Langngo: Ekspresi Keroncong Kekinian yang Membawa Warna Budaya
Personil Keroncong Kremes |
Oleh: Fendi Febri Purnama
Saya menulis atau lebih tepatnya mengetik sambil menggerakkan kaki saya yang bersila, menggeleng-gelengkan kepala bukan tanda tak mau namun sebagai ungkapan asyiknya dan rancaknya sebuah aliran musik. Seakan menggerinda cap yang melekat pada musik ini yaitu musiknya orang-orang tua dan usang penuh debu. Iya musik yang saya dengarkan ini adalah musik keroncong.
Benak
saya ketika mengingat kata “keroncong” langsung tertuju kepada “Bengawan Solo”
dan “Gef Mij Maar Nasi Goreng” yang kental sekali membawa kebudayaan
Indonesianya meski yang nomer dua berbahasa Belanda. Namun kali ini bukan
dengan bahasa Indonesia ataupun bahasa Belanda musik
keroncong yang saya nikmati ini.
Coba bayangkan ini
dengan bahasa Madura.
Menurut
beberapa murid saya,
meski mereka penutur lebih sulit dari matematika. Dan satu lagi yang
membawakan bukan di Pulau Madura sendiri namun di daerah area sebaran bahasa
Madura di pesisir utara Jawa Timur yaitu Situbondo! Soro nemmo? iyâ ta’
nemmo.
Terobosan
benar-benar terobosan. Saya pun kira mereka
Keroncong Kremes yang digawangi oleh Mas Jaya, Mas Aves, Mbak Rora dan
teman-teman yang lain hanya berfokus mengcover lagu-lagu hits baik yang
berbahasa Indonesia, Inggris ataupun Jawa. Namun ternyata sangkaan saya meleset
360 derajat, mereka juga menyentuh hal yang tak biasa yaitu satu bahasa daerah
dengan penutur nomer 3 terbesar di Indonesia yaitu bahasa Madura.
Betapa
girangnya saya hal ini juga menyentuh “area kerja” saya, yang selama ini yang
saya rasakan hanya segelintir yang benar-benar mau peduli dengan bahasa Madura
utamanya di Situbondo.
Komentar
sayapun langsung saya nangkringkan di WA Mas Jaya, ketika ia memasang cover coming
soon album keroncong Maduranya “Keroncong Kremes” yang bertajuk “LANGNGO”,
yang artinya enak lajunya ketika berkendara di story WA nya. Saya
nyeletuk “saya dhinaè mas albumnya!”, dengan tanggapan gercepnya “beres,
patennang! Èdhinaè pastè mon sampèyan mas,” kata Mas Jaya. Namun
beberapa waktu kemudian sayang seribu sayang ketika album itu launching
saya belum bisa datang di acara itu, karena bertepatan dengan kepentingan
keluarga yang memang tidak bisa tidak. Padahal di situ saya ingin
mengapresiasi tentang karya teman-teman Keroncong Kremes ini. Tak apalah nanti
saya akan membalas ini semua dengan sebuah tulisan namun tentunya di kacamata
saya sebagai guru dan pegiat bahasa Madura.
Di
album “LANGNGO” ini ada 10 lagu yang dikemas dengan aransemen yang ciamik, apik
dan menarik menurut saya yang sangat awam di bidang musik ini. Oke akan saya ulas
satu-persatu lagu itu namun dengan catatan di paragraf sebelum ini “kacamata
saya sebagai guru dan pegiat bahasa Madura” hehe.
Ghâi’
Bintang
Lagu
ini sangat familiar untuk saya sebagai pengajar bahasa Madura. Karena lagu ini
adalah salah satu icon pembelajaran bahasa Madura dari SD sampai SMA
selain Tandhuk Majâng.
Tentu
yang angkatan 90an tak asing juga dengan lagu ini setiap mata pelajaran bahasa
Madura hampir dinyanyikan yang istilah sekarang sebagai ice breaking-nya. Memang lagu ini
bernada ceria mengajak kita menggoyangkan pinggul ke kanan ke kiri dengan reff
nya yaitu lèya lètes kembhâng katès tocca’ toccer.
Namun
pada aransemen di album LANGNGO ini Keroncong Kremes menggeser reff lèya
lètes kembhâng katès tocca’ toccer yang pada lumrahnya sebagai puncak dari
lagu ini menjadi dominan pada lirik ghâgghâr bulân lalu ghâi’ bintang
ghâgghâr bulân bersahutan, yang dominan muncul pada awal sampai akhir lagu.
