Agus Rajana: Selamat Jalan Pendekar Musik Madura
Panakajaya Hidayatullah (kiri) dan Alm. Agus Rajana (kanan) |
Sebuah Obituari Agus Rajana
Oleh: Panakajaya Hidayatullah
Kurang lebih sebulan terakhir, saya dan teman-teman Keroncong Kremes sedang berproses memproduksi album pertama yang bertajuk “Langngo”, bagi saya album ini cukup spesial karena karya-karyanya spesifik mengangkat khazanah kebudayaan Madura. Seluruh lagu di dalam album ini berbahasa Madura, mengeksplorasi idiom dan khazanah musikal Madura, serta menceritakan kisah-kisah dan fenomena keseharian orang-orang Madura. Saya dan teman-teman tak pernah membayangkan akan membuat album se-ambisius ini sebelumnya, semua bermula dan bersumber pada satu nama Agus Rajana.
Di awal terbentuknya grup
Kremes, sekira tahun 2021, kami hanya berniat belajar dan main keroncong alakadarnya
dengan mengkover lagu-lagu orang lain. Namun, saat kami memposting kegiatan di
media sosial, Pak Agus langsung berkomentar, menyemangati sekaligus mengundang
kami untuk tabuhan di rumahnya. Secara personal beliau menghubungi saya, ia
senang melihat anak muda mau bermain keroncong, dan saking senangnya ternyata
ia sengaja menciptakan satu lagu keroncong berbahasa Madura untuk grup kami.
Saat kami tabuhan di rumahnya,
kami langsung menggarap lagu tersebut, judulnya “Cangkèm Komèrè”. Kami
senang sekaligus terharu, karena lagunya ditulis dengan lirik yang bagus nan
puitis serta dirajut dengan rangkaian melodi yang indah. Bisa dikatakan lagu
ini adalah lagu pertama, sekaligus menjadi lagu andalan yang selalu kami
mainkan setiap kali kami pentas. Saat berbincang di rumahnya, Pak Agus sempat berpesan,
“Jaya harus bangga dengan budayanya sendiri, pas sapa pole sè nerrossaghina
perjuangan mon ta’ sè ngodâ”.
Kalimat ini benar-benar membekas kuat dalam ingatan saya, sekaligus
menantang saya dan teman-teman untuk berani menulis lagu-lagu keroncong Madura.
Cangkèm Komèrè dan Sebuah Firasat
Tahun ini kami baru punya
kesempatan menggarap album keroncong Madura, dengan Cangkèm Komèrè sebagai
lagu andalannya. Saat proses rekaman entah kenapa, kami selalu mendapat kendala
khususnya untuk lagu Cangkèm Komèrè, dua-hingga tiga vokalis yang
dicoba, tidak ada yang cocok menyanyikan lagu ini. Hingga, entah bagaimana,
saya hanya merasa cocok dengan suara Pak Agus yang mengisi lagu ini, dan
akhirnya saya memutuskan untuk tetap menggunakan rekaman suara Pak Agus yang
lama. Pilihan ini cukup sulit karena konsekuensinya saya harus mengedit rekaman
suara Pak Agus yang lama untuk disesuaikan dengan aransemen yang baru. Saya
mendengar bahwa Pak Agus sedang sakit sehingga tidak memungkinkan untuk rekaman
vokal.
Saat proses rekaman selesai
dan akan masuk pada tahap Mixing, tiba-tiba sound engineer kami
memberi kabar bahwa semua file audio Cangkèm Komèrè bermasalah,
sinyalnya tidak stabil, padahal saya sudah memastikan dengan teliti sebelum
masuk tahap Mixing. Besoknya, entah mengapa tiba-tiba Aka (pemain cello)
mendadak mengajak saya untuk ke rumah Pak Agus untuk meminta restu dan
mengantar undangan launching album, dan anehnya, saya mengiyakan tanpa
berpikir panjang. Padahal, semalam kami cukup lelah dengan proses editing.
