Cerpen: Gelas, Pion dan Lukisan Picasso
Oleh:
Dengan bekas luka yang membusuk dan bernanah di dada, kukira aku akan cepat mati. Nyatanya tidak. Dari lubang koreng itu, belatung-belatung seolah gesit menggeliat, merambat cepat ke kepala. Mereka mengingatkan, setahun lalu, di depan pintu, kamu pergi dengan meninggalkan bekas sayatan pisau di dada. Bibirmu merah biji saga. Tubuhmu terbungkus blus sekuning daging nangka tua. Kamu tega membelah dada, mengambil sesuatu dari dalamnya, memasukkan benda itu ke kantong plastik, lalu pergi begitu saja seolah tak terjadi apa-apa dengan bungkusan itu di tanganmu.
“Kalau kamu menang dalam sepuluh menit,
menikahlah denganku.”
Andai saja sepotong bibirmu yang masih
tertinggal di tepi gelasku tidak mencoba bersuara, aku mungkin telah lupa. Aku
memang bisa hidup dengan sebelah telinga, sebelah mata, sebelah ginjal, sebelah
tangan, atau sebelah kaki. Namun, sekarang sebelah hatiku tak ada. Entah apa
kamu merasa.
Di luar, serpihan sinar bulan berjatuhan
di tirai jendela ruang tamu. Dalam bias remang abu-abu. Elusan jarimu yang
lentik tiba-tiba pindah ke kepalaku. Mengacak-acak rambutku dengan gemas.
Membuat suhu tubuhku memanas. Di awal perjanjian, sebelum malam berlalu
sia-sia, kita telah sepakat melaluinya dengan luar biasa.
Kamu mengusap tepian cat hitam putih
papan catur dengan bidak berserak di meja. Aku tahu kepalamu adalah mesin waktu.
Garis-garis batasnya begitu perinci. Kamu masih saja ingat satu hal yang pernah
membuatmu kecewa. Kamu bilang laki-laki akan setia, jika tidak ketahuan. Kamu
mencoba mengeraskan suara di bagian akhirnya. Kukatakan padamu tidak semua
laki-laki adalah buaya. Ia bisa saja hanya seekor kadal lucu atau seekor cecak
yang imut, mirip denganku. Kamu tertawa. Mencubit pipiku dengan gemas. Padahal
sedari tadi aku menunggumu mencium bibirku dengan ganas.
Di hadapan televisi 48 inci yang menempel
di dinding, ruangan ini telah berubah jadi arena pertandingan. Di kedalaman
empat mata yang saling tatap, kita sangat paham hidup juga bagian dari
permainan. Selama masih hidup, selama itu pula permainan belum berakhir. Setiap
manusia ditakdirkan masuk ke dalamnya, dalam bagian-bagian level mudah, sedang,
sampai yang paling sulit. Saat ini, kita sedang berusaha menyelami lebih dalam
permainan itu.
“Apa malam juga bagian dari permainan?”
“Maksudmu?”
“Kau genit. Tatapan seperti itu bisa
menelanjangiku.”
“Apa aku harus bermain dengan tutup
mata?”
“Aku mau mandi. Jangan ikut.”
Bagiku, otakmu adalah rangkaian
algoritma. Aku sedang belajar memahami kode dan sandi di dalamnya. Aku memang
tak punya sayap segagah merak jantan demi membuatmu terpesona, atau tarian
merayu belalang sembah untuk mengajakmu berkembang biak. Namun, dari seluruh
tubuhmu, aku suka betismu. Jenjang. Kamu mirip jerapah betina binal. Dan
sepuluh menit setelah kamu keluar dari kamar mandi dengan hanya terbalut handuk
sampai dada, tetiba satu iblis dengan cepat merundingkan sebuah propaganda di
dalam kepala.
“Kamu suka semua lukisan?”
“Hanya beberapa?”
“Itu Le
Tricorne milik Picasso bukan? Asli?”
“Kubeli langsung dari kolektornya di
Amerika.”
Kamu menyandarkan tubuhmu pada tembok.
Melipat kedua tangan di dada. Mencoba menutupi apa yang menyembul dari sana.
Sorot matamu berkeliling. Meneliti setiap sudut ruang tamu. Empat lukisan
kubisme melekat pada satu sisi dinding ruang tamu. Hidungmu melenguh.
