Resensi: Sunyi di Dada Sumirah
Oleh:
Febrie G. Setiaputra*
SEANDAINYA Sunyi, Sumirah, dan Suntini—3 tokoh beda generasi di novel—telah mendapatkan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS/CSE), mungkin kekerasan-kekerasan berbasis gender dapat mereka hadapi dengan lebih baik. Mungkin, mereka dapat lebih mewawas diri dan tak jatuh dalam jebakan patriarki.
Sunyi, Sumirah, dan Suntini bertalian darah. Sunyi adalah mahasiswi fakultas hukum berusia 23 tahun. Dia anak perempuan Sumirah, seorang pekerja seks panggilan papan atas berumur 48 tahun. Dan Suntini, dia ibu Sumirah. Nenek Sunyi, tentu saja. Tahanan politik (Tapol). Mati saat menjalani hukuman di Plantungan.
Berdasarkan
petunjuk yang serbasedikit, pembaca menerka bahwa Sumirah lahir sekira 1961.
Pada 1986—Belum genap 25 tahun umurnya—dia dijual oleh lelaki yang dicintainya
kepada seorang muncikari. Rp 2 juta dia dibeli. Itu setara Rp 35 jutaan di masa
kini.
Uang
segera dibawa kabur oleh si lelaki. Untuk modal judi!
O,
perempuan dusun tak lancar baca-tulis termakan bujukan. Berharap pernikahan dan
pekerjaan, tetapi berakhir di pelacuran murahan.
Novel
menempatkan perempuan sebagai objek lugu, mudah diperdaya, lemah, serta patuh dan
bergantung kepada lelaki. Pelakunya bahkan masih sempat melakukan kekerasan
verbal. Katanya, “Kamu harus ingat, kamu ini anaknya Suntini! Emakmu
tahanan! Sudah bagus aku mau membawamu sampai ke Jakarta!” (Hlm. 149) Tak
melawan?
Biasanya,
orang awam menafsir diam sebagai persetujuan. Respons biologis seperti
terangsang atau semacamnya sebagai keberterimaan. Runtuh seketika seluruh dalil
perkosaan.
Noel
McDermott, seorang psikoterapis, mengungkapkan bahwa selain perlawanan langsung,
freeze adalah respons lain terhadap bahaya yang juga umum terjadi. Ahli
lain menyebutnya tonic immobility. Pokoknya adalah ketidakmampuan diri
untuk berbicara, bergerak, atau melawan ketika berhadapan dengan situasi
ekstrem atau traumatis. Nah, disebutkan di jurnal Acta Obstetricia et
Gynecologica Scandinavica, sekira 70% korban perkosaan mengalami ini.
Kembali
ke novel. Sumirah segera terbiasa menjadi pekerja seks. Dia primadona. Lalu,
singkat kata, dia hamil. Alih-alih menggugurkan kandungan, dia justru kukuh mempertahankannya.
Karena itulah, dia segera dijual ke muncikari lainnya. Rp10 juta. Sekira Rp178
jutaan sekarang.
Lihat,
tubuh perempuan menjelma aset. Ia dapat dikapitalisasikan. Seperti kata Ester
Lianawati dalam Akhir Penjantanan Dunia, kecantikan, bentuk tubuh,
siluet, dan semua milik perempuan diberi harga. Semakin mengundang tatapan dan
gairah lelaki, semakin ia berharga.
Sumirah
dipaksa menandatangani kontrak kerja untuk masa 25 tahun. Sumirah tak melawan.
Dia dihimpit keadaan.
Kali
ini, pembaca tak dapat mengasumsikan Sumirah mengalami freeze atau tonic
immobility. Dia memilih secara sadar. Meminjam teori Beauvoir dan Salomé
yang dikutip oleh Ester Lianawati, pembaca menduga Sumirah mulai berupaya
membalik realitas dirinya sebagai objek menjadi subjek. Ini adalah pilihan yang
memungkinkan bagi perempuan agar tak terlalu menderita.
