Mengapa Muncul Mas Rio “Patennang”?
Oleh: Melqy Mochamad Marhaen*
Seorang
penggerak anak muda asal Situbondo, Rio Prayogo (Mas Rio sapaan akrabnya), baru
saja melemparkan jargon menggelitik “Patennang” yang diserap dari ejaan Bahasa
Madura yang berarti “harap tenang”. Tidak banyak dugaan kata itu akan menyasar
kemana, atau hanya memiliki market makna sederhana.
Dalam pembacaan terbatas, “patennang”
bisa jadi penjeda dari waktu-waktu rumit masyarakat yang dipenuhi pikiran,
ketidaksabaran ataupun keinginan yang menjadi bayang-bayang masa depan.
Pembacaan lebih luas, sangat mungkin kata “patennang” menjadi tuas rem dari
proses perubahan masyarakat Situbondo didasarkan alasan terdesak ataupun
mendesak untuk mendapatkan perubahan.
Perkataan Mas Rio seoalah memantik ulang
kontras posisi sosial antara masyarakat dan kondisi lingkungan yang bisa jadi
selalu tidak sejajar dalam teras keadilan ataupun dan kemapanan. Sejauh sejarah
dilipat, postur sosial masyarakat Situbondo tidak jauh berubah, peran ulama dan
pesantren memikul peran penting dalam pre-kondisi apapun yang terjadi di
kabupaten tersebut. Terkadang, politik dan agama terbungkus setali tiga uang
demi menciptakan nuansa masyarakat yang religius namun berkemajuan. Kata
“patennang” adalah sambungan kata yang berusaha menerjamakan dari konteks
pemahaman agama yang kaku untuk kian lebih cair. Karena tujuan pesan agama adalah
memuluskan budi luhur yang terbentuk dalam sebuah tingkah laku damai dan
tenang.
Dalam kultur Madura, sikap dan perkataan
menjadi satu paket yang penuh resiko. Sikap bisa salah tetapi mudah luruh jika
kata-katanya sopan begitupun sebaliknya. Dua etiket tersebut tidak jarang pula
menjadi batu sandungan akibat maraknya desakan ataupun kondisi yang
mengharuskan kedua perilaku sikap dan perkataan tidak sejalan.
Patennang menjadi penjeda dari tindakan
berlebihan dan keraguan seseorang dalam menentukan sikap yang baik dan
perkataan yang pantas. Bisa jadi Mas Rio, sedang mengajak “tabayyun berjemaah”
tentang perlunya masyarakat Situbondo berpikir waras dalam ruas iklim politik
nasional dan lokal yang menyeret alam wacana dan obrolan masyarakat yang setiap
tahun pemilu, mereka hanya bisa menyumbang satu hak suara sah-nya, tidak lebih!
Praktik sikap “patennang” sejalan beda
dengan kebutuhan masyarakat kita hari ini. Sejak media sosial tumbuh, kita
tidak memiliki waktu yang cukup mengutarakan kenyataan kita yang shahih. Kondisi
ini pastinya menerpa sebagian besar kita dan masyarakat Situbondo, di dalamnya
terdapat anak-anak muda yang memiliki potensi dan keinginan besar yang didorong
oleh proses rekayasa media sosial yang membuat mereka terkadang berusaha ingin
jauh lebih berbeda dari generasi sebelumnya.
Menyambung Asa
Dalam kehidupan seharihari, jargon
merupakan sebuah identitas kelompok tertentu. Jargon berhubungan erat dengan
suatu komunitas atau profesi tertentu. Jargon juga digunakan untuk
mengefektifkan proses komunikasi dan meningkatkan citra diri. Dengan menggunakan
jargon berupa singkatan dan angka tertentu, anggota komunitas dapat dengan
singkat menyampaikan suatu ide tanpa harus menggunakan banyak kata.
Penggunaan jargon telah
mengotak-ngotakkan masyarakat menjadi kelompok-kelompok kecil dan mengaburkan
pesan yang akan disampaikan. Makin hari, makin banyak pejabat publik,
politikus, dan pakar yang menggunakan dan memproduksi jargon. Kesalahan itu
karena pada umumnya jargon ditentukan dengan prasangka generalisasi kebutuhan
dan bukan kondisi sebenarnya yang dialami.
Bagi anak muda, saat ini mereka sudah
mantap untuk tidak lagi memiliki waktu basa-basi, mereka adalah prodak siap
jadi. Tetapi, kenyataan itu adalah masalah terbesarnya. Tanpa “Patennang” bisa
membuat anak muda Situbondo bisa tumbuh dalam kondisi prematur. Oleh sebab itu,
nampaknya Mas Rio seolah menunjukkan jalan bahwa dengan “patennang” sebentar
akan tercipta ruang penataan dialog, skema dan rencana yang lebih matang.
Kata “patennang” tidak muluk-muluk
sebagaimana jargon politik nan gelap serta pasaran. Padahal pelajaran pertama
untuk calon pemimpin adalah berbahasa yang baik dan benar. Sebab, selama ini
yang terucap seringkali justru menegaskan semakin lebarnya jarak mereka dengan
realitas sosial yang ada. Muter-muter, berbelit-belit, lebay, abstrak, dan
pemaksaan logika makna alias ngeyel.
Pepatah Madura berbunyi “Kheben etekkuk
Tongarrah, Oreng Etekkuh Pentannah (hewan dipegang tali penyekat, manusia
dipegang dari perkataannya)” selain memiliki makna ukuran komitmen seseorang, Mas
Rio juga dapat menjamin perkataan tersebut membuat nyaman pendengarnya. Kita
belakangan menghadapi kebisingan slogan janji yang mereka tidak pernah juga
mengalaminya. Berbeda dengan “patennang” dia (kata) menempati posisi yang
melekat dan mendalam dalam batin setiap orang. Semacam tune lagu, “patennang”
memudahkan pembacaan batin sesungguhnya tentang apa yang diinginkan kita.
Berusaha tenang dan menjaga ketenangan
membantu masyarakat tetap terjaga dalam kewarasan untuk tidak mudah
berspekulasi. Mas Rio membantu tune Masyarakat tetap beresonansi memenuhi
kehidupan yang sedang berlangsung. “patenang” bak rambu jalan yang menegaskan
agar Masyarakat Situbondo kembali ke akar untuk menjaga nilai yang lebih besar
yakni persaudaraan, keummatan, dan persatuan. Mas Rio sudah menunjukkan,
tinggal kapan kita mulai “patennang”!
__________
*) Pemimpin redaksi Binpol.id
Tidak ada komentar