Kepingan Kenangan di Kota Santri Situbondo
Oleh:
Baiq Cynthia
Siang yang terik, orang-orang pada sibuk dengan urusan masing-masing, pada kegiatan pengantrian hewan kurban. Aku menunggu kehadiran seseorang yang masih memiliki ikatan darah, tentu saja bagian dari keluarga besar. Ia juga menempuh pendidikan santri di salah satu pondok pesantren di kota Bondowoso. Setelah mengisi daftar kunjungan, santri senior memanggilnya. Kami pun bisa bertatap muka.
Balita
cantik yang dulunya sering bermain ke rumah, dan aku ajak menggambar juga
mewarnai kini tumbuh menjadi gadis yang lebih tinggi dariku, ia adik sepupuku.
Aku tanyakan bagaimana keadaannya di pondok. “Kamu kerasan di pondok?” ia
tersenyum mengangguk. Menanti kedatangan mamanya yang juga bibiku, katanya
berangkat dari Situbondo jam 08.00 WIB namun belum juga terlihat. Siang agak
beranjak aku mengajak anak-anakku berkunjung pada salah satu teman yang menjadi
alumni pondok.
Terkadang
aku tidak menduga waktu melesat begitu cepat, melihat tumbuh kembang anak-anak
yang sulung sudah bisa menaiki sepeda yang bungsu masih belajar bicara, ia
senang mengekori kakaknya. Pikiranku kembali terbawa pada masa kecil di
Situbondo, yang setiap pulang sekolah dasar ikut bermain layang-layang. Orang
menyebutnya kope’an. Ada yang berwarna polos, ada titik satu, ada
yang setengah lingakaran dibilang kalong, kalau layangannya terlihat
lebih tinggi pasti diadu. Sepupuku kadang curang selain menggunakan senar yang
tajam juga menambah dengan kawat. Ternyata layangannya malah kalah dan tertiup
angin ke arah selatan.
Kami
pun melakukan pengejaran, ini momen yang sering dikejar oleh banyak pencinta
layangan. Mungkin kalau kita berpikir saat ini, harga layangan yang tidak
seberapa namun diperebutkan banyak anak. Padahal kalau sudah mengejar
layang-layang berasa di jalan lomba lari, padahal di trotoar jalan raya.
Aku
dan dua teman laki-laki mengejar layang-layang. Lebih dua kilometer dari rumah,
hampir ke terminal. Kami bertemu dengan laki-laki keturunan Tionghoa, ia
memberi uang selembar warna ungu Rp.10.000 bagi kami saat itu nominalnya besar
bisa untuk beli bakso 5 mangkok. Akhirnya kami pun menerima uang itu dan
membagi tiga, sisanya untuk rental PS (Play Station). Hiburan anak-anak kala
itu sangat istimewa.
Aku
kembali tersadar ketika bibiku memberikan lambaian tangannya, kami pun saling
berpelukan. Rindu banget sama Situbondo, batinku. “Ini tante bawa mangga
manalagi,” ia pun menunjukkan lima buah mangga yang besar-besar. “Makasih, Te!
Cuma adanya di Situbondo.”
Aku
lagi-lagi senang karena dibawain nasi bungkusan, berupa nasi sari asih. Ini
salah satu ayam goreng legendaris yang rasanya punya ciri khas, ada
manis-manisnya. Dulu aku kalau sakit selalu dibelikan ayam goreng sari asih,
entah kenapa cepat sembuh. Kalau pagi biasanya makan tajin palappa, bubur yang
memakai topping bumbu kacang. Ada tambahan sayur kangkung rebus dan hongkong.
Pokoknya Situbondo itu bikin kangen. Belum lagi kalau malam cari tahu tek-tek,
apen dan lopes rasanya beda di kota yang sekarang aku tempati.
Ingat
banget saat hamil pernah ngidam kaldu, daging kambing yang diolah dengan kacang
ijo, muter-muter kecamatan Ambulu dan Jember tidak aku temukan. Lalu saat aku
mulai melamun, perempuan yang sedari tadi bermain dengan anakku mengagetkanku.
“Ngelamun
aja!”
“Iya,
Tante,” aku tertawa kecil.
Aku
cerita kalau sempat bertemu dengan salah satu guru kesenian yang mengajar saat
SMA. Kami membicarakan soal aneka budaya yang layak untuk diangkat dalam bentuk
karya. Ia pun sangat setuju. Hanya saja, ia mengatakan setelah kamu lulus masih
belum ada siswa yang mau menggeluti seni secara mendalam. “Sekarang zamannya
sudah kecerdasan AI,” celetukku. Guruku menyanggah, “Memang benar segala
sesuatu bisa cepat dengan mesin, tetapi suatu saat nilai otentik seni akan
tergerus.”
“Masih
kalah canggih dengan hasil karya manusia,” jawabnya sambil tertawa.
Ia
juga bercerita banyak soal seni yang ia geluti dari SD, sekarang pun masih
menggeluti hobi melukis di berbagai media dan ragam tekhnik.
“Kalau
bisa tulisan kamu yang ada namanya kamu, nanti terbit.”
Aku
mengaminkan. Ia juga berpendapat kalau masih memiliki balita memang proses
berkarya akan tersendat, namun seiring berjalannya waktu bisa berhasil.
Aku
jadi rindu kota Situbondo, berjuta kenangan ada di sana. Namun, sayangnya
orang-orang yang aku sayangi sudah banyak yang meninggalkanku lebih cepat.
Sahabat-sahabat sudah punya kesibukan sendiri dan hanya tinggal kenangan saja.
Namun, terkadang aku masih berkomunikasi dengan teman literasi dan melihat
perkembangan kota Santri yang dulu dianggap kota mati.
Kini
Situbondo punya banyak tempat wisata yang menarik, gedung-gedung pendidikan
yang maju dan beragam mall maupun jajanan kekinian. Belum lagi tata kelola kota
yang menjadi jalur pantura penghubung Surabaya ke Bali pun sangat tertib.
Situbondo juga memiliki garis pantai terpanjang di Jawa Timur. Makanan khas
oleh-oleh seperti rengginang pun beraneka rasa.
Kalau
pulang ke Situbondo, rasanya tidak ingin kembali. Namun, karena tuntutan
keadaan tetap mengharuskan kembali. Sore yang sepi, tugas kami di Bondowoso
sudah selesai. Aku pun berpamitan dengan tante, mentari di ujung barat terlihat
kemerah-merahan. Hari ini sudah tuntas, ada hari esok lagi.
TENTANG
PENULIS
Baiq
Cynthia penulis konten kreator, fiksi maupun artikel. Di tengah kesibukannya
sebagai ibu dua anak dan entrepreuner, masih suka menulis di beberapa website. Pernah
menulis buku Solo September Wish, beberapa antologi Mayor seperti DARAH, LDR
Survival Kit (Elexmedia, 2020). Yang terbaru Good Life Good Inspiration,
Skenario Allah selalu yang Terbaik (Trenlis, 2023), dan beberapa antologi
lainnya. Pernah masuk inkubasi SCENE angkatan 2 di Surabaya, 2021. Karya
terbarunya terbit di Kompas (Artikel Quanta) berjudul "7 Produktivitas
Muslim di Tahun 2023 Datangkan Rezeki tanpa Disangka-sangka".
Tidak ada komentar