Cerpen: Di Langit, Sore Masih Jingga
Oleh:
Aldi Rijansah Putra
Semua
hal di sekelilingnya berantakan, tercerai-berai, dan berbau kematian. Bus
terbalik dan terbakar. Mayat-mayat penumpang yang tergeletak, serta banjir
darah merah gelap. Hal pertama yang dia lihat ketika membuka mata adalah langit
sore yang jingga, dengan kepulan asap hitam yang membumbung tinggi ke cakrawala.
Samar-samar dia juga mencium aroma daging hangus. Serta hawa panas dari bus
yang dilalap api. Dan suara erangan derita manusia lain yang menunggu kematian.
Di mana aku? Apa yang terjadi?
Dia
berusaha memikirkan apa yang telah terjadi pada dirinya, dengan kesadaran yang susah
payah bertahan. Sedetik kemudian kepalanya langsung pening. Tapi dia sadar
telah mengalami kecelakaan. Dia dan segenap mayat dan segenap manusia setengah
sekarat yang bergelimpangan di sana adalah korban dari musibah yang terjadi.
Tubuhnya
sangat letih dan sakit, tapi dia mencoba menggerakkan badan. Pertama-tama,
menggerakkan jari-jemari di kedua tangannya. Jari-jari itu berhasil menekuk
perlahan. Selanjutnya dia mencoba menggerakkan kepala, kepalanya juga berhasil
sedikit bergerak. Tapi ketika dia mencoba menggerakkan kedua kaki, dia sulit
merasakan gerakan apa pun. Sekuat apa pun dia membuat gerakan. Tentu saja
karena kedua kaki itu sekarang tertimpa pintu logam bus yang terlepas. Terdapat
darah mengalir dari sana. Merah basah luas menggenang mirip jus tomat tumpah atau
sambal yang kelewat banyak ditambahkan rawit merah. Dan pasti juga, tulang di
bagian itu telah patah memisahkan diri secara terpaksa. Pipinya pun tanpa dia
sadari telah basah oleh air mata yang dibarengi sakit yang tak tertahan. Rasa
sakit terhebat yang pernah dia rasakan.
Di mana bantuan? Kenapa
mereka masih belum datang? Apa karena kecelakaan ini baru terjadi, sehingga
mereka belum mengetahuinya? Atau karena jarak yang jauh, sehingga ambulans dan
polisi masih dalam perjalanan. Atau tidak ada yang tahu bahwa telah terjadi
kecelakaan?
Dia
merasa takjub dengan pertanyaan-pertanyaan yang tetap terproses dengan demikian
cepat di batok kepalanya, bagai balapan motor GP meski dengan kondisi yang
setengah mampus. Atau lebih tepatnya kritis, dia membetulkan. Dengan sisa 37% poin
kehidupan yang masih melekat di susunan gumpal daging cacat itu.
Memikirkan
segala kemungkinan yang terlintas dan terlindas, dia kembali pening. Itu
membuatnya lelah dan menutup mata sejenak. Sejenak yang benar-benar terlalu
singkat untuk makna kata ‘sejenak’ itu.
Pada
kegelapan mata yang tertutup, samar-samar dia mengingat beberapa hal sebelum
kecelakaan yang menimpanya ini. Semacam kilasan-kilasan cepat ingatan sebelum
ajal menjemput. Tentang harapan-harapan masa lalu yang telah lama terbenam di
dasar ingatan.
Dia
ingat ini adalah kali pertama dirinya merantau. Ke sebuah pabrik kain di kota D
yang berbeda pulau dengan pulaunya menetap. Sebelum dia menaiki bus, yang di
badan metaliknya bertuliskan Damri. Dia
ingat mencium tangan dan meminta doa restu neneknya yang telah rentah dan merawat
dia semenjak bayi, saat ibunya pergi keluyuran entah ke mana dan tak pernah
kembali. Kemudian ayahnya menikah lagi membuat keluarga baru yang barangkali
telah sakinah mawadah warohmah sehingga jarang mengunjunginya.
Dia
juga ingat, bau apek bus penuh penumpang yang dinaikinya. Serta bau keringat
masam para penumpang yang seolah bercampur padu jadi satu, mengalahkan bau tai
anjing paling bau atau bau busuk mayat paling busuk. Membuat dirinya pucat pasi
tak nyaman selama perjalanan, mabuk dan muntah pada akhirnya. Apalagi dengan penumpang-penumpang
susupan yang tak mendapat tempat duduk pada bus yang telah demikian penuh.
