Resensi: Cinta, Ritual dan Balas Dendam
Oleh:
Indarka P.P.
Pernahkah kita terbangun dari mimpi yang mengerikan? Dikejar sekawanan pasukan, berperang, bahkan bercinta. Secara mengejutkan, Menukam Tambo menawarkan pembacaan ke semesta antah-berantah, ganjil, juga mistik. Alurnya yang melompat-lompat sempat membuat kepala saya diserang pusing. Terus terang, demi mencari pada fragmen mana kisah ini berpangkal, saya harus membacanya sebanyak empat kali, sembari menyusun catatan khusus dalam tiga lembar kertas.
Usai bergelut panjang, saya cukup yakin bahwa
seluruh kisah Menukam Tambo diawali dari fragmen jatuhnya Putri Lembah
Awan ke bumi akibat terbuai seruling gading Datuk Bunyi. Di bumi, tepatnya di
tepi sungai, tanpa sengaja tubuh Putri melandai di pangkuan Raden Musa. Maka kemudian
Raden Musa berkali-kali menindihnya dalam sebuah kenikmatan banal yang mahadahsyat.
Putri tiada berdaya. Lama-lama perutnya membuncit. Hari-harinya disekap
kesedihan.
Hingga suatu waktu, turunlah Pangeran bersayap
dari Lembah Awan, hendak menjemput sang Putri. Perseteruan terjadi antara
Pangeran dan Raden Musa. Pada bagian ini, Beri menampilkan adegan melalui
narasi demikian: “Dengan disaksikan Putri yang menyingkir sedikit menjauh,
Pangeran dan Raden Musa pun melompat dan melayang di atas sungai. Langkah-langkah
gemulai, gesit, dan cepat—tangan Raden Musa yang menggenggam pusaka—menebas
angin sejarak kepal tinju dari kepala Pangeran. Dengan lincahnya Raden Musa
menebas lagi dengan gerakan silang, hingga berdentang-dentanglah senjata pusaka
dan pedang Pangeran—menimbulkan percik api biru yang menyilaukan mata memandang
senjata mereka beradu.”
Adu kuat berakhir dengan kematian Raden Musa.
Setelahnya, diiringi siul panjang Datuk Bunyi, Pangeran membawa Putri terbang
ke langit, menembus awan merah lalu menghilang. Nada siul Datuk Bunyi masih
meliuk-liuk, bersamaan jatuhnya sekilat cahaya dari Lembah Awan ke sebuah
tempat yang jauh, tepi Sungai Nambuk Kubo. Di sanalah petaka demi petaka bermula.
Seonggok bayi berbau busuk yang menangis tiada henti membuat dukun-dukun kampung
kebingungan. Salah satu dukun berkata kejadian aneh itu pertanda leluhur
meminta tumbal.
Maka budak lapay—yang kelak diketahui bernama
Palun—dipilih sebagai tumbal. “O, Bahelo Gajo yang terkasih lagi tercinta,
sembah hidup damai tanah-tanah. Terimalah darah, kepala, sepasang kaki, mata,
dan tangan kandung kami, untuk sungai yang meminta.” Namun entah karena apa
dan siapa, budak lapay itu lolos dari sabetan geliwang sakti dukun. Ia
tenggelam ke dasar sungai, kemudian hidup dalam pengembaraannya.
Pada fragmen lain, Palun—si budak lapay
itu—menemukan seekor anjing sekarat lalu menolongnya. Palun yang sungguh ingin
memiliki pasangan dan keturunan, memohon pada Bahelo (dewa) supaya anjing itu
menjadi manusia. “Saat berbicara, kata-kata pertama yang didengar Palun,
anjing itu bertanya siapa namanya. Palun menjawab, namamu Garogaro”. Maka
terjalinlah kasih antara Palun dan Garogaro. Akan tetapi, sampai di suatu
ketika, Garogaro berbalik membenci Palun, lantaran selama ini merasa ditipu
Palun dengan tabiat yang menjijikan—atas nama ritual—yaitu membuang hajat di
atas wajahnya.
Beri membuat kisah kolosal ini semakin runyam setelah
melibatkan tokoh-tokoh lain. Tentang Tagak Sikandung Batin yang jatuh cinta pada
Palun sampai-sampai rela mempersembahkan candi. Namun Tagak Sikandung Batin
akhirnya harus menelan khianat usai menyaksikan Palun berkeringat mesra dengan
seorang pendekar di bawah candi yang ia buat.
Bukan hanya itu, kompleksitas kisah bertambah
ketika suatu hari Garogaro tak sengaja bertemu Lasi Manih, membuat dadanya tumbuh
minat untuk pergi melamar. Padahal saat itu Garogaro masih menjalin hubungan
dengan Palun. Baik Tagak Sikandung Batin maupun Garogaro sama-sama terlibat
seteru dengan Palun pada waktu dan fragmen yang berlainan.
Agaknya Beri secara sadar menyusun kisah dalam
Menukam Tambo ini seakan nirbentuk, sebab tidak ditemukannya alur
teratur yang dapat dijadikan patron tetap dalam pembacaan kisahnya. Hal tersebut
berkonsekuensi pertanggungjawaban atas logika fragmen terkait. Model seperti
ini mengingatkan saya pada novel Sang Keris karya Panji Sukma, di mana setting-nya
(waktu maupun tempat) berpindah-pindah. Namun demikian, dalam subjektivitas
saya, Menukam Tambo memiliki bobot kerumitan yang lebih dibandingkan Sang
Keris.
Perihal setiap adegan kolosal yang Beri
suguhkan, juga membuat saya teringat pada kiat menulis AS Laksana dalam Creative
Writing yaitu Show, Don’t Tell: “Mempertunjukkan apa yang dilakukan oleh
tokoh akan lebih efektif ketimbang menceritakannya kepada pembaca bahwa tokoh
itu telah melakukan sesuatu.”
Secara ringkas—untuk tidak menyebut bahwa nyaris
tak ada kisah yang benar-benar sederhana—Menukam Tambo berisi tentang kisah
cinta tak beraturan dengan balutan dendam, ritual, dan kutuk yang dikemas
sedemikian padat. Meskipun terkesan antah-berantah, saya pikir Beri Hanna sudah
melaksanakan kewajibannya sebagai pengarang yang bertanggung jawab.
Identitas Buku
Judul : Menukam Tambo
Penulis
: Beri Hanna
Penerbit
: Penerbit Jual Buku Sastra (JBS)
Cetakan
: Pertama, Juli 2022
Tebal
: 78 halaman, 13 x 19 cm
ISBN
: 978-623-7904-49-6
TENTANG PENULIS
Indarka P.P., lahir di Wonogiri (Jawa Tengah).
Saat ini bermukim di Mamuju (Sulawesi Barat). Menulis buku “Penumpasan” (Sirus
Media, 2021), dan terbagung dengan Komunitas Kamar Kata.
Nomor HP 085647179164, e-Mail Indarkaputra97@gmail.com
Tidak ada komentar