Puisi-puisi Thomas Elisa
TIDUR
SIANG
Ibu
meriwayatkan penuh sabar
tentang
tidur siang sebagai obat mujarab
memelihara
daya tahan masa kanak kita
menyembuhkan
lelah yang memagut
karena
ibu paham betul usia kanak
memerlukan
injeksi pengganti asupan gizi
“Ayo
segera tidur siang” kata ibu
seperti
perawat kita dilayaninya
segala
macam dekil dibersihkannya
dipijatnya
kaki dan punggung kita
yang
membatu oleh khayal imajinasi
supaya
kita lekas menenggak obat tidur siang
“Ibu
kenapa harus tidur siang?” tanya kita
wajah
ibu memajang senyum paling sabar
tidur
siang membuat awet jenaka kata ibu
entah
apa makna ucapan ibu siang itu
kita
hanya menerka tanpa bertanya
Berbilang
tahun kemudian kita paham
maksud
pesan ibu perihal tidur siang
saat
kita kehilangan riwayat tidur siang
dan
terseret arus menjadi manusia dewasa
kita
mulai murung dan tidak berjenaka
(Surakarta,
2023)
AYAH
DAN SEPEDA TUA
Ayah dan sepeda tuanya
adalah
sepasang kekasih mesra
tiap
hari mereka tempuh nasib berkabut
menembusi
tembok kota berpagar besi
mengetuk
pintu-pintu rumah berpaku
untuk
mejajakan puisi beraroma purnama
yang
konon katanya dapat memulihkan
penyakit
sanubari yang telah mati ;
Beberapa
rumah menyambut mereka
menyilakan
ayah dan sepedanya masuk
melepaskan
paku-paku pada daun pintu
menyimak
zikir bening dalam puisi
meluruhkan
segala sakit di sanubari
“puisi
adalah sabda yang lupa ditulis”
begitu
kata mereka yang disinggahi
Ayah
tersenyum mendengar mereka
beberapa
bunga dihadiahkan bagi ayah
membuat
ingatan ayah melayang pulang
membayangkan
anak lelaki kecilnya
bersorak
riang mencium semerbaknya
dan
wewangian mawar mengantar tidurnya
Ayah
dan sepeda tuanya terus melaju
kadang
mereka menimbun kesedihan
tatkala
umpatan dan makian tuan rumah
merajam
belulang tubuh kurusnya
puisi
hanya simbol kemalasan belaka
untuk
rutin menipu dari pintu ke pintu
begitu
kata mereka yang menolak kedatangan
Ayah
dan sepeda tuanya setia bergeming
pujian
dan umpatan tidak membuatnya berhenti
mereka
terus bertekun memenuhi panggilan
mengetuk
ulang pintu-pintu berpaku
mencari
tangkup bunga untuk anak lelakinya
sampai
kelak anak lelakinya tumbuh dewasa
dan
menuliskan sebuah epigram :
--tentang
ayah beserta sepeda tuanya --
(
Surakarta, 2023)
KEDATANGAN
HUJAN
Hujan
bertamu di pintu caffe
sebagai
lelaki tampan berjas polkadot
wajahnya
bening dengan mata sipit teduh
rambutnya
pendek rapi laiknya artis korea
membawakan
senandung alam untukmu
kidung
rintik burung berpadu simfoni katak
yang
semuanya tak terekam pada ponselmu
Kau
sibuk mencengkeram kesendirian
tak
kau acuhkan lambaian hujan
padahal
hujan teramat yakin
segala
cintanya akan memapah letihmu
menyatukan
lagi keping hati yang patah
membantumu melupakan kerut ketakutan
asal
kau mau mempersilakannya masuk
“Hujan
adalah garam bagi luka” tulismu
netizen
berbondong menyerbu stastusmu
memberikan
jempol dan ragam komentar
kau
tampak puas dengan postingan sakitmu
jemarimu
terus menulis keburukan hujan
bagimu