Hal ini menunjukkan dan mengedepankan suatu makna filosofis dari lagu ini, dua
lirik ghâi’ bintang dan ghâgghâr bulân menjadi inti dari lagu
ini.
Ghâi
bintang yang artinya adalah menggapai
bintang, lalu ghâgghâr bulân yang berarti jatuh bulan. Dua rangkaian
kata ini menunjukkan sebuah pengharapan terhadap sebuah keinginan atau
cita-cita, seseorang yang ingin menggapai citanya dilambangkan dengan ghâi
bintang paghâi’na jhânor konèng namun ketika cita-cita itu belum tercapai
sempurna janganlah berputus asa karena setiap kerja pasti tidak akan menghianati
hasilnya lalu digambarkanlah dengan rangkaian kata ghâgghâr bulân, yang
meski tidak seterang bintang, namun bulan tak kalah elok dan rupawannya jika dipandang
dari bumi.
Artinya
meski tidak sesempurna yang seperti diinginkan namun seseorang jangan lupa
bahwa itulah takdirnya itulah takarnya mungkin saja jika cita atau keinginannya
seperti sesempurna yang ia dambakan, ia tidak akan kuat akan godaan yang akan
datang kepadanya.
Polo
Salèmbu
Pada
lagu ini aroma rock n roll nya sangat terasa, rock n roll dengan
bumbu keroncong. Secara bahasa Polo Salèmbu ini memiliki arti Pulau
Masalembu. Pulau Masalembu merupakan gugusan kepulauan di sebelah timur pulau
Madura dan secara administratif masuk daerah Kabupaten Sumenep. Mas Awal
pengarang lagu ini, mendeskripsikan dengan rangkaian kata-kata sederhana namun
mengena, bagaimana indah dan asrinya pulau Masalembu sebagai tanah kelahirannya
tersebut. Ia menuangkan kerinduannya akan kampung halamannya dan bagaimana
sempitnya waktu untuk sekedar menengok keadaan sekarang tanah kelahirannya
tersebut, dituangkannya dalam lirik “Aḍu alè’ èlang adu alè’ èlang”.
Ajâm
Sapsap
Mulai
awal lagu ini kental nuansa keroncong originalnya. Pada akhir lirik lagu ini
sebagai pemanis, aroma kendang renyah
mendominasi menambah rancak suasana. Lagu ini benar-benar mengangkat
tradisi pertunjukan di Situbondo yaitu di daerah Kecamatan Bungatan yaitu ajâm
sapsap.
Ajâm
sapsap merupakan sebuah perlombaan yang
mana beberapa perahu melepaskan seekor ayam dari laut, ayam siapa saja yang
terlebih dahulu menyentuh pasir pantai ialah pemenangnya. Mas Aves memang tidak
pernah meleset ketika berkata, di sebuah acara ia berujar lebih leluasa
menggambarkan Situbondo melalui lagu, hal ini salah satunya ia buktikan dengan
lagu ini.
Dengan
detailnya Mas Aves juga menambahkan sorakan-sorakan pada saat perlombaan ajâm
sapsap pada akhir-akhir lagu ini “Iyya’..Iyya’..Matè Bâ’na...Bhâtek
Bhâtek Jâreya...!” tak ketinggalan celetukan pedagang asongan “ Kacang...Kacang...!”.
Vespa
Kata-kata
dalam lagu ini sederhana dan apa yang lumrah digunakan dalam sehari-hari
tertuang disini, kata-kata yang tertuang tidak melulu bahasa Madura namun ada
beberapa kata berbahasa Indonesia. Lagu ini sangat menggambarkan bagaimana anak
muda terutama anak vespa, setiap harinya bergelut dengan “mogok” yang bisa
dibilang itu seninya bervespa, namun vespa tua loh iya, bukan vespa keluaran
tahun 2000an!.
Cangkèm
Komèrè
Lagu
ini karya sang maestro lagu-lagu berbahasa Madura era 90an Almarhum Agus
Rajana. Pilihan kata-kata dalam lagu ini merupakan kata-kata puitis, lagu yang
artinya “Dagu Kemiri” untuk menggambarkan seorang wanita yang cantik rupawan
yang memiliki dagu yang terbelah dua.