Tenggorokanmu mendeham. Terdengar mencibir. Tubuh itu lalu melenggang dan
kembali duduk di hadapanku. Membiarkan rambut lurusmu tergerai basah. Menyisir
dengan jemarimu. Meletakkan untaian rambut itu di sebelah kanan dadamu. Sebutir
air tampak berjalan perlahan di lembah kedua gundukan.
Kamu melihat lagi papan catur. Permainan
baru berjalan setengah waktu dan kamu meminta izin karena gerah. Berjalan ke
belakang dan suara gemercik air terdengar kemudian. Kukira tak semua wanita
suka lukisan, juga permainan ini. Aku jadi paham jika seseorang di depanku
bukan wanita sembarangan. Pernah dengar dari seseorang, kelicikan harus dibalas
dengan kelicikan untuk mengalahkannya. Dan untuk menjadi lebih licik, aku harus
menyampingkan ego dan naluri. Beruntung kamu tak menanyakan apartemen ini
dibayar kredit atau kontan. Harga diri ini bisa dipertaruhkan.
“Kalau caramu berjalan seperti itu dalam
beberapa detik kau akan mati.”
“Ini permainan, bukan peperangan.”
Aku memang sedang memancing sisi
kritisnya dan ternyata benar. Wanita memang selalu ingin menang. Daya ingatnya
juga kuat. Ia masih paham letak bidak dan prajurit lain yang berjajar sesuai
tempatnya. Ia tak menyindirku akan bermain curang dengan menggeser posisi saat
dia ke belakang.
“Laki-laki selalu berambisi tanpa melihat
situasi.”
“Aku akan tetap menang.”
“Kamu terlalu terbawa perasaan. Lihat,
kudamu hilang sekarang.” Kamu menepikan kuda milikku dan menggeser dengan
menteri.
“Tak apa, pionku masih utuh.”
“Apa yang bisa diharapkan dari mereka?”
“Akhir dari sebuah kesabaran.”
Dahimu mengerut. Matamu menyipit. Mungkin
sedang mengunyah ucapanku. Sedang berpikir bagaimana mengalahkanku. Aku
menunduk setelah tatapan yang tak sengaja itu membuatku malu. Tak ingin ambisi
di dalam mataku bisa kaubaca. Tak ingin pula pertandingan ini berakhir remis.
Wibawaku bisa turun.
“Kamu selalu melewatkan pionku.”
“Aku tak suka yang kecil.”
Otakku menghangat. Kamu sengaja
memancingku dengan jawaban konyol seperti itu. Keseharianmu tinggal di Malaga
yang dingin mungkin membuat suhu di Jakarta agak menyiksa. Padahal suhu ruangan
ini telah kuatur di suhu terendah. Entah kenapa ucapanmu membuatku gerah.
Posisi dudukku makin tak terarah.
“Mau minum apa?”
“Aku tak haus.”
“Ayolah. Kamu datang dari jauh. Aku tak
enak.”
“Mengotori gelasmu saja.”
Aku terdiam. Dua gelas wine yang kusiapkan sejak awal di meja
terbiarkan kosong. Padahal minggu ini menyisakan banyak minuman soda di kulkas.
Menunggu kepulanganmu. Bertemu, bermain, bercanda, lalu bercinta. Namun, untuk
kata yang terakhir aku tak yakin dengan ucapanku sendiri. Aku tahu kamu wanita
yang rumit.
“Kamu tak mau red wine? Anggur manis ini dibuat khusus untuk wanita petualang
sepertimu. Kuingatkan lagi padamu minum wine
yang benar. Tanganmu cukup ditangkai gelasnya saja. Takut kau lupa.”
“Seperti rayuan.”
“Sedikit. Berusaha.”
Tutup botol wine tak jadi kubuka. Kukeluarkan satu puntung rokok dalam bungkus
kotak warna biru yang tertindih korek api di samping vas bunga. Sigap menyulut
ujungnya. Menyesap sedikit dan mengembuskan perlahan asap putih itu ke sebelah
kiri kepalaku. Aku takut asapnya merusak kosmetik mahalmu.
“Kukira kamu sudah berhenti.”
“Aku frustrasi sejak kamu pergi. Aku
ingin bebas. Tanpa kekang. Tanpa ikatan.”
“Kamu suka semua lukisan Picasso?”
“Beberapa saja.”
“Cerdas, kritis, egois. Itu kau. Aku
punya kenalan di Granada. Ia juga penggemar lukisan Picasso seperti dirimu.”
