Ulas Buku: Malam Seribu Jahanam
Kutukan
Nenek Victoria
Oleh: Hana Hanisah
Misteri
rumah Nenek Victoria, 3 cucu Perempuan, dan 1 cucu angkat transpuan, merupakan
kisah yang diangkat Intan Paramadhita dalam novel Malam Seribu Jahanam. Semasa
hidup, Victoria mewariskan banyak kejanggalan kepada cucu-cucunya. Dari kisah
inilah Intan meramu berbagai isu sosial menjadi sebuah karya yang menawan.
Tidak seperti dongeng-dongeng kerajaan untuk pembaca anak-anak, Intan menempatkan Victoria sebagai sosok ibu matriarkat. Ia tinggal di rumah induk bersama Mak Romlah sang pembantu. Di rumah itulah cucu-cucunya berkunjung ketika libur sekolah. Di sana pula, Victoria meramal ketiga cucunya. Mutiara, Maya, dan Anisa menjalankan keseharian mereka seperti orang-orang pada umumnya. Hingga akhirnya mereka menyadari bahwa apa yang terjadi pada mereka adalah apa yang telah diramalkan sang nenek di masa lalu.
“Revolusi
selalu dimulai oleh saudara tiri buruk rupa,” tukas Rosalinda. Kata-kata inilah
yang akan membuat pembaca menerka-nerka siapa saudara tiri yang dimaksud. Ia
adalah Rohadi yang saat dewasa menjadi Rosalinda. Kala itu, ia hidup dengan
berbagai penderitaan. Ia anak pembantu Victoria, Mak Romlah, yang sudah
dianggap cucu keempatnya. Ia hidup tanpa tanggung jawab sang ayah dan kerap
mendapat perlakuan tidak senonoh dari lingkungannya karena gerak-geriknya yang kemayu.
Takdir hidupnya berbeda dengan kebanyakan laki-laki. Namun, Rohadi yang
mengubah dirinya menjadi Rosalinda inilah yang akan membantu dua bersaudara
Maya dan Mutiara menyingkap tabir-tabir misteri yang kerap menghantui
keseharian mereka.
Cerita
dimulai dari Anisa, cucu Victoria paling muda yang merenggut nyawanya sendiri. Dengan
alasan jihad, ia mengikatkan sepasang bom di tubuhnya yang ia ledakkan di
Gereja Hati Kudus Kotawijaya bersama suami dan kedua anaknya. Beruntungnya, seorang
anaknya yang berumur 9 tahun berhasil kabur dan menghindari perbuatan konyol
orangtuanya. Tragedi ini memakan banyak korban jemaat gereja dan jemaah
pengajian transpuan. Konflik pembuka ini Intan hadirkan seolah tanpa puncak. Ia
menuangkan berbagai misteri kepada dua bersaudara tersebut yang mencari motif
mengapa Anisa melakukan tindakan tersebut.
Secara
terang-terangan, novel ini menuangkan banyak persoalan yang merusak keragaman
sosial hanya karena agama. Anisa adalah pemeluk agama mayoritas yang dianggap istimewa
karena telah diakui negara. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa klaim istimewa
seperti itulah yang kerap membahayakan banyak orang. Sifat arogan dan percaya
diri berlebihan membuat seseorang merasa bahwa tindakan dan keputusannyalah
yang absolut.
Bukan
hanya soal kekonyolan orang beragama yang Intan hadirkan dalam novel 355
halaman ini, tetapi juga persoalan tabu seperti bagaimana kekerasan semena-mena
yang dilakukan oleh penganut patriarki Sulaiman, anak laki-laki Victoria.
Kesehariannya dipenuhi amarah kepada sang istri (ibunda tiga dara) dan pilih
kasih ketika menjalankan perannya sebagai ayah. Anisalah anak emas yang ia
lindungi dan bela meski gadis itu berbuat salah. Jelas, sikap dan keadaan
seseorang ketika dewasa dipengaruhi oleh apa yang telah dialaminya sejak masa
kanak-kanak. Sedari kecil, Sulaiman hidup bersama Victoria—yang hingga mati
sekalipun menyisakan kutukan-kutukan yang tidak diinginkan oleh cucu-cucunya. Victoria
sering menghantui Maya melalui bisikan-bisikan lembut di telinganya. Maya pun
menuliskan segenggam kisah hidup sang nenek menjadi sebuah novel di mana ia
menjuluki Victoria sebagai manusia harimau. Buku harian Anisa dan novel Maya
inilah yang Intan gunakan sebagai wahana cerita dengan beberapa sudut pandang yang
berbeda.