Maka,
alih-alih bersiasat untuk melaporkan muncikari dan beroleh kebebasan, pembaca
justru mendapati Sumirah yang patuh, yang mampu menggoda pelanggan, dan yang
selalu diinginkan. Maka, boleh jadi Sumirah menyadari bahwa dirinya dapat (dan
telah) mengubah penindasan yang dialaminya menjadi bentuk kekuasaan erotik atas
laki-laki. Oleh sebab itu, dia bertarif mahal. Dengannya, dia dapat hidup cukup
mewah, punya banyak tabungan, dan mampu membayar uang kuliah anaknya.
Dalam
hal demikian itu, seperti dijelaskan oleh Ester Lianawati, Beauvoir tak
menyalahkan perempuan. Namun, dia tetap menegaskan bahwa kebebasan perempuan
subjek tetaplah sebuah ilusi. Perempuan objek tak pernah menjadi subjek otonom
ketika masih membutuhkan liyan untuk membentuk nilai dan identitasnya.
Itu
kisah Sumirah. Dulu, kekerasan juga dialami oleh ibunya. Suntini namanya. Janda
muda penjual telur asin yang bahkan membaca saja tak bisa. (Hlm. 114). Dia tak
mampu melawan banyak lelaki berseragam lengkap yang menjemputnya secara paksa
untuk ditanya-tanya. Itu peristiwa 1965.
Penangkapan
diduga akibat keterlibatan Suntini dalam organisasi wanita sebagai pelatih tari
bagi anak-anak keluarga tak berpunya. Tiga kali sepekan. Diberi imbalan uang
jajan. Dan telur asinnya dibeli 20 butir tiap pertemuan.
“Ketika
aku menolak mengakui semua yang mereka tuduhkan, pukulan demi pukulan aku
terima,” aku Suntini, “harga diriku rasanya hancur. Sampai di usiaku
saat ini, aku belum pernah ditampar dan dipukul oleh seorang lelaki.” (Hlm.
255-256)
Ann
Pullman, peneliti Universitas Queensland, seperti dikutip dalam artikel
bertajuk Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Pasca Peristiwa 1965,
menyampaikan bahwa penghinaan yang terjadi pada masa itu memang dilakukan agar
perempuan malu dan ternoda.
Sebetulnya,
referensi mengenai kekerasan terhadap perempuan pada 1965 cukup banyak. Jamak
dideskripsikan bahwa perkosaan menjadi sebuah kecenderungan yang akan dilakukan
para petugas keamanan ketika berhadapan dengan tapol perempuan.
Selain
disiksa, saat diinterogasi, sebelum dikirim ke tahanan, banyak perempuan digunduli,
ditelanjangi, digerayangi tubuhnya dengan dalih mencari cap palu-arit, diremas
payudaranya, ditampar, disetrum atau dibakar vaginanya, dan pelbagai tindakan
keji lainnya. Oh, satu lagi, diperkosa!
Ketika
menjadi tahanan, termasuk di Plantungan, sebagian tapol perempuan mengaku
mengalami atau menyaksikan perempuan lain dibon atau dipinjam (dari blok
tahanan) oleh petugas untuk dipaksa berhubungan seksual. Selain memperkosa tapol
perempuan, petugas juga sering memperkosa isteri tapol laki-laki.
Kisah
Hardi, anggota biasa Barisan Tani Indonesia, misalnya. Ketika ia berada dalam
tahanan, setiap malam, istrinya dipaksa berhubungan seksual dengan kepala desa,
tentara, (semacam) hansip, anggota ormas, bahkan tetangga dan orang-orang yang
dikenal oleh Hardi di keseharian. Berganti-ganti. Nasib tragis mengantarkan
istrinya itu ke kematian.