Sungguh, aku tak ingin hirau dengan
ucapan itu. Aku hanya ingin fokus mempertahankan delapan pionku. Mereka masih
utuh. Sedang mencari cara yang tepat untuk menyerang dan bertahan. Sedikit
lagi, jika salah satu dari mereka bisa masuk ke akhir baris lawan, aku bisa
mengangkatnya jadi menteri melindungi raja.
“Dari mana kamu tahu aku egois?” Datar
aku membalas ucapannya sambil menggeser satu langkah menyilang memakan pion
miliknya.
“Aku pikir begitu. Itulah kenapa wanitamu
pergi.”
“Ia yang memutuskan pergi, aku tak
mengusirnya.”
“Sudah dapat pengganti?”
“Aku tak mudah jatuh cinta. Tak mudah
pula melupakannya.”
“Kata-katamu rumit.”
“Majulah, rajamu terkepung.”
“Begini.”
Aku mengerutkan dahi. Menunduk lebih
dalam ke papan catur. Gila! Dalam sekali geser kamu bisa balik menyerangku. Aku
yakin otakmu tak lembek dan berisi milyaran kumparan kawat syaraf yang kuat.
Kamu pasti bukan manusia. Di dalam otakmu pasti telah tertanam sebuah chip untuk memprogram dan mendesain
semuanya demi memenangkan permainan ini. Tak kusangka kamu hampir mengalahkanku
secepat ini.
“Aku tahu kamu paling benci kata putus
asa. Ayolah.”
“Kalau aku menang, kamu akan tinggal di
rumah ini denganku? Aku tak yakin. Kamu cantik. Banyak pria-pria yang
menunggumu di luar sana. Aku sering lihat di Instagram milikmu. Teman-teman lelakimu itu berbeda sekali denganku
yang punya ujung perut sedikit maju. Mereka tampan dan kekar.”
“Tidak semua wanita memandang laki-laki
dari fisiknya. Kebanyakan malah memandang dari asetnya. Lagi pula lesung pipimu
itu yang membuatku rindu dan rela datang dari jauh ke sini. Senyummu manis
seperti kecap.”
“Gombal.”
“Kamu tak percaya? Seperti kamu tak
percaya dengan apa yang telah aku selesaikan untuk permainan ini. Lihatlah.”
Rajaku terkepung di antara menteri, kuda,
dan benteng di garis ujung. Terpojok dan tak bisa bergerak lagi. Padahal pionku
sudah selangkah lagi di akhir baris pekarangannya. Kamu memang wanita cerdas.
Permainan berakhir dan aku mengakui kekalahanku.
“Artinya, aku akan melihatmu pergi dari rumah ini?”
“Tergantung.”
“Maksudmu?”
“Aku punya setengah hati yang sudah kau miliki. Aku bisa kembali
sewaktu-waktu. Kemarilah. Aku ingin menunjukkan sesuatu.”
Kamu sigap mengelap jidatku yang berembun dengan punggung
tanganmu. Begitu lembut. Entah kenapa suhu dingin ruangan seolah tak bisa
memadamkan ambisi yang membara dalam dada. Bibirmu merekah sempurna. Semerah
biji saga. Tubuhmu semerbak harum mawar Alba. Aku belum pernah melihatmu
sesempurna ini. Tak sadar jika kamu sedang berusaha menguasaiku ketika handuk
di tubuhmu kaulepaskan perlahan-lahan menuruni dada. Lalu, satu iblis dengan
cepat membisikkan rayu dalam kepala.
Laki-laki memang sangat lemah terhadap goda wanita. Dan jerat itu
berhasil menjebakku dalam kubangan yang telah dibuatmu ketika pagi hari aku
terbangun dan menyadari tubuhku tak memakai apa-apa di atas sofa. Terkapar tak
berdaya dan melihat kondisi ruang tamu yang sunyi. Tak ada siapa-siapa. Selain
lenguh suara manis itu yang juga hilang, aku baru sadar satu lukisan Picasso
telah lenyap di depan mata.
Sialan!
Biodata Penulis
Dody Widianto lahir di Surabaya. Pegiat
literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media
massa nasional seperti Koran Tempo,
Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo,
Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat
Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Fajar
Makassar, Rakyat Sultra, dll. Akun IG: @pa_lurah.
ILUSTRATOR
Alexong, Situbondo, 09 September 1999.
Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni Rupa. Bahagia
membaca, menulis, melukis, dan bejualan buku di Instagram @mellebuku. Ia dapat
dihubungi melalui akun Instagram @alex.ong1999.
Tidak ada komentar