Politik Menyegarkan Ala Mas Rio
Oleh: Nurul Fatta
Kata “Patennang” lagi
rame di
Situbondo. Tersangkanya
siapa lagi kalau bukan Mas Rio dengan banner orangenya itu. Tersebar di mana-mana dan membuat publik Sibon
bingung. Mau ngapain sih orang ini kok patennang,
patennang.
Patennang! Saya punya cerita untuk Anda.
Saat itu, saya dan Mas Rio terburu-buru
menuju boarding gate.
Bukannya kesusu karena
hampir ketinggalan pesawat, Mas Rio malah selow aja dan bilang ke saya,
“patennang”. Emang agak lain nih orang batin saya.
Tapi memang benar kok. Mas Rio ini memang
menyenangkan.
Di dalam pesawat, saya berkesempatan berdiskusi
tentang Situbondo. Saya bertanya begini.
“Mas,
sampean kalau ditakdirkan jadi pemimpin di Situbondo. Apa yang pertama kali samean ingin lakukan?,” Tanya saya penasaran.
“Saya
ingin membuat Pendopo sebagai
rumah rakyat. Biar pendopo jadi ruang dialogis antara rakyat dan pemimpinnya.
Menghapus sekat-sekat birokrasi yang feodalis, menciptakan
perdebatan ilmiah di ranah birokrasi dalam menentukan kebijakan. Jadi, birokrat bekerja
bukan hanya atas dasar perintah Bapak,” jawab Mas Rio.
Mendengar
itu saya diam. Lalu
membayangkan jadi rakyatnya. Setiap hari datang ke pendopo hanya
untuk ngajak debat bupati. Entar ngigir dan cak-ngocak.
Mungkin Anda akan bilang “Du apa. Rakyat posang, malah eberrik tempat adebat. Ye kaso,”
Tunggu. Poin penting yang
mesti Anda catat
dari jawaban itu adalah tersedianya tempat berkeluh kesah. Coba lihat, di mana
di Situbondo ada tempat curhat? Yang mempertemukan rakyat dengan pemimpinnya.
Pemimpinnya bisa mendengar langsung dan mencari keputusan yang bijak. Sampai
saat ini saya tidak menemukan yang semacam itu.
Bagi saya yang mantan aktivis, ide Mas Rio tentang
pendopo sebagai rumah rakyat itu adalah menyenangkan. Adik-adik mahasiswa tidak
perlu khawatir. Kalau ada yang gak cocok kebijakan bupatinya, demo saja di pendopo.
Begitu juga masyarakat. Ada keluhan, datang aja ke pendopo. Temui langsung
bupatinya. Enak kan?
Jadi
pendopo itu bukan sebagai ruang elitis yang hanya boleh disinggahi
pejabat-pejabat, yang kemudian nyanyi dan joget-joget.
Nah ide pendopo sebagai rumah rakyat itu adalah wujud
bahwa pemerintahan dijalankan bersama rakyatnya. Bergandengan. Segala yang menjadi gagasan untuk
rakyat didialogkan bersama rakyat.
Pandangan
saya begini, kehadiran Mas Rio perlahan ingin mengubah gaya kepemimpinan yang
monolog, yang hanya mengedepankan ambisi seorang pemimpin. Kepemimpinan semacam
itu justru melahirkan birokrasi yang gagal. Sebab semua kebijakan didominasi
dan dihegemoni tanpa mementingkan aspirasi. Model pemerintahan seperti itu
cenderung antikritik. Tak endhe’ esala’aghi. Kira-kira itu gambaran
pemerintahan yang dijalankan dengan pendekatan rasionalitas instrumental. Ghellu
ra.
Jadi
dijalankannya sebuah kebijakan bukan karena alasan yang penting bapak
senang, mendapatkan penghargaan, dapat sertifikat, selesai. Padahal tidak
ada dampak daya guna atau nilai kebermanfaatan yang dapat dirasakan langsung
oleh masyarakat.
Misal
lebih jelasnya begini, pemerintah ingin mengatasi krisis pangan dengan menanam
bibit padi unggulan, tapi rakyat masih teriak-teriak kebingungan mencari
pupuk. Ujuk-ujuk membawa solusi, malah nambah
masalah untuk masyarakat.
Pemahaman
Demokrasi Deliberatif
Berbeda
dengan ide kepemimpinan yang dicitrakan Mas Rio. Dia ingin membentuk
kepemimpinan, bahkan pemerintahan dengan pendekatan rasionalitas komunikatif.
Wah
apalagi itu? Ya persisnya begini, sebuah pemerintahan yang memberikan ruang
dialogis agar rakyat dapat berdiskusi langsung dengan pemimpinnya. Sehingga ada
komunikasi dua arah untuk mencapai sebuah kesepahaman bersama antara pemimpin
dan rakyatnya.
Kalau
saya katakan ide Mas Rio di atas merupakan salah satu pendidikan politik
tentang demokrasi deleberatif. Saya lihat itu tidak hanya mengendap sebagai
ide. Tapi Mas Rio sudah menularkan pendidikan itu kepada sebagian anak-anak
muda di Situbondo.
Saya
juga lihat Mas Rio melakukan gerakan untuk menjadikan ruang-ruang publik
sebagai tempat terjadinya musyawarah, tempat berdiskusi. Nah, seorang pemimpin
itu memang harusnya punya gagasan tentang itu. Bahkan bisa dengan luwes masuk
ke ruang-ruang bertemunya gagasan antara pemimpin dan rakyatnya. Dan itulah
yang disebut demokrasi deliberatif.
Barangkali
pemahaman itu yang membuat Mas Rio menjadi cukup berbeda dan tampil cukup
menyenangkan.
Politik
tampak tak lagi kaku. Tidak speneng. Tapi bisa diobrolin sambil ngopi, sambil
makan bakso bareng emak-emak, dan tebak-tebakan lagu. Bukankah seharusnya
begitu kita punya pemimpin, Dik?
__
Tentang Penulis
*) Nurul
Fatta, M.Sos. Alumni S2 Ekonomi Politik Universitas Nasional Jakarta.
**) Editor: Hans.
Tidak ada komentar