Resensi Ada Apa dengan China?
Pesan
Bijak Santri di Tahun Politik melalui Filosofi China Klasik
Penulis:
Achmad Faizal*
Judul
Buku : Ada Apa dengan China?
Penulis
: Novi Basuki
Tahun
Terbit : September, 2019
Halaman
: xvi + 134
Penerbit
: Buku Mojok, Yogayakarta
ISBN
: 978-623-7284-10-9
Harga : Rp58.000,00
Jelang
pemilu tahun 2024 mendatang, riuh rendah debat kusir kerap terjadi di berbagai
media sosial. Seiring dengan fenomena tersebut, pun banyak bermunculan berbagai
akun tokoh yang mencari “panggung” melalui media ini. Setiap pendukung memantik
adu argumen tentang siapa yang paling
pantas memimpin, rekam jejak paling impresif, dan visi paling aplikatif demi
kejayaan bangsa di masa depan. Namun, terkadang kondisi ini menimbulkan friksi
yang tak remeh bahkan bisa saja berujung pada chaos antarpendukung. Gambaran ini seperti ajang lima tahunan jamak
terjadi di negeri kita.
Berkaca
pada fenomena Pilpres 2019 tempo lalu adalah barangkali menjadi fakta terburuk
yang tak terbantahkan dalam sejarah bangsa Indonesia setelah kemerdekaan di era
reformasi. Di saat perkembangan informasi dan teknologi yang semakin
canggih—yang seharusnya meningkatkan kekayaan pengetahuan—justru menjadi boomerang dan buah simalakama. Betapa
tidak, kemudahan arus informasi melalui kecangghihan teknologi yang ber-seliweran tidak selalu memuat informasi
penting dan faktual, tetapi juga “kebanyakan” bermuatan negatif.
Riuh
pesta rakyat yang seharusnya dilalui dengan gembita dan intelek justru
hancurlebur dengan kaburnya informasi. Bahkan, media televisi—selaku sarana
yang paling banyak dijangkau rakyat—sudah seperti kehilangan netralitas
informasi. Apalagi di media digital kekinian, banyak pula bermunculan akun
abal-abal, platform website provokatif, hingga seolah sulit
menemukan sumber informasi yang benar-benar terpercaya. Begitu pula media
cetak, terkadang juga sulit menjamah informasi yang benar-benar sesuai dengan
kenyataan dan edukatif.
Justru
dengan kecanggihan teknologi, seolah peristiwa apa pun dapat diciptakan. Hal
ini tidak hanya berupa sebuah narasi kejadian tertentu, tetapi juga bentuk
visual bahkan audio visual. Informasi tersebut kita kenal dengan sebutan berita
bohong, dikenal dengan hoaks, yang dapat menggiring opini publik yang sesat dan
menyesatkan. Payah sekali bukan. Dan sasaran hoaks yang paling “renyah” untuk
“digoreng” adalah isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Di
negara Indonesia yang multikultural, hoaks soal SARA selalu menjadi momok yang mahadahsyat dalam membuat
kegaduhan dan gonjang-ganjing terhadap stabilitas negara. Seperti yang kita
ketahui, peristiwa Pilpres 2019 lalu seolah bukan lagi pesta, melainkan
pembumihangusan demokrasi sebab yang tampak bukan tentang adu visi misi dan
kecakapan dalam kepemimpinan melainkan perang SARA khususnya mengarah pada
etnis dan agama tertentu. Menjijikkan sekali. Yang ada hanyalah fanatisme akut
dan buta, sikap rasis, yang perlahan menenggelamkan nurani kita dalam
menghadapi realita.
Dari
latar peristiwa itu, mari kita berdamai pada kenyataan dan hati yang tenang. Sejenak
meluangkan waktu dengan membuka lembar demi lembar pada 23 esai yang terkumpul
dalam suatu rekaman berbagai peristiwa. Daripada kita hanya makan hati dengan informasi yang konon katanya ada tim cyber pihak tertentu—yang mungkin juga
kita tak tahu pasti sebenarnya—yang hanya menimbulkan debat kusir atas
informasi-informasi geje. Kita
berdiskusi dengan membaca berbagai rekaman peristiwa yang ada dalam tulisan
Novi Basuki yang menarik.
Tentu
setelah apa yang terjadi dan kita dapatkan dari berbagai informasi sebelumnya,
dari berbagai media, soal kemungkinan informasi hoaks, dan segala
propagandanya, kita perlu pembanding agar apa yang kita pahami seimbang dan
menyeimbangkan. Mungkin kita ingat, bahwa derasnya informasi soal antek aseng yang disematkan pada salah satu
tokoh misalnya, atau penjahat HAM dari isu tokoh lainnya. Tak hanya di situ,
ada pernyataan klaim paling muslim yang kaffah,
pemimpin pengganti rasul, atau China komunis yang paling keji juga bertebaran
isu ini. Terkadang juga muncul politik identitas soal asal suku, kedaerahan,
dan adat istiadat lainnya yang memicu sentiment tertentu.
