Oleh:
Aldi Rijansah
Langit
begitu biru dan burung-burung terbang di langit yang begitu cerah tanpa perlu
memusingkan tentang apa yang tengah terjadi di bawah bumi sana, di antara para
manusia yang egois dan saling menyingkirkan satu sama lain. Dan di sanalah
kamu, seorang gadis bergaun biru, yang birunya serupa warna langit itu sendiri.
Berbaring kaku seperti mayat dalam usaha penantian yang tak pasti akan seseorang
yang belum diketahui kapan ia pulang kembali.
Dalam
hari-hari penantian, kamu mencabut jarum-jarum rambutmu untuk menghitung jumlah
hari kemangkirannya, yang adalah kekasihmu sendiri. Si Kekasih memang kurang
ajar, karena benci mengucap perpisahan, ia tak pamit kepadamu. Padahal rencana
pernikahan kalian telah ditetapkan jauh-jauh hari. Jadilah sekarang kamu
menjelma sebagai seorang perawan yang menunggu di balik jendela.
Walaupun
kebenarannya adalah, Si Kekasih pergi tak mengucapkan pamit bukan atas
kehendaknya sendiri, melainkan karena ia dibangunkan pada subuh dini hari untuk
diberangkatkan terburu-buru ke garis terdepan medan perang. Seperti semua pria
muda di negeri itu yang dikirim untuk membelah tanah air tempat mereka
dilahirkan.
Kamu
iseng pernah bertanya kepadanya, apakah ia tak merasa takut akan perang yang
sebentar lagi akan membuat negeri kalian turut serta di dalamnya.
“Tentu
saja takut. Tapi ketika mengingat bahwa aku akan dikirim untuk membela
negeriku, rasa takut langsung hilang digantikan dengan suatu kebanggaan. Aku lahir
di negeri ini dan untuk negeri ini pulalah diriku mengabdi,” ucapnya dengan
nada patriotik suatu ketika kepadamu, saat kalian duduk bersama di atas perahu
pada sebuah danau sambil menatap rembulan. Danau itu begitu sepi, dan kalian
adalah dua orang kasmaran yang memadu kasih ditemani cahaya kunang-kunang dan
bunyi jangkrik bernyanyi di kejauhan.
“Jangan
lupa pamit kepadaku ketika kau pergi,” pintamu padanya.
Bangkit
dari ranjangmu, dalam langkah-langkah kecil kamu membuka seluruh tirai dan daun
jendela rumahmu. Segera angin dari barat berembus masuk membawa aroma musim
gugur serta aroma dua kubu yang bertempur di medan pertempuran nun jauh di sana.
Kamu bertanya-tanya, aroma kematian kelompok manakah yang lebih mendominasi?
Sepasukan prajurit negeri itu? Atau sepasukan prajurit musuh? Kamu tak pernah
ingin mencari tahu. Kamu terlalu takut membayangkan bahwa aroma yang dibawa
angin juga membawa aroma kematian seseorang yang kamu sangat kenal.
Resah,
kamu pun mulai mengirimkan telegraf-telegraf ke kamp di medan perang sana.
Bertanya perihal John Si Kerempeng, Herman Si Gagah, Walter Si Pelawak, serta
Si Kekasih yang Ingkar Janji. Pesan-pesanmu pergi bersama pesan-pesan para ibu
yang menangisi putranya, istri yang mencemaskan suaminya, dan ayah yang kaku
serta dingin tapi dalam hati sangat merindukan untuk bertemu dengan putranya
kembali.
Membuka
lemari, kamu langsung takjub dengan jumlah syal yang menumpuk memenuhi setiap
sudut. Syal-syal dengan aneka motif dan warna bagai pelangi. Syal-syal yang
dirajut guna membunuh waktu tunggumu. Yang di setiap jalinan serat-serat
kainnya ada campuran keringat, debu, air mata, rindu, kemarahan, dan cinta. Entah
kapan, syal-syal ini akan dipakai Si Kekasih. Sementara lemarimu hampir
kehabisan ruang guna diisi. Tapi kamu benar-benar yakin, bahwa syal-syal
warna-warnimu akan dipakai suatu hari oleh Si Kekasih ketika ia pulang kembali.
