Tarawih: Pakai Sarung tanpa Celana Dalam
Setiap kali Ramadan, saya sering terkenang saat-saat bersalat tarawih di langgar (musala di kampung halaman bersama teman-teman sewaktu kami masih anak-anak. Ada dua langgar di kampung kami. Satu langgar didirikan Haji Rivai (kami memanggilnya Ji Ripai) dan satu langgar yang didirikan kakek.
Oleh: Rusdi Mathari
Langgar Ji Ripai yang terletak di barat kampung di pinggir kali dikenal
sebagai langgar NU karena salat tarawihnya 21 atau 23 rakaat. Jemaahnya hanya
laki-laki dan kebanyakan para orang tua yang bersarung. Di timur, langgar kakek
dikenal sebagai langgar Muhammadiyah karena salat tarawihnya 11 rakaat dan
jemaahnya, sebagian adalah perempuan dan anak-anak muda yang mengenakan celana
panjang.
Kami yang anak-anak tidak peduli dengan julukan-julukan dan jumlah
rakaat salat itu. Kami hanya tahu, selepas berbuka puasa kami bergembira,
berkumpul bersama menunaikan tarawih lalu bolak-balik ke kedua langgar itu
karena dua hal. Pertama, kami bertarawih di langgar Ji Ripai karena walaupun
jumlah rakaatnya lebih banyak, salatnya lebih cepat selesai. Kedua, sesudahnya
kami akan susul-menyusul menuju ke langgar kakek untuk mendapat jatah kudapan
tarawih yang disediakan bude.
Manakala tarawih dimulai, kami selalu “dijaga” oleh Pak Madun. Dia
kerabat kakek. Usianya setengah baya saat itu. Orangnya lugu dan selalu
mengenakan sarung. Dia biasanya akan memilih barisan salat agak di belakang
persis di depan kami yang berjajar di barisan salat paling belakang. Alasannya
agar kami tidak ribut dan mengganggu jemaah, dan memang, setiap kali sebelum
menunaikan rakaat berikutnya, dia selalu memperingatkan kami untuk tidak
berisik.
“Ssstt...” Begitulah dia selalu memberi isyarat dengan meletakkan jari
telunjuk kanannya di mulutnya, setiap kali kami ramai masih berbicara atau
cekikikan menjelang salat tarawih rakaat selanjutnya. Kalau sudah begitu, kami
biasanya hanya menunduk meskipun sesaat setelah Pak Madun mulai bersedekap,
kami kembali cekikikan.
Suatu malam, kami tertib menunaikan salat sampai rakaat pertengahan. Tak
ada yang bercanda. Tidak ada yang saling senggol. Setiap kali selesai salam,
Pak Madun pun tak mengeluarkan suara “Ssstt...” kepada kami seperti yang selalu
dilakukannya. Kami seolah anak-anak manis yang khusyuk meskipun hal itu tak
berlangsung lama.
Tapi menjelang salat witir, pada saat seluruh jemaah bersujud, terdengar
suara agak keras dari Pak Madun. “Allahu Akbar...”
Jemaah yang mendengar suara itu sebagian bangun dari sujud dan menoleh
ke belakang ke arah Pak Madun dan anak-anak yang berhamburan ke luar langgar.
Tarawih malam itu hampir bubar karena sebagian jemaah kemudian ikut ke luar
langgar membantu Pak Madun mengejar kami yang lintang pukang ke segala penjuru.
Saya dan beberapa teman berlari menuju langgar kakek dan melanjutkan
tarawih di sana. Berdiri di barisan pria paling belakang, kami berusaha
menenangkan diri seolah tak terjadi apa-apa kendati jantung saya terus
deg-degan dirundung keterkejutan dan kuatir Pak Madun menyusul ke langgar
kakek. Kami cukup lega karena sampai selesai kami menyantap semangkuk kacang
ijo, kudapan usai tarawih yang disediakan bude, tak tampak Pak Madun mengejar
kami ke langgar kakek, dan yang muncul malah salah seorang kawan kami.
Dia satu-satunya kawan yang paling bongsor perawakannya. Paling jagoan.
Saat Pak Madun berteriak, dialah yang paling awal ke luar langgar, berlari
paling depan dan dikejar-kejar Pak Madun. Saat seorang dari kami bertanya
padanya, apa yang terjadi, kawan tadi hanya tersenyum. Kami penasaran.
“Aku sentil Pak Madun,” katanya santai.
“Disentil apanya?” seorang kawan bertanya.
“Anunya...”
“Anu apanya?”
“Itunya...”
Kami masih penasaran. Si kawan lantas bercerita, setiap kali salat
tarawih di langgar Ji Ripai, Pak Madun selalu berdiri tepat di depannya. Lalu
pada suatu malam, saat semua jemaah bersujud, si kawan bangun dan melihat
sesuatu di balik sarung Pak Madun. Sesuatu yang bergoyang-goyang yang
membuatnya penasaran. Dan sesuatu itulah yang disentilnya sehingga membuat Pak
Madun berteriak.
“Kenapa Pak Madun berteriak?”
“Karena aku sentil dengan keras.”
“Kenapa kamu menyentilnya?”
“Aku takut menyentuhnya.”
Sontak kami semua tertawa. Pada zaman itu laki-laki sesederhana Pak
Madun yang asli Madura memang jarang mengenakan celana dalam. Baginya bersarung
sudah cukup untuk menutup aurat, meskipun hal itu kemudian membuat seorang
kawan kami penasaran dengan sesuatu yang bergoyang-goyang di balik sarungnya
itu.
Sesudah malam itu, kami libur bertarawih di langgar Ji Ripai hingga
Lebaran. Kami berkunjung ke rumah Pak Madun untuk meminta maaf dan dia memaafkan.
Tak pernah dia bertanya dan menyinggung soal “malam jahanam” yang menimpanya
saat salat tarawih.
Dia meninggal sewaktu saya sudah bermukim di Jakarta sekian tahun dan
kawan kami yang menyentil anunya menjabat ketua RT di kampung kami. Dia yang
mengurus keperluan kematian Pak Madun. Laki-laki polos yang kadang jadi tukang
azan dan anunya pernah disentil oleh seorang kawan. []
TENTANG
PENULIS
RUSDI
MATHARI (Situbondo, 12 Oktober 1967 – Jakarta, 2 Maret 2018) Pernah bekerja
sebagai wartawan lepas Suara Pembaruan (1990-1994), redaktur InfoBank
(1994-2000) dan Detik.com, anggota staf PDAT majalah Tempo (2001-2002),
redaktur majalah Trust (2002-2005), redaktur pelaksana Koran Jakarta
(2009-2010), redaktur pelaksana BeritaSatu.com (2010- 2011), pemimpin redaksi
VHR Media (2012-2013), dan terakhir sebagai redaktur eksekutif Rimanews.com
(2015-2017). Peserta crash program reportase investigasi (ISAI Jakarta) di
Bangkok, Thailand, serta pernah mendapat penghargaan untuk penulisan berita
terbaik dari beberapa lembaga. Buku yang merupakan ulasan kritik terhadap media
baik di Indonesia maupun global ini adalah buku keempatnya setelah Aleppo (EA
Books, 2016), Merasa Pintar, Bodoh Saja Tidak Punya (Buku Mojok, 2016), dan
Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan (Buku Mojok, 2018). Laki-Laki yang
Tak Berhenti Menangis (Buku Mojok 2019). Laki-laki Memang Tidak Menangis,
Tapi Hatinya Berdarah, Dik (Buku Mojok, 2020).
Tidak ada komentar