Cukup sudah, kita digiring ke berbagai asumsi yang kadang keluar dari “goa-goa” gelap tak berpenghuni. Kalau kata Tom Nichols adalah “the death of expertise” atau matinya kepakaran. Era ini benar-benar telah merambah ke kehidupan kekinian di saat harusnya perkembangan IPTEK disertai dengan kecerdasan, kekayaan pengetahuan dan pengalaman, dan kekritisan manusianya. Pada esai pertama dibuka dengan manis tentang bagaimana Islam di Nusantara adalah wujud keramahan dalam beragama dengan tetap merangkul budaya sepertihalnya Islam Konghucu di China.
Pada
esai yang ketiga, Novi Basuki dengan gamblang
membahas kemungkinan akultrasi budaya lebaran yang sering dilakukan oleh muslim
di nusantara terhadap tradisi yang ada di China. Dia mencontohkan adanya mudik,
ziarah makam leluhur, dan halalbihalal
dan berbagi angpau atau hadiah. Dengan realita ini, cukup membuat kita
tercengang bagaimana mungkin kesamaan ini bisa terjadi. Bukan soal siapa lebih
dulu melaksanakannya, melainkan sudah pasti ada keterhubungan budaya yang
saling melengkapi sekaligus sebagai bukti bahwa manusia sebagai zoon politicon (menurut Aristoteles)
yang saling berinteraksi dan bersinergi.
Yang
cukup hangat di tahun politik 2019 lalu juga berkaitan dengan pembahasan soal
Islam di Xinjiang dan unjuk rasa bela Muslim Uighur di China. Isu ini dikaitkan
dengan propaganda mendeskreditkan tokoh dan kelompok tertentu secara membabi
buta. Padahal, kita perlu tahu secara pasti dari yang memang berada di sana
bahkan bukan sekadar jalan-jalan lalu membuat informasi pesanan oknum
berkepentingan tertentu, tetapi studi doktoral lho. Pemberitaan yang mencekam soal muslim di China dengan segala
dimensi anggapan kekerasan, Novi Basuki selaku muslim dari Indonesia yang studi
di sana tak pernah mengalami apa yang diberitakan kebanyakan. Anehkan?
Banyak
lagi kejadian ter-update tentang
pemutarbalikan fakta yang perlu kita simak dengan teliti seperti soal agama,
suku, dan golongan tertentu dalam esai yang ditulis oleh alumnus Pondok
Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, sekaligus mahasiswa doktoral
Universitas Sun Yat-sen tersebut. Menariknya lagi, dalam setiap esainya dia
banyak memasukkan pesan-pesan moral yang filosofis dari tokoh-tokoh China
klasik seperti Konghucu, Confucius, Liu Zhi, Zheng Shen, Kong Ji dan
lain-lainnya. Pesan-pesan bijak tersebut lebih dari cukup untuk mencerahkan
gelap lekap dada kita yang fanatik dan over
thinking.
Buku
kumpulan esai ini sangat menggugah untuk dibaca oleh siapa pun dan dapat
dijadikan obat anti alergi rasis dalam diri, fanatik buta, dan paparan sindrom karebbhâ dhibi’ ‘benarnya sendiri’ terutama
dengan pesan kutipan dari kitab Han Shu
yang menyebutkan, “Bai wen bu ru yi jian”
yang berarti “informasi yang didapat dari mendengar penuturan orang akan kalah
keakuratannya dengan diperoleh dari melihat sendiri meski cuma sekali”. Intinya,
jangan terburu ambil kesimpulan dari setiap informasi, tetapi cerna dulu, atau
perlu kita gali informasi sebanyak-banyaknya bahkan melihatnya sendiri. Kalau
kata anak zaman sekarang saring-saring
dahulu, baru sharing kemudian.
Akhir
kalimat, semoga jelang tahun politik kali ini, kita lebih mawas dalam berargumen,
lebih bijak dan teliti agar tak kecewa terlebih memalukan diri sendiri. Kita
harus tahu bahwa politik itu bukan soal kekuasaan mutlak, tetapi soal diplomasi
dan integritas dalam membangun bangsa meski seolah dimulai dari sebuah
kontestasi.[]
TENTANG
PENULIS
*Penulis
adalah dosen Ma’had Aly Nurul Islam Jember, guru di MA Unggulan Nuris kelahiran
Sumenep, 15 September 1989. Lulusan sarjana dan pascasarjana di Universitas
Jember pada konsentrasi linguistik. Menyukai dunia literasi dan tertarik pada
kepenulisan kreatif, penulisan ilmiah, dan jurnalistik. Saat ini juga sebagai
pengelola website www.pesantrennuris.net
dan sering juga bertugas sebagai editor berbagai buku siswa dan syaikhul Ma’had
Nurul Islam Jember. Bisa dihubungi melalui FB
Achmad Faizal; Kompasiana Achmad
Faizal; email: af09faizal@gmail.com;
WA 081515911551.
Tidak ada komentar