Kamu sungguh yakin akan hal itu. Seyakin mentari yang senantiasa menyinari
pagi. Walaupun kamu mungkin mengabaikan bahwa mentari selalu kehilangan
kesempatan bertemu rembulan. Kekasih sejatinya benda-benda langit yang baru
diciptakan pada hari keempat penciptaan dan masih dapat bertegur sapa
menanyakan kabar masing-masing. Dan sekarang, sekarang setiap pagi mentari yang
mirip bunga matahari mekar itu jadi bersedih oleh perpisahan yang purba itu.
Meski terkadang bayangan bulan yang abu-abu akan muncul di saat pagi, dan ini
jadi obat untuk hati yang selalu ingin bertemu.
Hari-hari
penantian berlalu, kemudian datang minggu-minggu penantian, minggu-minggu
penantian berlalu, kemudian datang bulan-bulan penantian, bulan-bulan penantian
berlalu, kemudian datang tahun-tahun penantian. Entah bagaimana keadaan di
medan perang sana, terlalu banyak kabar burung yang beredar. Kamu jadi tak
benar-benar yakin apakah desas-desus yang sampai di kotamu adalah dari pihak sendiri
atau pihak musuh yang mencipta propaganda. Padahal telah tiga musim semi
bersemi.
***
“Kau
masih menunggunya?”
Kamu
tak menghiraukan suara bertanya itu. Meski kamu menyadari ada tanda tanya dalam nada kalimatnya. Sebab ia tak sungguh-sungguh ingin tahu.
“Ia
pasti sedang berada di kamp menyusun rencana atau malah telah tertangkap dan
tengah disiksa secara membabi-buta oleh pihak musuh.”
Karena
kamu tetap tak menghiraukannya, ia jadi jengkel dan mulai berbicara sendiri, sebelum
pergi ke arah yang sama saat ia datang.
Rindu
yang berkepanjangan membuatmu membuka kotak simpanan surat-surat lama dari Si
Kekasih semasa ia masih menepati janji dan belum pergi berjuang. Membaca
surat-surat paling awal ketika kamu masih malu-malu dan Si Kekasih masih seorang
pria tak percaya diri yang berusaha mendapat perhatianmu. Kamu membaca lambat-lambat
tiap baris dan kata.
Merasakan
kembali gejolak asrama yang lamban bersemi, ketika cinta kalian masih susah tumbuh
dan mesti selalu disiram setiap pagi dan dipupuk sekali seminggu. Mengingat perasaan-perasaan
itu membuatmu tersenyum sendiri dan tersipu malu.
“Kenapa
kau tak datang ke pertemuan?”
Kamu
agak terperanjat oleh ia yang muncul secara tiba-tiba. Segera kamu mengembalikan
surat-surat ke dalam kotak.
“Apa
kau tahu betapa sulit meyakinkan para anggota lain akan kealpaanmu. Aku bahkan
mesti membuat alasan konyol bahwa kau masuk terlalu jauh ke dalam hutan dan
lupa jalan pulang.”
Kamu
tak menjawab. Sulit bagimu menemukan kata yang tepat.
“Setidaknya
bicaralah meski kamu tak suka kepadaku atau… siapa pun itu.”
“Aku
tak akan datang ke pertemuan selanjutnya. Tidak juga ke pertemuan-pertemuan lain
yang akan datang. Katakan kepada semua orang.”
“Jangan
bertindak bodoh. Kau tahu sendiri akibat buruk yang akan terjadi jika kau tak
d-a-t-a-n-g.”
“Jika
aku menghadiri pertemuan memuakkan itu, sudah pasti aku tidak akan dapat kembali
lagi ke sini, menunggu ia pulang.”
“Tak
ada perlakuan istimewa buat siapa pun. Bahkan untuk kau, anggota paling junior di
antara kami. Kami bersikap agak lunak kepadamu hanya dikarenakan kau itu yang
paling disayang Mama. Jika masih bersikeras tak datang lagi, kau akan kami
seret pergi.”
***
Bersama
hari-hari kelabu, datang kabar-kabar tak tentu. Untuk sebagian orang tentunya. Berita
yang datang seringkali tak bagus. Berisi tentang para prajurit yang tewas tertembus
peluru. Atau hilang tertangkap musuh. Dan di sanalah kamu, berdiri di samping
jalan melihat sosok-sosok prajurit yang terpaksa dipulangkan. Sebagian dari
mereka dalam kondisi cacat, sebagian lagi tampak sehat secara jasmani walau
dengan kewarasan dipertanyakan karena menyaksikan kengerian medan perang.