Ini adalah kali
pertama aku jauh dari nenek, dalam suatu perjalanan yang menghabiskan enam jam.
Dia
membuka mata. Di langit, sore masih berwarna jingga dan awan bergerak dengan
demikian pelan. Kenapa waktu terasa begitu lambat. Sementara nasibnya berlalu demikian
cepat. Dia kembali menutup mata. Kelelahan. Terlelap. Tapi dia kembali
terbangun karena nyeri. Dia berusaha untuk tetap sadar, meski rasa sakit lebih
banyak mengambil alih. Membuat dirinya terapung-apung antara sadar dan
ketidaksadaran. Dia takut ketika dia menutup mata dan terlelap, maka akan
menjadi akhir baginya dan tak pernah terbangun. Tapi dia pun sebenarnya ingin
tak sadarkan diri, nyeri sedikit demi sedikit mengikis setiap sensor perasa
pada tubuhnya.
Tanpa
sadar, dia pada detik itu berdoa, berdoa agar hidupnya tidak selesai di sana.
Meski dia sendiri sadar, telah lama berhenti percaya pada tuhan, karena ketika
kecil dia telah sering kali berdoa agar dapat bersama ayah dan keluarga baru
ayahnya. Agar ibunya pulang dari perjalanan yang membuatnya lama tak kembali, membawa
oleh-oleh dari petualangan yang mengasyikkan. Walau doa-doa yang dia panjatkan tak
pernah terkabul. Tapi detik itu dia berdoa. Dia sendiri bingung, kepada siapa
dia harus berdoa, apa kepada tuhan yang tak pernah mengabulkan doanya, atau kepada
tuhan-tuhan lain yang belum dia minta doa.
Terserahlah, bahkan
jika aku harus berdoa kepada iblis untuk keselamatanku, akan aku lakukan.
Maka
dia mulai berdoa, ke segenap nama-nama tuhan yang dia tahu serta ke segenap
nama-nama musuh tuhan yang juga dia tahu. Lalu dia tertawa, dia tertawa karena
di saat-saat kritis hidupnya, dia menggantung hidup pada harapan. Hal yang
telah dia buang sejak lama.
Kemudian
sayup-sayup didengarnya suara sirene ambulans dan mobil polisi di kejauhan.
Apakah doanya telah terkabul dengan begitu cepat? Di waktu ajalnya semakin
dekat?
Lambat.
Terlalu lambat. Mereka tak akan sempat. Kemudian sunyi senyap. Dia menjadi
gelagapan. Bertanya-tanya apakah suara sirene tadi tak pernah ada. Dan yang ada
hanyalah ilusi suara fatamorgana yang diciptakan jiwanya yang pelan-pelan
ranggas dan putus asa.
Inikah
yang dinamakan, sekelebat penglihatan palsu yang muncul di akhir kehidupan
setiap makhluk bernyawa. Untuk memberi memori terakhir yang paling diinginkan
seseorang. Seperti yang pernah dibacanya di komik-komik Jepang pinjaman.
Kini
disadarinya maut benar-benar amat menakutkan lebih dari apa yang dapat dia
bayangkan di hari-hari biasa yang minim kejadian. Sementara dia sendiri tak
punya persiapan apa-apa menghadapi kematian.
Kemudian
semilir angin sore berhembus, mengenai luka-luka merah terbukanya, menimbulkan
sakit pada kulit-kulit yang terkelupas. Bersama angin seolah datang bisikan.
Bisikan yang terlalu benar-benar pelan. Bisikan yang seolah berkata, “Aku
memegang kata-katamu.”
Apa
itu? dia bertanya-tanya dari mana datangnya suara itu. Terdengar seperti dari
arah yang jauh tapi seolah dekat juga. Lalu dia sadar betapa rancu kalimat “seperti
dari arah yang jauh tapi seolah dekat.” Betapa tak jelas.
“Sebelah
sini,” kata suara misterius itu. Kini dia yakin pikirannya tak sedang menipu.
Dia mencoba mendongakkan kepala untuk melihat sosok si pemilik suara. Tapi
terlalu kehabisan tenaga untuk sekadar membuat gerakan yang sepele itu. “Tak
perlu membuat banyak gerakan. Kau itu hampir mampus.” []
Tidak ada komentar