Mencari Keroncong di Situbondo
Oleh: Panakajaya Hidayatullah
Dari Orkes Strekan, Kremes hingga Tiktok
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih berkuliah di Jogja, teman-teman di kampus sering melempar beberapa pertanyaan sederhana, “Bro, Situbondo itu di mana? Di sana itu ada musik apa?” Pertanyaan ini bagi saya seperti sebuah olok-olok, seolah saya datang dari tempat terpencil nan antah berantah dengan musik yang asing bagi mereka. Barangkali mereka berharap saya akan menunjukkan ragam musik “primitif” yang bisa memuaskan rasa penasarannya.
Tentu saja bagi saya pertanyaan ini mudah sekali dijawab, tetapi untuk
menjawab pertanyaan semacam ini, saya perlu berpikir serius, karena jika saya
menjawab apa adanya, saya harus siap diolok-olok karena miskinnya musik di Situbondo.
Jika anda orang Situbondo, saya yakin dengan cepat anda akan menjawab “musik
dangdut”. Atau sebagian lain yang lebih sedikit akan menjawab musik hadrah, tabbhuwân,
dan selawatan. Memang tak bisa dipungkiri bahwa musik dangdut telah
mendarah daging di kota ini, menyebar dari panggung hajatan, tongkrongan pos
kamling, dapur ibu-ibu, pematang sawah, perahu nelayan, hingga kantor-kantor
pemerintahan. Situbondo memang punya sejarah panjang soal musik dangdut,
khususnya dangdut Madura yang hingga sekarang gaungnya masih terdengar lantang.
Tapi, pernahkah anda menyaksikan musik keroncong di Situbondo?
Saya pun tak bisa menjawab pertanyaan ini, hingga tahun lalu (2022) baru
berkesempatan menggali data, dalam rangka penyusunan buku Ensiklopedia Musik
Keroncong Indonesia. Jauh sebelumnya, sependek pengalaman saya tiga dekade
lebih hidup di Situbondo, rasanya tak pernah sama sekali menyaksikan langsung
pertunjukan musik keroncong. Saya hanya mendengarkan dongeng-dongeng romantisme
dari para orang tua, dan kadangkala dongeng itu disampaikan dengan
meledak-ledak, berapi-api seolah itu benar-benar nyata dan penting di zaman
dulu.
Sebetulnya, awalnya saya cukup kesulitan untuk mencari data jejak-jejak
musik keroncong di Situbondo, namun saya cukup optimis menemukan datanya. Sudah
banyak musisi dan budayawan yang bercerita bahwa di Situbondo pada zamannya
pernah menjadi pusat industri musik di Tapal Kuda. Sisa-sisa kejayaan itu masih
dapat kita saksikan hari ini. Begitu banyaknya pabrik gula yang tersebar dari
ujung Barat hingga Timur, berdirinya pelabuhan internasional yang menjadi pusat
pengiriman bahan perkebunan dan tembakau Naost ke Jerman dan Belanda.
Situbondo juga merupakan titik akhir dari proyek pembangunan jalan raya pos
Anyer-Panarukan.
Beberapa hal itu tentunya berkesesuaian dengan karakteristik wilayah di
Indonesia yang menjadi basis tumbuh kembangnya musik keroncong. Musik keroncong
di zaman Hindia Belanda merupakan musik urban yang digemari oleh masyarakat, di
zaman sekarang barangkali setara dengan musik pop. Ia tumbuh di lingkungan
perkotaan, daerah-daerah bandar (pelabuhan) dengan karakteristik masyarakat
kosmopolitan. Keroncong tumbuh melalui persinggungan budaya lokal dan
internasional yang berdialektika di ruang-ruang urban. Sebut saja Batavia
(Jakarta), Semarang dan Surabaya sebagai wilayah yang diasumsikan menyuburkan
musik keroncong. Situbondo (yang dulu bernama Panarukan) juga merupakan salah
satu kota strategis di ujung timur pulau Jawa, menjadi pusat industri dan
memiliki pelabuhan internasional. Bisa dikatakan pada zamannya merupakan daerah
kosmopolitan yang dihuni oleh masyarakat dari pelbagai etnis, dan kebangsaan.
Jejak-jejak musik keroncong di Situbondo secara musikal masih bisa kita
amati dari bentuk musik strèkan. Istilah strèkan di Situbondo
digunakan untuk menyebut format orkes dangdut yang bermain posisi duduk dan
difungsikan menyambut tamu pada acara hajatan. Dulunya, orkes strèkan bentuknya
adalah orkes brass band, yang kemudian beradaptasi menjadi semacam ansambel
tanjidor.
Sayangnya, orkes ini telah punah di Situbondo, terakhir kali bisa
ditemui di era 2000-an. Ansambel ini kemudian bermetamorfosa menjadi ansambel
orkes melayu, ihwal ini juga sesuai dengan tren selera pasar nasional yang
bergeser dari musik keroncong ke musik dangdut di era 80-an. Hingga sekarang
orkes strèkan lebih dikenal sebagai format orkes dangdut. Beruntung,
saya masih berkesempatan melihat sisa dokumentasi milik Abdul Halek (pegiat
sejarah Situbondo), menampilkan orkes strèkan yang diduga bermain di
pendopo Panarukan pada tahun 1930-an. Di foto ini terlihat juga para musisi
masih berkolaborasi dengan pemain Belanda. Di Lumajang, istilah strèkan
punya makna orkes keroncong brass. Para pelaku orkes strèkan pada
umumnya memainkan lagu-lagu berirama latin, dan keroncong.
