Resensi: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
Judul
buku : Perempuan yang Menangis kepada
Bulan Hitam
Pengarang : Dian Purnomo
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Tahun
terbit : Cetakan I, November 2020
Jumlah
halaman : 320 halaman
Resensi
oleh: Kriselda Dwi Ghisela
Tidak dapat dipungkiri bahwa
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan tradisi karena terbentuk
dari berbagai pulau dan suku yang masing-masing masyarakatnya memiliki
junjungan tinggi terhadap adat istiadatnya. Sebagai masyarakat yang baik, sudah
semestinya kita menghormati budaya serta tradisi yang telah dilestarikan secara
turun temurun dari nenek moyang. Tetapi tidak semua tradisi wajib dilakukan
jika sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman atau bahkan
penyelenggaraannya telah melenceng jauh dari tujuan awal dibentuknya tradisi
tersebut. Tak terkecuali tradisi kawin tangkap yang berasal dari Sumba. Praktik
kawin tangkap “masa kini” yang menjadi sorotan beberapa bulan terakhir oleh
berbagai pihak, terutama kaum perempuan.
Kawin tangkap atau dalam bahasa Sumba
biasa disebut dengan Yappa Mawinni atau Piti Rambangu atau Piti
Maranggangu diartikan sebagai tangkap perempuan atau ambil paksa. Menurut
Tagukawi dan Sudibya dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, ditinjau dari
istilah tersebut berarti kawin tangkap memberikan wewenang kepada pihak
laki-laki untuk melarikan calon pengantin perempuan dengan bantuan dari pihak
keluarga perempuan untuk mendukung perkawinan tersebut. Di masa lampau, tradisi
kawin tangkap dijadikan suatu upaya untuk menyingkat acara adat supaya tidak
menguras biaya dan waktu yang lama. Kawin tangkap dilakukan jika calon mempelai
laki-laki dan perempuan sudah saling menyetujui membentuk keluarga, namun dari
pihak ayah perempuan tidak menyetujuinya. Maka dengan diculiknya calon mempelai
perempuan, pihak keluarga perempuan akan menyerah dan akan menyetujui
perkawinan keduanya serta mencapai kesepakatan adat. Penculikan biasa dilakukan
di tempat-tempat yang ramai. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan aksi
kejantanan laki-laki para pelaku terhadap pihak korban perempuan. Berhasil
melakukan kawin tangkap masih dianggap sebagai ajang pamer kemenangan dan
prestasi oleh pihak laki-laki.
Dalam penelitian Maramba dari
Universitas Kristen Wira Wacana Sumba, kawin tangkap ditinjau dari asas-asas
hukum adat sistem perkawinan ini telah diakui oleh masyarakat Pulau Sumba dan
merupakan sistem perkawinan dimana wanita yang disunting telah ditetapkan
sebagai pengganti clan atau biasa disebut dengan sistem perkawinan eksogami
jujur. Namun, jika ditelaah dalam perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
dapat dijelaskan bahwa terdapat dua syarat yang dilanggar dalam sistem kawin
tangkap, yakni syarat substantif yang meliputi tidak adanya persetujuan dari
calon mempelai wanita dan umur calon mempelai wanita yang berada di bawah umur
(di awah 19 tahun). Dengan dilanggarnya syarat substantif tersebut, maka kawin
tangkap secara hukum dapat dibatalkan.
Ditelusuri lebih lanjut tradisi kawin
tangkap ini, rata-rata persetujuan pernikahan hanya dibicarakan dan mencapai
kesepakatan berdasarkan para lembaga adat bukan dari pihak calon mempelai dan
rata-rata usia calon mempelai wanita berkisar antara 15 – 25 tahun. Bahkan
dalam penelitian Lolo pada tahun 2020 menyebutkan bahwa kawin tangkap identik
dengan kekerasan seksual. Beliau merupakan pendeta Gereja Kristen Sumba yang
menaungi dan memberikan ruang aman bagi korban-korban kawin tangkap yang
mengalami kekerasan seksual. Dalam syarat substantif yang berupa tidak adanya
persetujuan dari calon mempelai wanita yang menimbulkan penolakan akan adat
kawin tangkap serta memicu adanya kekerasan seksual akan menjadi sorotan dalam
buku Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam. Bentuk-bentuk kekerasan dalam
buku ini meliputi perkosaan, pemaksaan, penyekapan, memegang/menyentuh tanpa persetujuan,
pencekikan hingga percobaan pembunuhan, pengancaman, pemukulan, dan pencelaan
(mohon dicek terlebih dahulu trigger warning buku ini jika ingin
membacanya). Selain menimbulkan luka fisik, perlakuan di atas tentu saja
sedikit banyak akan menyerang kesehatan mental korban yang menimbulkan trauma
berkepanjangan. Bagaimanapun juga praktik kawin tangkap ini telah melanggar
berat dan mencederai hak-hak para perempuan.
