Cerpen Mored: Kesatria Berbantal Ombak, Berselimut Angin
Ngapotè
Wa’ lajârâ
ètangalè
Rèng
majậng
Tantonah la paḍâ molè
Oleh:
Ahmad Aqil Al Adha
Dia
pulang dengan gagah, setelah meyelesaikan tugas kesatrianya. Naiknya Matahari
ialah perantara sang Maha untuk diperbolehkannya mereka pulang dari tugas suci.
Dia pulang disambut senyum keluarga yang menjadi terompet istana bagi kesatria
alpha. Tak ada banyak hal pada pagi itu. Pagi dengan ikan kuah kuning untuk
membayar lelah, usai sang kesatria berselimut angin, berbantal ombak. Dia
kerjakan sebelum istirahat panjang tuk bekal kekuatan malam nanti.
Ya,
tak ada yang berbeda dari hari sebelumnya, hanya air hujan deras turun. Bangsa
Viking mengatakan ini hal yang baik dalam pragmatisme mereka, juga sebagai
suatu pertanda begitu sang alkemis melihat alam. Tenang, damai fajar itu. Dia
tidur diiringi hujan.
Para
lebai mengumandangkan kidung-kidung kepada nabi dalam masjid. Panggilan kesatria
datang. Dia menyiapkan persenjataan sore itu; jala, bom ikan, dan beberapa arak
penghangat elegi malam. Berangkat pada waktu-waktu itu sangatlah strategis;
angin darat menerbangkan dirinya ke lautan,− ikan-ikan mulai tidur
di peristirahatannya−pikirnya. Dua orang
temannya berselimpang sarung di badan, kemeja lusuh serta baju kaos partai politik
warna putih kusam. Persiapan sore itu menghabiskan satu setengah jam. Dan saat
mendekati magrib dimulailah perjalanan persembahyangannya.
Suasana
semakin gelap. Teman berkemeanya mulai menyalakan damar petromaks. Api menjalar
berserat menari seperti kuda liar dalam kaca saat diterpa angin laut malam.
Merah dan sangar. Putaran gelas arak pun berjalan. Sang kesatria laut menuangkannya
dalam gelas kecil. Dimulai dari nelayan berkaos partai politik. ”Tegukan ini, akan
dirasa sebagai perjalanan ke sorga” ujarnya, diiringi sendawa hangat.
Tuangan
kedua berada dalam genggaman si berkemeja.
”ini
arak, kan?” Pertanyaan yang tanpa jawab. ”Aku selalu berkhayal meneguk arak
dari anggur sorga,” lanjutnya.
Begitulah
seterusnya tuangan berputar sampai saatnya mereka bertiga siap mengerjakan
tugas suci, seperti pasukan kavaleri. Mereka menurunkan jala dan jala siap
dilempar.
“Berapa
tegukan sorga yang telah masuk di tubuhku?” tanya sair mereka dengan seliweran,
hampir jauh.
“Kau
ini mabuk laut atau mabuk kepayang?” itu jawaban sekaligus pertanyaan mereka
berdua
Saat
itu kesatria masih dalam seliweran hujan deras akan jatuh menghantam perahu fiber
di atas dataran lautan. Hujan itu lebih deras, mungkin paling deras yang pernah
mereka alami selama dia menekuni tugas suci. Tak ada yang lebih mengerikan
ketika mereka dihadapkan oleh gurita besar, menggulung dengan delapan tentakel
lengket menjijikkan. Satu per satu mereka meloncat dari perahu. Toh, mereka
tahu itu tak akan menyelamatkan nyawa mereka. Mereka dibuat terombang ambing
oleh dewa laut.
“Hanya
orang yang seliweran yang selamat, karena dia menolak sadar,” begitulah kata
nenek moyang, −bau anyir−mereka berpesan di
akhir ceritanya. Ternyata gurita itu hanya memorak-porandakan perahu mereka dan
membiarkan kesatria mereka gogrok dalam kegelapan air asin. Gelap. Tak ada
siluet api menjilat. Kesatria hilang dalam gelap, tanpa perlawanan untuk
menyelamatkan diri dan lebih dari pada itu pasrah terbawa arus air. Dia membuka
mata, melihat kenyataan. Purnama malam tanpa awan, cantik, membuat semua orang
menginginkannya sebagai teman tidur. Melirik ke samping, anak ikan terbang
mempelajari kenikmatannya. Makhluk laut yang bisa merasakan angin di luar meski
hanya sepersekian detik. Mencoba loncat, tapi terlalu mugil untuk bisa. Sang
induk pun datang mengajari.
Entah
sampai kapan terus begini, pikirnya. Semakin dalam dia tenggelam, terlihat
jelas hal-hal niskala. Seekor cumi menari bebas dalam tarian ular meber.
Begitu lihai tariannya, dilihat darimana pun juga dia memang menguasai tarian,
seakan dia terbang menggapai sana-sini dalam pelajaran kesadaran. Tak seekor
pun ikan mengganggunya dalam tarian itu. Membiarkan dia begojek senda gurau di
dalam alam bawah sadarnya−melupakan masa lalu
dan harapan-harapan.
“Perjalanan
ini seolah dalam dunia anomali,” celotehnya, seakan tak percaya.