Beberapa
“oca’ pangalem” beliau gunakan dalam lagu ini untuk menggambarkan
seorang wanita ayu rupawan tersebut, misalnya Mata morka’ yaitu
penggambaran mata yang bulat; Cangkèm komèrè yaitu penggambaran dagu
yang terbelah dua; Alès mantèlès yaitu penggambaran alis yang tebal dan
tertata; Bibir dhâlima yaitu penggambaran bibir yang merah merekah;
serta Laksana arè ghi’ bhuru nyobbhul yang artinya bagaikan matahari
yang baru terbit untuk menggambarkan elok parasnya.
Saya
sebagai guru bahasa Madura merasa lagu ini cocok untuk mengajarkan atau sebagai
media pembelajaran “oca’ pangalem” kepada siswa-siswi ketika di kelas,
perlu dicoba.
Tarètan
Tarètan
berarti saudara. Jika bisa dibilang ini adalah hiphop dengan bumbu keroncong,
lebih tepatnya dengan satu dua instrumen musik keroncong. Kata-kata yang
dipakai lugas dan yang memang lumrah digunakan dalam sehari-hari, tidak ada
kata-kata puitis atau “mon-semmonan” dalam lagu ini. Lagu ini penuh
dengan nasehat-nasehat kerukunan serta toleransi, bagaimana menyingkirkan
keegoisan diri untuk kebersamaan yang bermuara pada persaudaraan.
Struktur-struktur paparèghân banyak digunakan dalam hiphop rasa keroncong
ini. Antik, eksentrik dan menarik.
Keroncong
Ongel Pajângan
Instrumen
keroncong original terlihat pada lagu ini. Ongel artinya suara dalam tingkatan
halus bahasa Madura, sedangkan Pajângan berarti nelayan. Lagu yang penuh
dengan kata-kata puitis kental berbau sastra bahasa Madura ini menggambarkan
bagaimana seorang nelayan bergumul bergelut dengan ganasnya ombak lautan
sebagai syarat memenuhi kewajibannya menyambung hidup keluarganya.
Nelayan-nelayan itu seakan-akan menganggap bahaya dan resiko itu sudah menjadi
sahabat karibnya. Abhântal ombâ’ asapo angèn.
Lân-Bulânan
Nostalgia
masa kecil sangat kental terasa. Menggambarkan anak-anak kecil berlarian di
halaman depan ketika terang bulan. Suasana kala itu riuh dengan
teriakan-teriakan malaikat kecil tanpa dosa menjadikan malam itu riang gembira.
Keroncong Kremes melempar angannya, terbayang-bayang akankah itu terulang
kembali?
Katrèma
Lagu
ini menggunakan onḍhâgghâ bhâsa engghi enten atau tingkatan bahasa
tengah. Tingkatan bahasa Madura ini memang identik dengan rasa cinta dan kasih
sayang. Rata-rata lagu berbahasa Madura yang bertemakan cinta menggunakan
pilihan kata pada tingkatan bahasa ini. Lagu ini menggambarkan bagaimana rasa
cinta melanda seorang perjaka kepada seorang perawan, apalagi cinta perjaka
tersebut terterima betapa bahagianya ia. Budaya ketimurannyapun tergambar dengan
pamit terlebih dahulu kepada kedua orang tua perawan tersebut yaitu pada lirik
“salam bhâktè èbhu rama” yang artinya “sembah sungkem ayah ibu”.
To’on
Judul
lagu ini sebenarnya adalah serapan dari bahasa Arab yaitu Tha’un yang
artinya wabah atau pandemi. Lagu ini menceritakan nasib dan keadaan sehari-hari
seniman-seniman kala pandemi terjadi. Bagaimana kesulitan finansial sangat
memprihatinkan kala itu. Sebab, tanggapan-tanggapan
dilarang total sedangkan tidak alternatif lain untuk keluar dari kesulitan itu.
Aroma struktur syair yaitu sajak a-a-a-a sangat jelas digunakan dalam
lirik-lirik lagu ini. Ngènjhâm saratos lun! Laèp!. Curhatan kepayahan
yang renyah.
Selamat
Keroncong Kremes! Terimakasih kalian telah beraksi nyata untuk ikut
melestarikan budaya, membawa budaya kita ke era generasi Z sekarang. Saya tunggu karya bahasa
Madura selanjutnya.
È
bhâbbhâtor ara-kora,
Bâḍâ
sala totor nyo’on sapora.
*Fendi
Febri Purnama (Guru & Pegiat Bahasa Madura)
Tidak ada komentar