Dalam buku setebal 320 halaman yang
ditulis Dian Purnomo ini, Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam justru
menampilkan tradisi kawin tangkap yang sudah tidak sesuai dengan praktiknya di
masa lampau. Kisah Magi Diela memaparkan bahwa kawin tangkap yang dialaminya
justru memberi wewenang atau hak penuh hanya pada pihak laki-laki saja, tanpa
mempedulikan persetujuan pihak perempuan. Dalam cerita ini dibuka dengan adegan
sekelompok laki-laki yang akan menculik perempuan dan akan dibawa paksa ke
rumah pihak laki-laki. Katanya hal ini masih lumrah terjadi, setelah saya
berhasil menanyai teman kuliah yang berasal dari Sumba. Justru dalam catatan
penulis, Dian Purnomo menyebutkan bahwa praktik kawin tangkap juga ada yang
masih tidak beradab. Ada yang sedang berbelanja ke pasar, lalu tiba-tiba
disergap dan diculik. Magi Diela sendiri diculik ketika ia sedang bekerja
memberi pelatihan di desa sebelah.
Pada bab-bab buku ini diceritakan
betapa menderitanya Magi menanggung sakit fisik, sakit hati dan rasa malu
karena sebagai perempuan ia merasa sangat direndahkan, disiksa serta dipaksa
menikahi seseorang yang bahkan tidak pernah ia cintai. Ia merasa menjadi
perempuan tidak bisa dihargai, hanya dijadikan pelampiasan nafsu belaka. Salah
satu sorotan tajam lainnya adalah bagaimana sikap ayah Magi, Ama Bobo yang
justru mendukung pihak laki-laki yang sudah seumuran dengannya dan terkenal
mata keranjang, Ali Leba. Hampir seluruh cerita ini dipenuhi luapan emosi
kepada semua pihak yang seakan tutup mata dan tunduk terhadap tradisi tanpa mau
tahu perasaan “korbannya”. Simpati juga turut memenuhi dada melihat kondisi
Magi yang tengah memperjuangkan hak atas hidupnya sendiri.
Melalui alur yang cepat dan menembak
tepat di sasaran kebutuhan para pembacanya, penulis menuntaskan tulisan dengan
tajam dan memuaskan. Cerita meringkas perjuangan Magi melepaskan diri dari
belenggu tradisi yang mengikatnya dan menemukan kebebasannya. Kegigihan,
kecerdasan dan keberanian Magi patut diteladani setiap pembaca. Walaupun cerita
ini fiksi, tapi cerita ini didasari oleh kisah nyata para perempuan di Sumba.
Sumber Referensi:
Lolo, I. U. 2020. Dari Liturgi
Baptisan Menuju Liturgi Kehidupan: Menjadi Gereja bagi Perempuan Korban Kawin
Tangkap. KENOSIS. 6(2): 216-237.
Maramba, R. S. M., Safrin S., Rambu
H. I., dan Pajaru Lombu. 2022. Piti Maranggangu (Kawin Tangkap) dalam
Perspektif Hukum. Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial. 7(1):
46-60.
Tagukawi, A. T. D., dan Sudibya, K.
P. 2021. Praktik Kawin Tangkap di Sumba Ditinjau dari Perspektif Hukum Hak
Asasi Manusia. Jurnal Kertha Negara. 9(9): 720-730.
Tentang Penulis
Tidak ada komentar