Album Langngo Keroncong Kremes: Renaisans Keroncong Madura
Launching Album Langngo, 4 November 2023 |
Oleh: Erie Setiawan
Munculnya
album Langngo ini adalah semacam renaisans (kebangkitan kembali), penyegaran,
tawaran, yang sangat layak untuk kita apresiasi bersama.
Dengan semangat kolektif yang luar biasa membara, Keroncong Kremes, komunitas keroncong anak muda asal Situbondo ini, akhirnya (nekat) merilis album perdana mereka pada 4 November lalu. Album ini diberi tajuk “Langngo” (artinya enak/sedap). Benar bisa dibuktikan, bahwa sepuluh track di album ini memang terdengar langngo, dan tentu saja mudah dinikmati lintas usia. Belum percaya? Dengarkan dulu saja di sini.
Baiklah,
mungkin banyak di antara kita yang belum familiar dengan istilah “Keroncong
Madura”, juga belum kenal siapa ini Keroncong Kremes yang kini mempopulerkan
(kembali) keroncong Madura yang telah puluhan tahun mati suri di tlatah Tapal
Kuda. Bahkan, entah sudah berapa abad pula kita tidak mendengar musik keroncong
(yang kadung dicap musik orang tua itu), dan lebih memilih mendengar musik lainnya.
Maka, munculnya album Langngo ini adalah semacam renaisans (kebangkitan
kembali), penyegaran, tawaran, yang sangat layak untuk kita apresiasi bersama.
Setidaknya
ada tujuh alasan, mengapa album ini penting dan kita perlu mendengarkan album
Langngo ini.
Pertama,
ini alasan klasik banget: Menghargai karya teman. Kalau ada di antara anggota
Keroncong Kremes ini adalah teman kita, maka dengarkanlah semua lagu-lagu
mereka. Pilih yang kalian paling sukai, lalu mention mereka di media
sosial. Mereka pasti senang dan bersyukur, apalagi kalian bisa ikut
menyanyikannya.
Kedua,
memperkaya referensi telinga. Ya! Di tengah gempuran musik popular umumnya yang
terdengar begitu-begitu saja, album Langngo yang kaya corak irama ini cocok
dijadikan insight baru, nambah gizi telinga. Aransemennya bagus-bagus,
kelihatan kalau yang bikin bukan musisi sembarangan.
Ketiga, membuka wawasan sejarah keroncong Madura. Keroncong Madura ini sebenarnya telah eksis lama, sebelum Indonesia merdeka, namun tak banyak orang tahu. Sebagai salah satu khazanah keroncong lokal, keroncong Madura memang ada, melengkapi keroncong berbahasa daerah lainnya (misalnya: Jawa, Melayu, Maluku, dan lain-lain). Ada baiknya kita juga membaca artikel bagus mengenai Keroncong Madura tulisan Panakajaya Hidayatullah ini.
Keempat,
membuka peluang kolaboratif. Keroncong ini memang musik yang “tamak”, bisa
memainkan lagu apa saja. Maka, kalau kalian punya band khususnya di kawasan
Jember-Bondowoso-Situbondo, cobalah sesekali berkolaborasi dengan Keroncong
Kremes, dijamin akan ada sensasi berbeda. Contoh di lagu Tarètan, Kremes
mengawinkan keroncong dengan hip-hop, ini menarik banget, dan jarang-jarang
ada.
Kelima,
upaya konkrit preservasi, konservasi, pelestarian, atau apa lah namanya. Sangat
pantas Keroncong Kremes di peluncuran album Langngo ini mendapat dukungan dari
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur, karena mereka memang punya
konsep yang kuat melalui upayanya mengangkat kembali Keroncong Madura Tapal
Kuda ini.
Keenam,
melengkapi khazanah artistik keroncong di luar yang klasik/pakem. Mungkin kita
tidak asing dengan nama Gesang dan Waldjinah, dua dari sekian banyak maestro
yang turut membentuk citra keroncong klasik itu. Nah, saat ini ada perkembangan
berbeda. Di banyak kota telah muncul cukup banyak kelompok keroncong, di mana
anggotanya adalah anak-anak muda, dan mereka mengusung karya-karya musik
keroncong baru yang sangat lentur dan terbuka. Ini bukannya mereka anti dengan
yang klasik, justru supaya khazanah artistik keroncong jadi lebih lengkap
karena adanya eksplorasi gaya musik yang terbuka. Singkatnya, anak-anak muda
jadi tidak alergi terhadap keroncong.
Ketujuh,
terakhir: membuka peluang edukatif. Komunitas Keroncong Kremes, sejak berdiri
pada Desember 2020, dengan sukarela mengadakan anjangsana keliling untuk
memasyarakatkan musik keroncong di kawasan Tapal Kuda. Mereka ingin mengajari
siapa saja yang tertarik belajar musik keroncong, tanpa terkecuali, lintas
usia. Ini semestinya bisa ditangkap pula oleh organ-organ pendidikan maupun pemerintah
setempat, agar mulai memikirkan bahwa keroncong bisa juga menjadi media
pembelajaran, entah ekstra atau intrakulikuler, bahkan memotivasi berdirinya
sanggar-sanggar, meskipun sederhana.
Pada
intinya, selain album musik hadir sebagai hiburan maupun persaingan ekonomi
(industri), album musik adalah kitab pelajaran budaya yang hadir implisit untuk
kita pelajari bersama muatannya—dan itu bermakna bagi kehidupan. Tema-tema
lirik yang diusung Keroncong Kremes mencitrakan khazanah kebudayaan Madura yang
egaliter, jenaka, namun juga syahdu, menyentuh, dan mendalam. Lirik-lirik
puitik/sastrawi bisa kita dengarkan pula di beberapa lagunya. Memang semua
berbahasa Madura, namun terjemahannya bisa Anda simak pula di sini.
Akhir
kata, saya mohon maaf tidak bisa memberikan penilaian satu-persatu terhadap
sepuluh track yang ada di album Langngo ini. Selain tulisan ini jadi terlalu
panjang, khawatir penilaian saya akan subjektif, maka semua saya serahkan
kepada Anda. Namun tampak sekilas bahwa lagu-lagu di album Langngo ini
diciptakan dengan penuh ketulusan dan kesungguhan, dan terwujudnya album ini telah
diupayakan dengan penuh perjuangan. Saya menyaksikan sendiri pada hari
peluncurannya.
Selamat
untuk Keroncong Kremes, semoga panjang umur.
Tentang Penulis
Erie
Setiawan. Penikmat
Keroncong. Ketua
Tim Penyusun Ensiklopedia Musik Keroncong (2022)
Tidak ada komentar