhtiar untuk menuntaskannya.
Berarti ada kekacauan yang serius dalam tatanan pemerintahan desa tersebut
sehingga masalah yang sama justru tidak selesai-selesai. Pertanyaannya, apakah
kasus korupsi yang masih merambat di desa-desa bisa diselesaikan dengan
memperpanjang masa jabatan kades? Mengutip ungkapan dari Lord Acton (1834-1902)
mengatakan, manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan, tetapi
manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti menyalahgunakannya.
Maknanya, bahwa kekuasaan dalam hal ini jabatan dengan masa yang panjang justru
bisa dipastikan akan disalahgunakan. Tidak menuntut kemungkinan praktik korupsi
tetap meraja rela. Hal itulah yang perlu kita kritisi bersama.
Sebenarnya,
ketika kita jujur, upaya penumpasan kasus korupsi di desa tak ada kaitannya
dengan penambahan masa jabatan. Kalaupun penambahan masa jabatan itu
terealisasi, hal itu juga bukan jaminan yang pasti. Poin pentingnya adalah
bagaimana kinerja pemerintahan di desa terkait, apakah serius atau tidak
menangani kasus korupsi yang ada. Jangan sampai dengan adanya penambahan masa
jabatan kades malah berpotensi membuka kran untuk korupsi secara lebih lebar.
Perlu kehati-kehatian dalam mengkajinya sebelum hal itu benar-benar terjadi.
Menghalangi
Regenerasi
Regenerasi
dalam sebuah kepemimpinan merupakan agenda yang tak kalah urgen dipersiapkan.
Pondasi keberlanjutan pembangunan sebuah instansi pemerintahan dan non-pemerintahan
serta organisasi ditentukan oleh salah satunya regenerasi. Kalau saja
regenerasi itu terhenti akibat suatu masalah yang memungkinkan kefatalan. Maka
di dalamnya ditemukan "kemandekan penerus" yang implikasinya pada
pudarnya semangat untuk meneruskan estafet kepemimpinan dan rasa kejenuhan. Di
antara penyebab itu semua, masa jabatan yang terlampau overdosis bisa jadi
penyebabnya. Bagaimanapun, kita semua harus mengakui, pembatasan sebuah masa
jabatan yang diatur dalam UUD 1945 bukan tanpa alasan.
Pekerjaan
yang dilakukan atas dasar nafsu belaka hanya akan menimbulkan efek hilangnya
tujuan. Begitu juga ketika nafsu kekuasaan memenuhi tujuan itu sendiri, dengan
sendirinya ia akan menemukan arah yang bertolak belakang. Padahal, yang
seharusnya menjadi perhatian adalah bagaimana ia menggunakan kekuasaan itu
sebagai wujud manifestasi amanah yang harus dijalankan sebaik mungkin. Sebab
pada dasarnya, kekuasaan adalah tanggungjawab moral sebagai instrumen menuju
kehidupan yang lebih mapan, bukan justru sebaliknya.
Maka
sangat disayangkan, jika perpanjangan masa jabatan kepala desa itu digaungkan
dengan alasan yang tak terlalu penting. Karena masih banyak hal lebih penting
yang seharusnya dikerjakan oleh para kepala desa. Terutama mengenai kondisi
desanya sendiri yang dipimpin. Paling tidak, kesadaran untuk merawat generasi
penerusnya telah ada dan dieksekusi melalui program-program yang koleratif dan
inovatif. Tentu dilakukan secara berkesinambungan hingga mencapai kematangan.
Menatap regenerasi berarti juga menatap masa depan.
Mengangkangi
Semangat Reformasi dan UUD 1945
Semangat
reformasi lahir setelah masa orde baru jatuh memimpin bangsa ini. Era reformasi
dicita-citakan dapat mengantarkan bangsa ini menuju bangsa yang lebih
bermartabat, terbuka, berkeadaban, berkeadilan dan menjamin kesejahteraan
sosial seluruh masyarakatnya. Hal tersebut mencerminkan sebuah usaha menatap
dan menata kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Beberapa bentuk ikhtiar
era reformasi yang hari ini sudah berjalan yakni adanya desentralisasi
kekuasaan di tiap daerah dan amandemen UUD 1945 terkait pemangkasan atau
pembatasan masa jabatan di cabang eksekutif. Tujuannya, secara umum untuk
menghindari praktik-praktik menyimpang sehingga pembangunan bangsa ini lebih
baik.
Menurut
Pasal 39 UU Desa mengatur satu periode masa jabatan kepala desa yakni selama
enam tahun dan juga dapat menjabat selama tiga periode, baik secara
berturut-turut atau tidak. Pembatasan masa jabatan kades tersebut juga
ditegaskan secara konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No.
42/PUU-XIX/2021. Terlihat dengan jelas, bahwa UU tersebut telah mengatur porsi
periode dan masa jabatan kepala desa.
Dari
sinilah, kita akan memperoleh suatu jawaban yang terang terkait tuntutan masa
jabatan kepala desa. Artinya, tuntutan tersebut dapat dipastikan bertentangan
atau berseberangan dengan semangat reformasi dan UUD 1945. Lantas bagaimana
mungkin tuntutan tersebut tetap diwujudkan. Walau sebenarnya, UU yang mengatur
periode dan masa jabatan kades dapat diamandemen. Tetapi perlu digarisbawahi
kembali, setujukah masyarakat dengan perpanjangan tersebut? Sejalan kah dengan
semangat pembangunan desa? Jaminan apa yang akan didapat dari adanya
perpanjangan masa jabatan kades? Jangan sampai, tuntutan dan realisasi
penambahan masa jabatan kades mengandung unsur pragmatisme politik yang memunculkan
masalah lain yang serupa.
Akhirnya,
dengan seluruh penjelasan di atas. Kiranya, perpanjangan masa jabatan kepala
desa dapat dipertimbangkan kembali dengan memperhatikan segala konsekuensinya.
Seperti kata pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Artinya,
sekiranya perpanjangan masa jabatan ini banyak menimbulkan mudharat, lebih baik
untuk tidak disetujui dengan mengutamakan keutamaan yang lebih baik. Lagi pula,
daripada sibuk menuntut perpanjangan masa jabatan. Jauh lebih baik untuk
fokus melakukan hal-hal yang berkaitan
dengan proses perbaikan desa. Mulai dari aspek pendidikan, infrastruktur yang
memadai, pertanian, memajukan ekonomi kreatif demi mengentaskan kemiskinan dan
mencetak masyarakat dengan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni serta
menjadikan desa yang inklusif. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin kepala
desa yang menjabat akan dipilih kembali oleh penduduk desa hingga tiga periode.
Wallahu A'lam.
BIO
NARASI
Mustain
Romli, pemuda yang selalu belajar menulis sampai kapanpun. Kadang menulis
puisi, opini dan essai. Suka ngopi dengan santai sambil diskusi. Bisa ditemui
di media sosialnya @romly_21.
Ilustrator
Ahmad Zaidi, lahir dan tinggal di Situbondo.
Penjaga gawang di lapak @mellebuku
Tidak ada komentar