Sorenya, kami langsung
berangkat ke Asembagus, sengaja saya tidak memberi kabar ke Pak Agus, sebagai kejutan,
saya yakin Pak Agus akan menyambut album ini dengan senang, karena ini adalah
salah satu impiannya. Tak lama, mobil kami sudah sampai di petigaan Jangkar,
tiba-tiba sebuah pesan WA masuk dari mas Fendi,
“Agus Rajana meninggal dunia
mas sekarang, ini disiarkan di Masjid Jami’”
Saya dan Aka saling pandang,
diam, tangan saya terasa dingin dan kebas, pikiran kami tetiba kacau. Kami
belum sempat bertemu dan meminta restu, kami terlambat hanya beberapa menit
saja. Saya merasa cukup bersalah karena kemarin tak sempat menjenguknya saat
sakit. Namun, rasanya beberapa pengalaman yang kami alami akhir-akhir ini seolah
memberikan pertanda akan kepergiannya. Cangkèm Komèrè adalah warisan
yang cukup bermakna bagi saya, semoga abadi dan mampu menginspirasi semua
orang.
Sang Pendekar Musik Madura
Di mata saya, Agus Rajana
adalah seorang pendekar musik Madura. Bukan hanya sekedar pemain musik, ia
adalah seorang penulis lagu dangdut Madura yang pernah berjaya di masanya. Ia
juga menjadi saksi sejarah masa-masa awal industri dangdut Madura tahun
80-90-an, sebagai seorang pembelajar di orkes Melodi Ria, pemain di orkes
Sandes, penulis lagu serta arranger dangdut Madura yang hits.
Lagu-lagu seperti Cekka’ Satalè, Akulot, Tatandung adalah beberapa lagu
yang pernah melambungkan namanya di panggung industri dangdut lokal.
Agus Rajana juga seorang guru
musik yang berdedikasi, sudah banyak musisi yang lahir atas tangan dinginnya.
Perhatiannya pada musik Madura tak terbatas pada musik dangdut saja, tetapi ia
juga menjadi seorang pelestari musik tradisi Madura seperti musik Trolingkung,
Hadrah, dan Strèkan. Ia juga seorang budayawan yang menyimpan banyak
informasi mengenai budaya dan seni Madura di Situbondo.
Tahun 2015-2016, saya masih
ingat, dengan telaten, ia mengajari saya banyak hal tentang musik Madura,
menemani riset lapangan ke beberapa pelaku-pelaku senior selama berbulan-bulan,
mengenalkan saya dengan beragam idiom musik Madura, menjelaskan panjang lebar
tentang sejarah musik dan seni Madura di Situbondo mulai dari khazanah tabbhuwân,
strèkan, dangdut Madura, Al Badar, dhângkong, dan seni
tradisi lainnya.
Selaiknya seorang pendekar, ia
tak pernah merasa takut dan gentar dengan apapun. Saya menjadi saksi bagaimana
kegigihannya menggeluti musik Madura. Saat pandemi, ketika banyak musisi senior
beralih profesi, Pak Agus dengan segala keterbatasannya masih berusaha ngeyel
dan terus berkarya. Di usianya yang senja dan keterbatasan perangkatnya, ia
nekat membuat kanal youtube “Panggung Rajana” dan semua digarapnya seorang
diri.
Pernah suatu ketika komputer
pentium 4-nya bermasalah, lalu ia bersama adiknya membawa komputer desktop
dengan layar tabung antik-nya, dibonceng menggunakan motor butut ke rumah saya
di Situbondo. Saya heran, kok ya mau-maunya Pak Agus se ruwet ini, hanya
untuk berkarya saja harus repot-repot seperti ini.
Tapi di balik itu semua, saya
cukup malu dengan diri saya sendiri. Saya dengan perangkat yang serba
tercukupi, usia dan semangat yang masih muda, serta akses pengetahuan yang
cukup, tak pernah mampu melahirkan karya musik yang bagus, sementara seorang
Agus Rajana dengan kondisinya yang serba terbatas, seolah tak pernah menjadikannya
halangan untuk tetap produktif berkarya.
Selamat jalan Agus Rajana,
semoga karyamu abadi dan menjadi raja di hati masyarakat seperti namamu.
“Ombâ’- ombâ’na ngabhiru
ngapotè, lambâ’ duh lambâ’na jhâ’ ghibâ ka atè” (Tatandung – Agus
Rajana)
Terimakasih banyak untuk artikelnya Mas Jaya, saya sebagai anak beliau terharu membaca dengan sangat runtut, semoga mas Jaya bisa meneruskan apa yang ayah bangun buat musik kedepannya. Sehat selalu dan terus berkaya.
BalasHapus