hujan ialah ruang gelap terpengap
mirip
sel pembantaian guantanamo
“Pergilah
hujan, kau hanya pembuat tangisan” tulismu
hujan
yang sedari tadi mematung berdiri
tersenyum
tanpa seraut dendam padamu
meski
kau terus menceritakan keburukannya
hujan
berjanji untuk datang bertamu lagi
Mungkin
saat ini kau tengah alpa
bahwa
segala benih yang bertunas
air
yang mengalir ke coffelatemu
ikan
yang berkecipak riang
semua
karena denyut hujan
(Surakarta,
2023)
PELAJARAN
MEMASAK
Pertama
kau harus mengasah hatimu
memastikan
intuisimu setajam belati
sanggup
menguliti bebal ketidakpekaan
supaya
masakanmu tidak diam di lidah
melainkan
kau bagi dengan sanak sekitar
Kedua
kau harus terlatih mengenali
bermacam
aroma rasa di sekelilingmu
seberapa
lelah yang di bawah ayah
seberapa
sedih yang disimpan kakak
berapa
jumlah keinginan adik bungsu
lalu
semuanya kau ramu di lingkar panci
memasaknya
sampai mereka kenyang bahagia
Ketiga
awali dan akhiri dengan doa
sebagai
pengingat garam dan merica
hanyalah
bumbu penyedap sesaat
yang
sewaktu-waktu berubah tawar
kata
ibu doamu di atas panci kuali
akan
mengawetkan makanan berhari-hari
(Surakarta,
2023)
KISAH
TIGA CANGKIR KOPI
/1/
Di
atas cangkir kopi
para
pekerja menuangkan
segala
rasa kantuk dan bilur lelah
beserta
butiran-butiran mimpi yang tak pernah nyata
lalu
ia aduk sembari mengharap awal bulan segera tiba
/2/
Di
atas cangkir kopi
para
penguasa menuangkan
segala
rencana dan beberapa manipulasi
beserta
pemanis-pemanis tambahan
lalu
ia suguhkan sebagai pencitraan
/3/
Di
atas cangkir kopi
seorang
tunawisma menuangkan
segala
rasa syukur yang ia punya
beserta
nyanyian ode marginal
lalu
mengaduknya dalam sebuah doa
(Surakarta,
2022)
TENTANG PENULIS
Thomas Elisa, lahir 21
September 1996 di kota Surakarta. Penulis tinggal di Pucangsawit RT 01/RW 03,
Kecamatan Jebres, Surakarta. Penulis telah menempuh jenjang pendidikan di
antaranya : TK Kristen Petoran (2001-2002), Sekolah Dasar Kanisius Pucangsawit
(2002-2008), Sekolah Menengah
Pertama Negeri 20
Surakarta, (2008-2011), Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Surakarta (2011-2014).
Penulis juga telah menyelesaikan program Strata-1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas
Maret Surakarta (UNS) pada Juni 2018 lalu. Karya terbaru penulis adalah novel
fiksi anak berjudul Bangunnya Peri Merah (2017). Penulis mengajar di salah
sekolah SMK Mikael Solo. Kontak Penulis: 085802474575 (WA/ Telefon). Email: thomithomas78@gmail.com. Instagram: Thomas Elisa P. Karya terbaru
penulis dimuat dalam media Poros Pemalang (2021), Tegas.Id (2021) Opini.Id (2021), Marewai
(2021), Suku Sastra (2021), Ruang
Jaga (2021), Rembukan.com (2021),
Radar Pekalongan (2022), Harian Bhirawa,(2022), Riau Sastra (2022) Jawapos Radar Madiun (2022),
Sinar Indonesia Baru (2022), Solopos (2022), Media Indonesia (2022), Jurnal Sastramedia
(2022), Magrib.Id (2022), Dermagasastra (2023), Janang.Id (2023), Sabah 360 Online
Malaysia (2023).
ILUSTRATOR
Tidak ada komentar