Kisah
tentang Hardi dan lainnya dapat dibaca di Tahun yang Tak Pernah Berakhir
(Elsam, 2004). Banyak referensi lain yang memuat kisah kekerasan terhadap tapol
perempuan 1965, di antaranya: Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965
(Kontras, 2012), Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc
Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966 (Komnas HAM RI,
2012), dan Bertahan dalam Impunitas (Komnas Perempuan, 2015). Khusus
tapol di Plantungan, pembaca dapat menemu kisahnya di Gerwani: Kisah Tapol
Wanita di Kamp Plantungan (2011).
Sayang,
di novel, narasi mengenai kekerasan terhadap perempuan pada 1965 hanya terbatas
pada pemukulan yang dialami oleh Suntini. Pengarang tak mengeksplorasi lebih
lanjut. Sebuah bentuk kemalasan atau ketakutan?
Sunyi,
generasi terkini di novel, sejak kecil menerima pelecehan lantaran dia anak
pelacur. (Hlm. 67-68) Puncaknya, dia mengalami kekerasan dalam pacaran (KDP).
Mulai kekerasan verbal hingga percobaan perkosaan.
Memang,
di tokoh sunyi, pembaca mulai membaca upaya perlawanan. Dia menerjang, melempar
vas, dan melontarkan kalimat yang menjatuhkan mental. Namun, pembaca gagal
menemu adegan Sunyi melapor kepada pihak berwajib. Padahal, saat itu belum ada
tagar percumalaporpolisi.
Sama
dengan banyak korban perempuan lainnya, Sunyi memilih bungkam. Dia bersenandika,
“Malu berlebihan seketika menyergapku. ... Aku tak sanggup menceritakan
peristiwa tadi kepada siapa pun. Entah kepada Mi (Sumirah, ibunya) ataupun
Arlen (Sahabatnya.” (Hlm. 69)
Akhirnya,
di novel, pembaca segera berkesimpulan kekerasan terhadap perempuan terus
berulang di lintas generasi. Dari generasi tokoh yang disebut sebagai mbah wedok
(Nenek Sumirah), Suntini, Sumirah, hingga Sunyi. Dengan berbagai-bagai jenis kekerasan:
sosial, ekonomi, emosional atau psikologis, fisik, dan seksual.
Di
kenyataan, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGTP) masih ada. Banyak.
Berdasarkan data olahan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan
dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia yang disajikan secara langsung (Real time), dari
22.331 kasus kekerasan pada 2022, 20.064 korban adalah perempuan.
Jenis
kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual (30,84%). Dua terbanyak
berikutnya adalah kekerasan fisik (27,88%) dan kekerasan psikologis (23,86%).
Korban terbanyak berada di rentang usia 13-17 tahun (34,15%).
Di
muka, pembaca membayangkan orang-orang lintas generasi mendapatkan PKRS untuk
(di antaranya) memutus rantai kekerasan. Beberapa negara telah menempuhnya. Sayangnya,
berandai-andai justru dapat menyesatkan nalar dan menjauhkan dari fakta. Implementasi
PKRS di Indonesia masih menghadapi hambatan. Ketabuan, contohnya.
Jadi,
seksualitas tabu dibicarakan, tetapi diam-diam galib dilakukan (dan barangkali dinikmati)
dalam ketaktahuan. Kira-kira begitu. •fgs
INFO BUKU
Judul: Sunyi di
Dada Sumirah
Pengarang: Artie Ahmad
Penyunting: Amanatia Junda
Penerbit: Buku Mojok, Yogyakarta
Cetakan: I, Agustus 2018
Ukuran: 13 × 20 cm
Tebal: viii + 298 hlm.
ISBN: 978-602-1318-72-0
----------------------------------
*Pengulas
adalah peneliti dan pekerja ornop alumnus Ilmu Sejarah, Universitas Jember. Ia
dapat ditemui di @febriegs (Instagram).
Tidak ada komentar