Museum Balumbung: Para Pendekar Masa Lalu
Oleh: Moh. Imron
Terdengar sebuah sapaan, saya langsung mencari dari mana suara itu berasal. Rupanya Mas Agung, sembari memamerkan gigi dan senyuman khasnya. Ia duduk bersama Wahyu Agus Barata. Pikiran saya langsung dihinggapi pertanyaan. Ngapain mereka berada di tempat seperti ini? Apakah ada sesuatu yang mendesak? Ini bukan tempat yang cocok untuk keduanya. Biasanya mereka berada di alam liar. Tak lama kemudian, Mas Irwan dan Mas Andy datang menghampiri, sembari memegang lembaran kertas. Mereka tampak kompak berseragam kebanggaan, Yayasan Museum Balumbung. Apa sih yang kalian urus?
***
Sampai kapan pun, saat ketemu mereka pikiran saya
sudah tertanam bahwa mereka adalah para pendekar, karena seringnya memakai udeng, sakti mandraguna, bisa sat-messat. Saya menjadi saksi atas
perjuangan dan kontribusi mereka atas kepedulian pada budaya, wisata dan
sejarah Situbondo.
Saya mengenal Mas Wahyu Agus Barata dan Mas Agung
sejak menjelajah wisata, event budaya Situbondo sejak tahun 2014. Mereka aktif
menggelar kegiatan camping, penghijauan, bersih pantai, dan hiburan
seni. Saya mengenal Mas Irwan sejak ngobrol sastra di Pelabuhan Jangkar, Rembuk
Budaya Asembagus. Puncaknya saya memeriahkan acara mereka pada acara Festival
Pariopo 2015 dan 2016. Sementara dengan mas Andy, saya baru kenal. Tapi dari
rambut gondrongnya, sudah banyak menyampaikan kata-kata.
Saat ngobrol santai, Mas Agung menyampaikan protes
kepada saya, karena tidak pernah lagi ke Asembagus atau aktif kegiatan mereka
gelar. Yap Betul. Maaf Mas Agung, saya sibuk bersama istri sekarang. Saya balas
di sini ya.
“Kalau dulu, baik punya uang atau tidak selalu
menyempatkan hadir,” kata Wahyu ikut menimpali.
Maaf ye, kek. Baru sempat bikin jawaban di
sini. Saya akan ke Asembagus lagi setelah saya diundang ke acara pernikahanmu. Ingat
itu. Saya doakan ya, Mas Wahyu Agus. Nanti kamu akan tahu apa artinya prasasti
dan artefak cinta. Hehe. Ambu jhâ’ atoro’ Mas Agung bi’ Mas Irwan.
Terus terang, dari mereka saya banyak mengenal dan
mengetahui sejarah lokal, budaya dan tentu pengalaman petualangan menyusuri
tempat-tempat menakjubkan di Situbondo. Mereka sangat gigih, pejuang yang tahan
banting.
Saya tahu, mereka orang lapangan, tidak mau ribet
dengan urusan administrasi. Komunitas yang mereka bangun baik ada legalitas
atau tidak saya yakin mereka akan terus berjalan. Pada tahun 2020 saya
mendengar Mas Irwan dan kawan-kawan sudah membuat Yayasan Museum Balumbung.
Bagi saya itu membuktikan bahwa mereka akan lebih serius, bisa menambah
jejaring dan kepercayaan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan budaya,
literasi dan sejarah khususnya di Situbondo.
Di saat zaman sudah berubah, teknologi semakin
canggih, mereka tetap setia, mempelajari masa lalu kemudian membagi
pengetahuannya. Hanya orang tertentu yang bisa seperti itu.
***
Pertemuan hari Senin, 29 April 2024 lalu, saya tak
sempat ngopi atau barangkali nongkrong di warung. Sepertinya mereka sibuk
banget. Dengan segala hormat. Saya menangkupkan kedua tangan sembari membungkuk:
menjura.
Ada yang lebih rumit dari mengurus artefak, temuan cagar
budaya, menyusuri lorong lini masa. Jawaban itu terlihat dari lembaran kertas
yang mereka pegang. Yaitu mereka berempat disibukkan dengan urusan laporan
pajak lembaga—yang mungkin menurut mereka lebih sulit dari mengurus
sejarah dan budaya. Berkas tidak lengkap. Karena mereka tim motemmo è lokasi. []
Tentang Penulis
Moh. Imron, lahir dan tinggal di Situbondo. Penulis
Buku Putri Tidur: Kisah dari Situbondo (2018). Saat ini menggeluti Penerbitan
Buku di Situbondo.
Tidak ada komentar