Sebagian lagi tak bergerak karena terbungkus kantung mayat.
Di
bagian kematian inilah kamu iseng mencari-cari Si Kekasih. Atau sisa-sisa Si Kekasih
jika perlu. Sayangnya ia tak ditemukan. Dibagian yang hidup maupun yang mati.
Si Kekasih juga secara biadab tak pernah kirim telegraf balasan.
“Tuan
prajurit, di mana kekasihku? Tidakkah kau melihatnya di tengah perjuanganmu?”
tanyamu ke setiap prajurit yang dipulangkan itu. Para prajurit itu tak pernah
memberi jawaban meski ratusan kali kamu bertanya. Menggeleng pun tidak. Mereka
hanya melihatmu sejenak sebelum merasa iba. Tapi kamu enggan menyerah. Terus
bertanya ke segenap prajurit yang kembali. Terus titip pesan ke segenap prajurit
yang berangkat pergi.
Orang-orang
mulai mengenal dirimu sebagai Si Calon Pengantin Malang yang Menunggu Si
Kekasih Pulang. Mereka mulai mengirim orang-orang ke rumahmu tanpa diminta. Seperti
janda-janda yang kehilangan suami atau ibu-ibu yang kehilangan putra. Mereka
merasa dengan berbagi duka kamu akan merasa sedikit bahagia. Atau mengurangi
kehilangan mereka. Rumahmu mulai jadi perkumpulan tempat perempuan-perempuan
kehilangan bertemu.
***
“Ketidakhadiranmu
membuat orang-orang marah,” ucapnya saat kamu mengeteh sore dengannya di
beranda. “Kamu membuat kekacauan-kekacauan yang seharusnya tak boleh kamu
buat.”
Kamu
diam mendengarkan sambil memakan biskuit jahe buatanmu. Sementara ia mulai berang.
Suasana di sekitar kalian sepi senyap tak ada suara binatang atau angin
bergerak.
“Jika
kau masih bertingkah, para anggota yang lain akan menghukummu.”
“Aku
tak takut. Suruh mereka semua datang kemari sekaligus.”
Kamu
melihat ia mendengus dengan senyum mengejek oleh kata-kata beranimu.
“Suatu
saat jangan beralasan aku tidak memperingatkanmu jika sesuatu yang buruk terjadi,”
ia berhenti sejenak. “Bukan padamu, tapi pada orang lain yang kau kenal.”
Kamu
memelototinya karena ancaman itu. Dan ia buru-buru melarikan diri.
Mulai
hari itu kamu jadi lebih awas akan masa depan yang menunggu. Kamu tak pernah lagi
tidur. Meski sejak awal memang tak perlu. Kerusakan otak di bagian yang
mengatur mimpi telah membuatmu sejak lama tak membutuhkan tidur. Kamu hanya
pura-pura tidur untuk menyenangkan orang lain.
Perang
masih berkecamuk. Syal-syal tanpa tuan makin bertumpuk membuat gunungan di rumahmu.
Kabar Si Kekasih tetap misteri. Kamu mulai cemburu pada tubuh-tubuh tanpa jiwa
yang berpulang. Setidaknya mereka bisa bertemu kembali dengan orang-orang yang
mengasihi mereka, meski mereka tak butuh lagi belas kasihan. Karena mereka
sudah dipeluk dingin kematian.
Tentang Penulis
Aldi
Rijansah, lahir di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Saat ini sedang
berkuliah di Prodi Kehutanan, Universitas Mataram. Bisa diajak berteman melalui
Instagram: @aldi_saja04.
ILUSTRATOR
Alexong,
Situbondo, 09 September 1999. Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi
Pendidikan Seni Rupa. Bahagia membaca, menulis, melukis, dan bejualan buku di
Instagram @mellebuku. Ia dapat dihubungi melalui akun Instagram @alex.ong1999.
Mungkin kekasih sudah lupa akan ucapan yang pernah dilontarkan, bukan karena sengaja, tapi keadaan di medan perang sangat ironis. Ia harus bertahan dari berbagai kemalangan yg dirasakan. Mungkin ia juga lupa tentang dirinya sendiri, seperti mayat hidup yang menunggu ajal, kehidupan di medan tidak semudah yang ia pikirkan.
BalasHapus