Dari
sudut pandang Rohadi yang mengubah dirinya menjadi Rosalinda, pembaca diajak
memasuki hidupnya yang larut dalam kepayahan. Ia mengisahkan bagaimana kejamnya
dunia menyikapi keputusannya menjadi transpuan. Berawal dari kepolosannya ketika
tidak sengaja memergoki rahasia Anisa. Ia diajak Sulaiman yang begitu mencintai
Anisa untuk keluar rumah berdua saja. Di perjalanan, Sulaiman terang-terangan
menginginkan kepergian Rosalinda dari rumahnya. Padahal, Rosalinda adalah
satu-satunya manusia yang setia menemani dan menjaga Victoria di masa sakitnya
dan ikut tinggal di rumah Sulaiman, tempat sang nenek dirawat. Rosalinda pun
dengan gagah berkata bahwa ia akan pergi meninggalkan kepedihan yang ia alami
sebagai saudara tiri yang kerap tidak dianggap. Ia memutuskan pindah ke
Yogyakarta meski harus hidup luntang-lantung.
Dalam
novel ini, perjalanan hidup Rosalinda ibarat berpetualang tanpa peta. Seperti
di kehidupan nyata, Intan memposisikan Rosalinda sebagai seorang transpuan pro-LGBT.
Novel ini seperti menggambarkan peliknya kehidupan LGBT di penjuru Indonesia. Di
sebagai besar wilayah Indonesia, bahkan dunia, LGBT belum mendapatkan
legitimasi dan pengakuan dari banyak pihak. Mereka tergolong minoritas yang
kerap dihakimi. Kehidupan Rosalinda setelah berhasil kabur dari Sulaiman inilah
yang menjelaskan kepada pembaca bagaimana kepahitan hidup yang dialami LGBT. Ia
tinggal sebatangkara di kolong jembatan, bertahan hidup dengan uang hasil jual
diri dan pesta seks yang mau tidak mau, terpaksa dilakoninya. Ia juga kerap
mendapat perlakuan keji dari pelanggan-pelanggannya yang menyisakan trauma.
Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang lelaki berondong bule yang menjadi
kekasihnya, memboyongnya keluar negeri, dan meneruskan fokusnya di bidang
kesenian hingga dengan gagah mendongengkan kisahnya di atas pentas, disaksikan
ribuan penonton.
Kini
petualangan untuk terbebas dari kutukan Victoria diemban Mutiara, Maya, dan Rosalinda.
Dalam sudut pandang berbeda, Intan menyiratkan betapa penting peran Rosalinda
dalam kisah ini. Rosalinda terus dihadirkan untuk mengulas balik kisah masa
kecilnya yang kerap dikucilkan. Meski biaya pendidikannya dijamin Victoria,
anak seorang pembantu tetaplah babu. Perannya tidak pernah diperhatikan oleh
orang-orang sekitarnya. Dan ketika bertemu Maya, Rosalinda mengutarakan segala
yang pernah dialaminya sejak kecil. Rosalinda pun berperan penting dalam
petualangan Maya dan Mutiara untuk menyingkap siapakah nenek Victoria yang
hidup hingga matinya terus menyisakan misteri.
Intan
kerap membangun suasana mencekam di setiap ceritanya. Rumah horor dengan kamar
rahasia dan sumur di halaman belakang tempat cucu-cucunya bermain waktu kecil
tetap penuh teka-teki hingga rumah itu dijual dan dirobohkan. Di akhir cerita,
Rosalinda hadir untuk membantu Mutiara dan Maya dalam mengungkap segalanya. Mereka
memutuskan keluar dari lingkaran kutukan sang nenek untuk menjalani kehidupan
baru, melepas segala kebiasaan yang selama ini melilit kebebasan mereka.
Info Buku
Judul : Malam Seribu Jahanam
Penulis
: Intan Paramadhita
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Tahun
: Juni, 2023
Tebal
: 355 halaman
ISBN
: 978-602-06-7144-4
Tentang Penulis
Hana
Hanisah adalah Koordinator Sivitas Kotheka dan penggerak Compok Literasi.
Tidak ada komentar