Terakhir
yang dia ingat adalah paus biru danawa. Bergumam tak jelas, semacam membaca ajimat,
mungkin mantra-mantra atau jampi. Dengan bahasa yang tidak dipahami, entah
bahasa mereka, bisa jadi dengan-Nya. Gumamannya gemeletek dalam gelombang laut.
Mata dia tutup (mencoba menyimak apa yang keluar dari bacot si gacoan). Suaranya
kecil dan semakin kecil saat mendengar suara itu.
Terompet
kerajaan ditiupkan tiba-tiba. Telah datang sang raja jawara. Dia membuka mata.
Empat ekor kuda putih menggiring bendi mewah gemerlap. Tak pernah tertulis
dalam sejarah penghuni lautan mempunyai barang semewah itu. Dihiasi emas dan
permata. Memantulkan cahaya cantik dalam gelap lautan. Roda-rodanya dibuat dari
besi murni. Dihiasi dengan hiasan warna-warni. Sangat menarik. Singgasananya
terbuat dari kulit sapi benggala, hitam-putih. Dia terpesona pada makhluk di
atas singgasana itu, menggunakan pending cantik. Tubuhnya dibalut dengan gaun
hijau panjang setengah dada dan akan berkibar terkena arus. Dia tidak berdangka
kehidupan laut terdapat wanita dengan kecantikan luar biasa, yang selama ini dia
bersikap acuh pada hikayat lisan leluhurnya tentang Ratu Selatan.
Bendi
itu melejit di lautan dalam. Cahaya bulan masuk menusuk dalam air. Di dalam sana samar-samar cahaya bulan
seperti lampu sorot, meyoroti,−konon−Ratu
Selatan itu.
Pipinya
kemerahan. Begitu elok dan anggun di atas singgasana. Rambutnya mengembang
dalam air. Rambut hitam, legam dan tebal lurus. Ialah kecantikan abadi pada
masanya atau seterusnya. Tak akan pernah pudar atau berkarat walau terkena
gerusan air laut yang asin. Entah mau kemana ia akan melesat. Ikan-ikan serta
habitat sekitarnya mendudu setia, mengikuti kemana dia pergi dengan
mendengungkan kidung syukur atas anugerah yang diberikan laut. Sang kesatria
diam, tertegun atas semua ini. Lautan yang dihadapkan pada kehidupan manusia
adalah suatu hal yang niskala. Alam yang dikeruk untuk memenuhi kebutuhannya
dari-Nya. Semua tahu, di sana genangan air pasti dilengkapi ikan-ikan berteduh
di terumbu karangnya serta spesies-spesies lautan lainnya. Semua tahu itu.
Pergulatannya dengan lautan merupakan sesuatu yang pekik: lautan adalah
fenomena yang indah sekaligus menakutkan baginya.
“Kau
ini mabuk laut atau mabuk kepayang?” kedua teman sang kesatria menghardik.
“Tidak!
Aku mabuk niskala”.
***
Burung
camar terbang dengan takdir angin laut ke daratan. Terbang tinggi. Suara
melolong, memekik ke telinga pendatang bibir pantai tersebut. Matahari, hari
itu, menebar cahaya megah, tapi bukan itu yang menjadi buah mata penduduk
sekitar, -- menjadi hal biasa melihat seekor camar memekikkan telinga dengan
sura melolong--. “Lihat saja apa yang dia cengkram,” sorak petani garam.
Seekor
camar putih mengepakkan sayapnya untuk bertahan di udara, membawa topi caping
janur kuning dengan kuku hitam tajam. ”Kuat betul cengkramannya dan Tuhan
betul, menciptakan apa yang dibutuhkan,” salah seorang menyahuti petani garam.
Hingga
camar laut tersebut terbang ke arah Matahari terbit, tak seorang pun pergi dari
sana. Mereka masih membicarakan camar laut bau anyir itu. Sampai kepala suku,
yang bekerja sebagai petani garam menutup perbincangan. ”Kita diciptakan berkeringat dan berkencing
anyir, di sanalah juga persembahyangan kita,” katanya, sambil menunjuk lautan.
[]
TENTANG
PENULIS
Ahmad
Aqil Al Adha, lahir di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, 11 Januari 2006.
Selepas
tamat sekolah dasar di Kota Kelahiran yang dikenal sebagai Kota Tapai (tape),
Aqil kemudian melanjutkan Pendidikan MTs sekaligus mondok di Pondok Pesantren Nuru
Jadi, Paiton, Probolinggo. Saat di
pondok ini, Aqil memilih tinggal di Asrama Program Badan Pembinaan Khusus (BPK)
Bahasa Inggris. Pada 2020, Aqil terpilih dalam system demokrasi sebagai
Presiden BPK Inggris. Saat itu juga Aqil mulai aktif dalam Komunitas Jalur Kiri
yang dibentuk oleh para seniornya di Ponpes Nurul Jadid. Komunitas ini banyak
mendiskusikan mengenai isu-isu sosial, budaya, termasuk sastra. Selain itu,
Aqil juga mulai belajar menulis artikel/opini dan cerita pendek. Sejumlah karya
cerita pendeknya kemudian dimuat di media Komunitas Jalur Kiri dan media
internal Pesntren Nurul Jadid, serta di www.wartanu.com
Saat
ini Ahmad Aqil duduk di bangku Madrasah Aliyah (MA) Nurul Jadid dan terus
menggemari bacaan-bacaan fiksi serta non-fiksi yang berkaitan dengan berbagai
tema sosial dan budaya.
Tidak ada komentar