Dari beberapa arsip foto yang dimiliki oleh Abdul Halek, saya juga
menemukan beberapa dokumentasi yang menunjukkan permainan ansambel dengan gitar
ukulele (cuk) yang dikombinasikan dengan
instrumen drum, saxofon, dan dua biola. Format seperti ini tentunya jarang kita
jumpai hari ini, bahkan mungkin tidak banyak orang tahu bahwa di Situbondo,
dulu pernah ada format orkes keroncong seperti ini.
Di periode tahun 50-an, ketika hampir di setiap kota-kota besar di
Indonesia menyelenggarakan krontjong concurs (perlombaan musik
keroncong). Ternyata di Situbondo, juga pernah diadakan perlombaan serupa yang
diikuti oleh pelbagai peserta dari seluruh Indonesia. Berdasarkan catatan arsip
yang dimiliki Abdul Halek, krontjong concurs pernah berlangsung
di Situbondo tepatnya pada tanggal 09 Juni 1956 di Gedung Balai Rakjat
Situbondo.
Lalu bagaimana dengan nasib musik keroncong di Situbondo era 80-an
hingga pasca reformasi?
Sayangnya tak banyak data yang bisa saya dapatkan di periode 80-90-an. Pada
periode tahun 2000-an bisa dikatakan musik keroncong di Situbondo seperti
“hidup segan mati tak mau”, di periode ini memang pernah muncul PAPIKO
(Paguyuban Pelestarian Keroncong) yang dimotori oleh Edi Sunyoto. Komunitas ini
melakukan upaya pelestarian dengan meregenerasi pemain muda, mengadakan lomba
menyanyi keroncong, mengisi acara di radio RKPD dan tampil di acara-acara
seremonial pemerintahan. Namun, semenjak periode 2010-an, karena Edi Sunyoto
sudah kehilangan banyak partner keroncongnya, akhirnya komunitas ini meredup
dan tak ada penerusnya lagi. Nyaris, kurang lebih 10 tahunan lebih tak pernah
terdengar lagi musik keroncong di Situbondo. Kalaupun ada, itupun hanya melalui
iringan karaoke dan keyboard elekton.
Beruntung di akhir 2020, ketika gencar-gencarnya pandemi covid 19,
muncul kembali grup keroncong yang diinisiasi anak-anak muda Situbondo. Grup
ini bernama Kremes (Keroncong Enak dan Mesra), mereka tak hanya melakukan
pementasan musik, tetapi secara rutin melakukan anjangsana ke desa, komunitas
dan seniman untuk berkolaborasi bermain keroncong. Setiap jumat malam juga
mengadakan acara rutin Bhânjhungan (Sabbhân Jumat Keroncongan),
kegiatan ini melibatkan anak-anak pelajar baik SD, SMP, SMA, dan kuliah untuk
belajar dan tabuhan rutinan setiap pekan. Kemarin, tanggal 4 November 2023,
mereka baru saja melaunching album perdananya bertajuk “Langngo”, album
keroncong Madura yang berisikan khazanah kebudayaan Madura di Situbondo dan
sekitarnya.
Baru-baru ini, anak-anak muda di Situbondo mulai memiliki ketertarikan
untuk mengenal musik keroncong. Para pelajar sudah tidak alergi lagi melihat
instrumen cuk (ukulele) yang sering diidentikkan dengan alat musik pengamen itu.
Di sekolah-sekolah, mereka mulai memasukkan instrumen ini untuk aransemen musik
band. Beberapa bulan yang lalu, saya juga kaget karena beberapa orang kawan
dari Solo dan Jember mengirimkan Direct Message (DM) instagram untuk
membagikan video seorang cewek cantik bernyanyi keroncong berbahasa Madura.
Setelah saya lihat, ternyata aktornya adalah orang Situbondo, seorang
penyanyi cantik bernama Ridha dari Asembagus yang entah dari mana idenya,
tiba-tiba menyadur lagu Nemu ke dalam bahasa Madura, dan uniknya lagi
dia memilih iringan musik keroncong. Saya cukup heran ternyata lagu ini bisa juga
viral di TikTok. Artinya, sebenarnya musik keroncong punya potensi yang sama dengan
musik yang lain di hadapan anak-anak muda.
Saya hanya berangan-angan, jika di Situbondo muncul 10 saja influencer
muda yang mau menghidupi keroncong, barangkali bukan tidak mungkin jika suatu
saat kita akan mengalami kembali masa kejayaan musik keroncong seperti masa
silam.
Kini, nasib musik keroncong semuanya ada di tangan anak-anak muda, kita
hanya bisa memilih, mau merawat dan memainkannya? Atau, membiarkannya mati
saja, lalu kita membual saja seperti para orang-orang tua kita dulu?
Tidak ada komentar